Efika Kora ingat satu masa ketika ia melihat sebuah pesawat melintasi desanya di atas langit Papua.

Efika yang ketika itu belia membayangkan suatu hari bisa menerbangkannya.

BACA JUGA: Kontak Erat Kasus COVID Tak Perlu Lagi Isolasi Tujuh Hari di Melbourne dan Sydney

Namun kini, meski dua semester lagi ia akan lulus dari sekolah penerbangannya di Adelaide, Efika yang berusia 24 tahun diminta Pemerintah Indonesia untuk pulang.

Ini mengejutkan bagi Efika, yang adalah satu dari 140 mahasiswa dari Papua Barat di Australia, Selandia Baru, Kanada dan Amerika Serikat yang beasiswanya diberhentikan tanpa peringatan.

BACA JUGA: Pupuk Kaltim Salurkan Bantuan Paket Ramadan Senilai Rp 2,06 Miliar

Dengan terjadinya hal yang dianggap tidak biasa ini, mereka gagal mendapatkan gelar pendidikan yang sudah lama diperjuangkan.

"Jujur, saya menangis," ujar Efika.

BACA JUGA: Warga Australia di Shanghai Khawatir Dipisahkan dari Keluarga Mereka karena COVID

"Anggapannya, hak untuk mendapatkan pendidikan dirampas dari kami."

Di Australia, 16 mahasiswa sudah diminta untuk pulang.

Dalam sebuah surat yang ditujukan bagi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra tanggal 8 Februari, pemerintah provinsi Papua mengatakan mahasiswa akan dipulangkan karena tidak menyelesaikan studi mereka tepat waktu.

Surat tersebut menyebutkan bagaimana para siswa harus kembali ke Papua Barat paling lambat tanggal 15 Februari, tetapi baru pada tanggal 8 Maret mereka mengetahui tentang keberadaan surat tersebut dari pertemuan dengan KBRI.

"Saya sangat, sangat terkejut. Dan pikiran saya sekejap kosong," ujar Efika.

KBRI dan pemerintah provinsi Papua belum merespon pertanyaan ABC, termasuk mengenai keterlambatan penyampaian surat. 'Kalian harus bergantian'

Ketika para siswa meminta penjelasan lebih lanjut, mereka diberitahu pihak KBRI bahwa durasi lima tahun untuk studi mereka telah berakhir.

ABC telah melihat SMS staf kedutaan kepada salah seorang siswa, yang mengatakan bahwa keputusan ini sudah final.

"Tidak akan ada perpanjangan beasiswa karena masih ada mahasiswa Papua lain yang juga membutuhkan beasiswa. Jadi kalian harus bergantian," bunyi sebuah pesan.

Efika mengatakan tidak mengetahui tentang ketentuan lima tahun beasiswa tersebut.

"Kami tidak pernah mendapatkan surat tertulis yang mengatakan bahwa beasiswa kami akan berlaku selama lima tahun," katanya.

Ia mengatakan hanya diberitahu secara verbal bahwa ia telah menerima beasiswa di tahun 2015, dan akan memulai diplomanya tahun 2018 setelah menyelesaikan kursus bahasa.

Sejumlah siswa juga mengatakan mereka tidak diberikan surat resmi yang menjelaskan kondisi dan durasi beasiswa mereka.

Beberapa siswa mengatakan telah menandatangani kontrak di tahun 2019, beberapa saat setelah beasiswa telah berjalan, yang menjelaskan durasi bagi beberapa jurusan, tetapi Efika tidak menandatangani dokumen demikian.

Mahasiswa bisnis bernama Jaliron Kogoya mengatakan juga tidak menandatangani persetujuan ini.

Surat sponsor dari pemerintah Papua yang dikeluarkan tahun 2020 menjamin pemberian dana kuliah di University of South Australia hingga Juli tahun ini.

Ia pun sudah diberhentikan.

"Mereka hanya menyuruh kami pulang dan tidak ada lagi harapan untuk kami," ujar Jaliron.

University of South Australia dalam pernyataannya mengatakan telah bekerja sama dengan siswa dan pemerintah Papua sejak permulaan studi dua tahun yang lalu.

"Kami terus menyediakan berbagai dukungan bagi siswa di masa yang menyulitkan ini," ujar juru bicara universitas tersebut.

Setidaknya 84 mahasiswa di Amerika dan Kanada, ditambah 41 siswa di Selandia Baru, juga telah diberitahu pemerintah Papua bahwa beasiswa mereka telah habis dan mereka harus pulang. Program terkendala masalah administrasi

Beasiswa pemerintah Papua bertujuan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa di sana, namun program tersebut seringkali terkendala masalah administrasi.

Beberapa mengatakan tunjangan hidup mereka senilai A$1,500 (Rp15 juta) per bulan, dan biaya kuliah, kadang-kadang terlambat dibayarkan.

Ini menyebabkan para siswa tidak dapat mengambil mata kuliah dan kesulitan untuk membayar sewa rumah.

Efika mengatakan keterlambatan pembayaran ini turut menghambat kegiatan akademisnya.

Ia mengatakan butuh waktu sekitar empat semester untuk menyelesaikan studi penerbangannya, tetapi dengan belum dibayarnya uang kuliah, ia tidak dapat mempelajari beberapa aspek.

ABC telah melihat faktur dari sekolah penerbangan Efika, Hartwig Air, yang jatuh tempo pada 2018 tetapi tidak dibayar sampai dua tahun kemudian.

Biaya untuk satu semester saat ini, senilai A$24.500 (Rp260 juta), dibayar terlambat lebih dari tiga bulan, pada bulan Oktober tahun lalu.

Efika mengatakan ada saat-saat ketika ia merasa ingin menyerah.

"Apa gunanya belajar jika hal-hal ini menunda studi saya?" katanya.

Efika yakin ia bisa lulus lebih cepat jika uang kuliahnya dibayar tepat waktu.

Hartwig Air menolak untuk berkomentar.

Laporan akademis yang dikeluarkan oleh sekolah Efika pada Februari tahun ini mengatakan ia "mengalami banyak kemajuan dalam penerbangan " dan mendapatkan hasil yang baik pada sebagian besar ujiannya.

Efika mengatakan keputusan untuk mengirimnya pulang sekarang tidak masuk akal karena biaya untuk semester ini sudah dibayar.

"Ini buang-buang investasi," katanya.

"Jika kami tidak membawa kualifikasi apa pun kembali ke rumah, itu memalukan bukan hanya bagi kami, tetapi juga bagi pemerintah." 'Tidak masuk akal'

Efika harus bekerja memetik buah dan sayuran di perkebunan untuk memenuhi kebutuhan hidup sejak tunjangan hidupnya dipotong pada November tahun lalu.

"Kami mencoba mencari pekerjaan paruh waktu di sana-sini untuk menutupi biaya sewa kami," katanya.

Lahir ke dalam keluarga yang berpenghasilan rendah, Efika tidak bisa mengandalkan orang tuanya, sehingga meminta dukungan universitas Australia dan pemerintah federal.

"Saya hanya ingin membuat keluarga saya bangga di rumah untuk mengetahui bahwa sebenarnya, seseorang seperti saya, bisa menjadi sesuatu," katanya.

Asosiasi Papua Barat Australia di Australia Selatan telah meluncurkan kampanye penggalangan dana untuk membayar biaya kuliah dan sewa beberapa mahasiswa.

Kylie Agnew, seorang psikolog dan anggota asosiasi, mengatakan dia prihatin dengan kondisi mereka.

"Tidak dapat menyelesaikan studi Anda, kembali ke tempat dengan prospek pekerjaan yang sangat rendah … ada banyak tekanan yang dialami para siswa," katanya.

Dalam sebuah pesan teks kepada salah satu siswa di Australia, seorang pejabat kedutaan Indonesia mengatakan para siswa dapat mencari alternatif pendanaan untuk studi mereka, tetapi mereka "tidak lagi menjadi tanggung jawab" pemerintah provinsi Papua.

Pesan teks itu juga mengatakan para siswa akan menerima bantuan untuk mentransfer ke gelar yang relevan di universitas di Indonesia ketika mereka kembali ke rumah.

Tapi Jim Elmslie dari organisasi Proyek Papua Barat di University of Wollongong mengatakan alternatifnya tidak ideal.

"Jika Anda memulai program gelar di Australia, bagi saya, itu jauh lebih baik … untuk menyelesaikan program gelar itu," katanya.

"Dan kemudian Anda memiliki kualifikasi akademis yang substansial." Perubahan legislatif dan redistribusi pendanaan

Pemerintah Provinsi Papua tidak menanggapi pertanyaan rinci ABC tentang program beasiswa.

Laporan media lokal menyebutkan masalah ini mungkin ada kaitannya dengan redistribusi dana.

Program beasiswa didirikan oleh pemerintah provinsi Papua, dengan uang dari pemerintah pusat Indonesia di bawah Undang-Undang Otonomi Khusus.

Disahkan pada tahun 2001, RUU tersebut memberikan otonomi khusus kepada wilayah Papua Barat, setelah perjuangan berdarah selama puluhan tahun untuk mencapai kemerdekaan.

Setelah Undang-undang lama berakhir pada bulan November, undang-undang baru disahkan, dengan penambahan jumlah dana ke daerah. Namun dana tertentu, termasuk untuk pendidikan, diberikan pada kabupaten dan kota, bukan pemerintah provinsi.

Undang-undang yang direvisi itu telah memicu protes di Papua Barat, dengan para kritikus mengklaim tindakan ini sebagai kelanjutan dari pemerintahan kolonial yang menyangkal hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri.

Seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri dari pemerintah Indonesia yang dikutip di media lokal mengatakan perlu ada pembicaraan bersama antara pemerintah provinsi Papua dan kabupaten dan kota di wilayah itu tentang masa depan pendanaan beasiswa.

ABC tidak dapat memverifikasi apakah penghentian beasiswa siswa terkait dengan perubahan legislatif ini.

Laporan tambahan oleh Hellena Souisa dan Erwin Renaldi

Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rusia Alihkan Serangan ke Donbas, Apa Tujuannya?

Berita Terkait