jpnn.com - LANTUNAN selawat terdengar di sebuah sudut desa Kalipucang, Kabupaten Batang, mengiringi cucuk canting yang menggurat motif pada kain putih.
Mesya, Jakarta
BACA JUGA: Kenalkan Batik Kendil Mas, Chacha Frederica Ungkap Sulitnya dapat Persetujuan Suami
Tradisi itu telah berlangsung sejak abad ke-17, diwarisi dari para santriwati Kiai Haji Ahmad Rifai.
Namun, kini terancam lenyap di tengah arus modernisasi.
BACA JUGA: Brand Batik Bandung, Dama Kara Sukses Pasarkan Produk di Shopee Live, Berdayakan Difabel!
Miftakhutin (47), atau akrab disapa Utin, bersama segelintir pembatik lainnya terus berjuang mempertahankan Batik Tulis Batang Rifaiyah, sebuah karya seni luhur yang proses pembuatannya bisa memakan waktu hingga satu tahun untuk kategori premium.
"Sepuluh tahun ke depan, mungkin tak ada lagi pembatik tulis premium. Saat ini, hanya tersisa tiga orang, dan dua di antaranya sudah sepuh," ujar Utin, Sabtu (14/12).
BACA JUGA: Perpaduan Tradisi dan Inovasi dalam Koleksi The 5 Senses of Batik
Batik Rifaiyah tak sekadar kain bermotif. Motif-motifnya, seperti Alas Roban, yang menggambarkan parade hewan dengan tubuh terpotong, mencerminkan ajaran spiritual komunitas Rifaiyah yang melarang penggambaran makhluk hidup secara utuh.
Ciri khas lainnya ialah teknik pewarnaan tiga negeri dan pola remukan, menciptakan motif unik yang seolah ‘luber’ tetapi sarat estetika.
Namun, menjadi pengrajin batik tulis tak lagi menarik bagi generasi muda. “Membuat satu batik tulis biasa saja membutuhkan waktu sebulan, tetapi dahulu harganya hanya Rp 750 ribu, bahkan tidak cukup untuk biaya produksi,” tutur Utin.
Karena itulah, kini KUB Tunas Cahaya menetapkan harga Rp 1,2 juta untuk batik tulis biasa, Rp 2,5 juta untuk batik tulis sedang, Rp 4 juta untuk batik tulis halusan, dan Rp 5 jutaan lebih untuk batik tulis premium.
Harga yang layak untuk karya seni adi luhung, mengingat kerumitan dan panjangnya proses produksinya.
Meski tantangan besar menghadang, upaya untuk menjaga warisan Batik Tulis Batang terus dilakukan.
Salah satu inisiatif datang dari SMKN 1 Warungasem melalui program Desain dan Produksi Busana. Dengan dukungan pemerintah dan Konsorsium Pengusaha Peduli Sekolah Vokasi Indonesia, sekolah ini mengintegrasikan teknologi modern seperti desain digital dan mesin printing dalam pengajaran membatik.
Program Teaching Factory (TEFA) di sekolah tersebut menjadi oase baru bagi regenerasi pembatik. Showroom karya batik dan runway untuk memamerkan hasil desain para siswa memperlihatkan betapa tradisi ini tetap bisa relevan di era modern.
“Kami mengusulkan kurikulum baru di mana siswa belajar langsung dari pengrajin Batik Tulis Batang, agar warisan ini tetap hidup,” kata Kepala Program Desain dan Produksi Busana SMKN 1 Warungasem, Erwan.
Sosok seperti Umriyah (85) atau Ma Si’um bisa menjadi inspirasi kebangkitan. Meski usia sudah senja, serta berbagai keterbatasan, Dia masih mampu menciptakan satu hingga dua karya batik tulis biasa setiap bulan.
Dari hasil membatik, Dia berhasil menghidupi anak-anaknya dan menyekolahkan mereka hingga ke pondok pesantren.
Namun, seperti kebanyakan pembatik lain, putri-putrinya enggan melanjutkan tradisi ini karena tantangan keekonomian.
“Batik itu hidup Ma’e,” ujar Muthola’ah (37), anak bungsu Umriyah.
Kalimat sederhana ini menjadi pengingat bahwa membatik bukan sekadar pekerjaan, melainkan jiwa yang tertuang dalam setiap goresan canting.
Keberlanjutan Batik Tulis Batang kini bertumpu pada upaya kolaborasi berbagai pihak, mulai dari pengrajin, sekolah, hingga komunitas pecinta budaya.
Dengan integrasi pendidikan modern, pelatihan langsung dari pengrajin senior, dan dukungan dari masyarakat, harapannya generasi muda Batang tak hanya mengenal, tetapi juga mencintai seni batik tulis sebagai warisan yang harus dijaga.
"Jika setiap angkatan memiliki 300 siswa yang belajar membatik, setidaknya ada segelintir di antara mereka yang akan menjadi penerus Batik Rifaiyah," kata Wakil Kepala SMKN 1 Warungasem Bejo Sulasih.
Melestarikan Batik Tulis Batang bukan sekadar menjaga kain bermotif, tetapi merawat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Semoga, selawat yang mengiringi canting itu terus menggema, membawa asa baru bagi seni batik tulis Batang yang melegenda. (*)
Redaktur : Mufthia Ridwan
Reporter : Mesyia Muhammad