BBM Subsidi Naik, Penjualan Shell Meningkat

Selasa, 25 November 2014 – 06:22 WIB
PT Shell Indonesia selaku pemilik SPBU Shell di Indonesia, mulai merasakan adanya kenaikan penjualan. Foto: RP/dok.JPNN

JAKARTA - Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik perusahaan multinasional yang fokus di pasar bahan bakar minyak (BBM) tanpa timbal atau mulai oktan 92 juga mendapat berkah dari kenaikan harga jenis bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Masyarakat mulai bergeser ke BBM non subsidi itu sehingga membuat pasarnya semakin kompetitif.
      
PT Shell Indonesia selaku pemilik SPBU Shell di Indonesia, misalnya, mulai merasakan adanya kenaikan penjualan. Meski belum spesifik berapa tingkat kenaikan penjualannya namun dari volume penjualan dan transaksi yang terjadi sudah terjadi, perusahaan berpusat di Belanda itu merasakan ada peningkatan setelah terjadinya kenaikan harga BBM bersubsidi.
      
"Saya belum tahu angka pastinya karena ini kan belum lama terjadinya (sejak harga BBM bersubsidi naik). Tapi transaksi customer lebih padat akhir-akhir ini terutama pada jam-jam peak season. Ini masih gambaran umum, saya belum dapat persentase kenaikannya," kata Marketing Manager Shell Retail, Julio Manuputty, kepada Jawa Pos, kemarin.
      
Terlebih, dua hari lalu harga BBM non subsidi kompak turun harga baik itu milik Shell maupun Pertamina. Julio menilai transisi konsumsi dari BBM bersubsidi ke non subsidi sebagai hal positif bagi negara secara umum karena bisa mengurangi ketergantungan kepada subsidi.

"Walaupun semestinya kalau memertimbangkan kualitas bahan bakar ya sudah seharusnya pakai oktan tinggi," terusnya.
      
Terkait dengan penurunan harga, kata Julio, murni karena dampak dari turunnya harga minyak internasional. Pihaknya melakukan evaluasi harga setiap dua minggu sekali dengan memertimbangkan dua hal yaitu harga minyak dunia dan nilai tukar Rupiah (kurs).
      
Lalu bagaimana dengan faktor persaingan? Apakah Shell menentukan harga karena memertimbangkan Pertamina sebagai competitor yang juga melakukan koreksi harga?. "Kita punya perhitungan sendiri sih. Kadang kita duluan yang naikkan atau turunkan harga, kadang juga mereka duluan," akunya.
      
Meski begitu, kata dia, Shell tetap memerhitungkan faktor persaingan itu agar tetap bisa kompetitif. Terlebih pihaknya hanya fokus di pasar BBM non subsidi.

BACA JUGA: Dipasok Lewat Pipa, Alasan Pertamax di Jabodetabek Lebih Murah

"Saya tidak bisa komentar terlalu jauh terkait itu karena masing-masing perusahaan tentu punya pricing strategy. Ini sekarang Rupiah mulai menguat lagi. Ya kita harapkan terus menguat supaya kita juga belinya lebih murah dan efeknya ke harga jual lebih murah. Tapi kadang begitu Rupiah menguat, harga minyaknya juga menguat. Yang penting dua faktor itu saja," ulasnya.
      
Sementara, berubahnya harga BBM bersubsidi maupun non-subsidi tidak ditanggapi antusias oleh pengusaha SPBU yang tergabung dalam Himpunan Wiraswata Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas). Pengusaha saat ini lesu dalam menjalankan bisnisnya karena mengaku kurang diperhatikan pemerintah.
      
"Saat BBM naik dari Rp 4.500 ke Rp 6.500, pemerintah memberi insentif Rp 30 per liter. Saat ini tidak ada sama sekali," keluh Ketua Hiswana Migas Eri Purnomohadi.

Padahal, pengusaha diterpa peningkatan biaya operasional dari berbagai aspek. Misalkan upah, tarif dasar listrik, hingga inflasi yang meningkat.
      
Dia menegaskan, pengusaha bukan tidak sepakat dengan berbagai perubahan harga BBM. Untuk harga terbaru misalnya, Hiswana Migas menyebut mepetnya perbedaan harga BBM subsidi dan non-subidi membuat pengoplosan atau penyelundupan berkurang banyak.
    
Namun, naiknya harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2 ribu membuat margin tetap. Eri menyebut pengusaha kehilangan Rp 20 per liter. Menurut hitungannya, pemerintah perlu memberikan insentif ke SPBU non Pertamina setidaknya Rp 75 per liter.
      
"Secara keseluruhan, pengusaha menderita bukan karena kenaikannya (harga BBM). Untuk kenaikan, bisa memahami," jelasnya.

BACA JUGA: Di Luar Jabodetabek, Hanya Bandung yang Harga Pertamax Turun

Hiswana Migas bukan tinggal diam. Mereka sudah mengirim surat untuk menyampaikan ke pemerintah terkait keluhan itu. Namun, hingga kini belum ada respon.
      
Terpisah, Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri meminta PT Pertamina untuk blak-blakan soal BBM. Mulai dari jumlah yang diimpor, hingga biaya produksi BBM selama ini. Kalau data itu dibuka, bisa diketahui pasti elemen pembentukan harga BBM non subsidi.
    
Supaya desakannya bertaji, pria 55 tahun itu sudah menyampaikan ke menteri ESDM Sudirman Said. Buka-bukaan itu penting supaya pihaknya bisa melakukan perbandingan dengan negara lain. Muaranya, masyarakat tahu harga yang sebenarnya sehingga tidak lagi terjadi perdebatan soal harga BBM.
    
"Saya menuntut Pak Menteri untuk membuka ke publik. Pemerintah harus minta Pertamina untuk buka. Kita tahu harga Premium Rp 8.500, yang kita tidak tahu, angka Rp 8.500 untuk RON88 itu bagaimana menghitungnya," ujarnya di Kementerian ESDM kemarin.
    
Namun, permintaan itu bisa jadi sulit dipenuhi Pertamina. Sebab, sebelumnya saat dihubungi, Media Manager PT Pertamina Adiatma Sardjito menegaskan mekanisme harga merupakan rahasia perusahaan. Pertamax selaku produk non-PSO (public service obligation/subsidi) harganya bisa ditentukan dengan hitungan bisnis.
      
Di tempat yang sama, pria asal Bandung itu juga mengumumkan tim reformasi yang berlatar akademisi, Pertamina, dan SKK Migas. Mereka yang bersiap memerangi mafia Migas adalah mantan Tim Pokja Transisi Pemerintahan, Darmawan Prasodjo, akademisi UGM Fahmi Radi dan Rofikorohim dari UI.
      
Lantas, ada dari UKP4 yakni Mas Agung Wicak dari UKP4. Berlatar Pertamina ada Daniel Purba, dan wakil SKK Migas adalah Parulian Sihotang. Sedangkan yang mendampingi dirinya ada Plt Dirjen Minyak dan Gas Bumi Naryanto Wagimin. Untuk sekretaris, dipercayakan pada Susyanto yang menjabat Kabiro Hukum Kementerian ESDM.
      
Faisal yakin telah memilih orang-orang yang tepat untuk bekerja bersama dirinya. Dia menegaskan nama-nama itu sudah teruji integritasnya. Pria yang pernah mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen itu memastikan tim bekerja berbasis data. "Bukan dari rumor. Analisanya tajam, clear tanpa conflict of interest," katanya.
      
Rencananya, tim akan mulai rapat pada Rabu besok. Faisal juga menegaskan bakal menganalisa Pertamina Energy Trading Limited (Petral) sebagai salah satu langkah awalnya. Anak usaha PT Pertamina itu melihat ada potensi penyimpangan yang dilakukan Petral. Dia yakin bisa leluasa masuk karena pemerintah memiliki saham mayoritas.
      
"Ini menjadi prioritas. Satu dari empat poin yang diamanatkan pemerintah kepada tim. Pak Menteri sudah amanatkan dan beri keleluasaan ke saya," urainya. (gen/dim)

BACA JUGA: Belanja Modal Melonjak, PTPP Cari Pendanaan Rp 900 Miliar

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rini Tunjuk Budi Purwanto jadi Plt Dirut Bulog


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler