Batasan dan Konsep Toleransi Beragama

Oleh: M. Hasan Mutawakkil Alallah*

Senin, 29 Juli 2013 – 06:30 WIB

jpnn.com - TOLERANSI (Arab: samahah = tasammuh) adalah konsep moderat untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerja sama di antara komponen-komponen masyarakat yang berbeda. Baik beda agama, suku bangsa, etnis, bahasa, budaya, maupun politik.

Karena itu, toleransi merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk Islam.

BACA JUGA: Sinar Mas Kembali Wakafkan 100 Ribu Alquran

Namun, konsep tersebut perlu diperjelas dan dipertegas agar kita tidak terjerumus dalam pluralisme teologis. Sebab, yang diperbolehkan adalah pluralisme sosiologis.

Karena itu, sangat diperlukan rumusan-rumusan syar'i (keagamaan) agar umat memiliki kejelasan dan pegangan, mana kebebasan untuk toleransi dan mana batas toleransi itu. Mana yang bisa dikerjasamakan dan mana yang tidak karena kita memang berbeda agama.

BACA JUGA: Biarkan FPI Sweeping, Muruah Polisi Hilang

Dalam konteks toleransi antarumat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas; Tidak ada paksaan dalam agama. "Bagi kalian agama kalian dan bagi kami agama kami." Itu adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam.

Selain ayat tersebut, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai surah dalam Alquran. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam.

BACA JUGA: Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadan 9 Juli, Idul Fitri 8 Agustus

Fakta-fakta historis itu menunjukkkan bahwa toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam yang detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka.

Kemudian, rumusan-rumusan tersebut disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru. Dengan begitu, akhirnya itu menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.

Banyak hadis Nabi yang merupakan pusaka persaudaraan universal umat manusia yang dapat menembus batas-batas perbedaan keyakinan, suku bangsa, etnis, bahasa, budaya, juga politik. Ini bisa disimak lewat sabda Nabi: Irhamuu man fil ardhi yarhamkum man fis sama. (Sayangilah orang yang ada di bumi, maka akan sayang pula mereka yang di langit -Malaikat- kepadamu). (HR. Amr bin 'Ash).

Hal ini sinergis dengan firman Allah SWT: Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami, amal-amal kami dan bagimu, amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kita kembali. (QS. Asy-Syuro: 42;15 ).

Salah satu bentuk toleransi Islam adalah sebuah persaudaraan universal. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menghindari semua keburukan.

Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah suatu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Butir-butir piagam yang menegaskan toleransi beragama, antara lain, sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi mereka yang terikat dalam Piagam Madinah.

Persoalannya adalah, sebagai bangsa Indonesia, ada dua sisi yang menyikapi perbedaan agama dengan sikap yang sama-sama ekstrem. Di satu sisi, sangat banyak ayat dan larangan-larangan dalam Islam yang seakan-akan "menutup" adanya toleransi beragama, sebagaimana pemahaman sebagian kelompok aliran garis keras fundamentalis yang kurang cocok dengan ajaran Islam "Rahmatan Lil 'Alamin."

Di sisi lain, juga ada sebagian muslim yang menganggap, saling menghormati dan saling menghargai suatu agama adalah suatu keharusan tanpa adanya peraturan yang saling membatasi. Bahkan, mungkin sampai mempunyai keyakinan bahwa semua agama itu sama dan benar semua, baik dalam segi sosial maupun akidah.

Maka, terjebaklah mereka dalam konsep pluralisme teologis (ber-akidah) yang tidak dibenarkan dalam Islam. Plurarisme sebagai aliran filsafat yang menganggap semua agama benar, semua bentuk 'ubudiyah yang dilakukan masing-masing pemeluk agama adalah jalan yang menuju kepada titik yang sama.

Muslim diajari dengan tegas mana yang terkait dengan akidah 'ubudiyah (teologis) dan mana yang terkait dengan persoalan sosial dan budaya (sosiologis).

Karena itu, dalam konteks akidah atau keyakinan, umat Islam harus tegas. Tetapi, dalam hal sosial, umat Islam harus fleksibel dan toleran. Maka, di sinilah batasan-batasan toleransi itu. (ano/c1/ib)

*Ketua PW NU Jatim

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jelang Puasa, Harga Sembako Mulai Dipantau


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler