Pihak berwenang di kota Shanghai  mengatakan tiga orang meninggal karena COVID. Ini adalah laporan pertama kematian karena virus tersebut.

Kematian itu dilaporkan di saat ribuan warga di kota tersebut masih berada di 100 fasilitas karantina bagi mereka yang positif karena COVID meski tidak ada gejala atau hanya mengalami gejala ringan.

BACA JUGA: Rusia Alihkan Serangan ke Donbas, Apa Tujuannya?

Salah seorang di antaranya adalah Beibei, seorang agen penjual rumah.

Dia harus menginap bersama ribuan orang lain di National Exhibition and Convention Centre yang sekarang dijadikan pusat karantina dengan kapasitas 50 ribu tempat tidur pasien.

BACA JUGA: Tembakau Jadi Penyumbang Terbesar APBN, AMTI: Harus Ada Aturan yang Adil & Berimbang

Perempuan berusia 30 tahun tersebut mengatakan lampu di hall pameran tersebut hidup sepanjang malam, dan dia belum menemukan fasilitas air panas untuk mandi.

Beibe dan suaminya diperintahkan untuk isolasi di pusat pameran terbesar di kota tersebut setelah sebelumnya selama 10 hari mereka melakukan isolasi mandiri di rumah karena hasil tes positif.

BACA JUGA: Inmendagri Terbaru: Kasus Covid-19 di Jawa dan Bali Menurun pada Pertengahan Ramadan

Karena itu dia harus terpisah dari bayi perempuannya yang berusia  dua tahun, yang negatif COVID, dan sekarang harus tinggal bersama kakek-neneknya, setelah baby sitter mereka juga harus menjalani karantina.

Kebijakan memisahkan anak-anak dari orangtua mengkhawatirkan sebagian warga asing yang tinggal di Shanghai.

Mereka yang positif termasuk anak-anak akan dibawa ke pusat karantina milik pemerintah meski pun mereka tidak memiliki gejala.

Ini merupakan salah satu kebijakan yang diterapkan di Shanghai yang melakukan lockdown sejak bulan Maret dan merupakan bagian dari kebijakan pemberantasan COVID ke titik nol di Tiongkok.

Tiongkok melaporkan adanya 26.155 kasus hari Minggu (17/04), dengan 3.529 kasus tidak memiliki gejala sama sekali.

Hampir semua kasus terjadi di Shanghai yaitu 24.820 kasus atau sebanyak 95 persen, termasuk 3.238 yang tidak memiliki gejala.

Kota Shanghai yang merupakan kota keuangan utama di Tiongkok sudah melaporkan adanya lebih dari 300 ribu kasus sejak akhir Maret.

Pihak berwenang Tiongkok mengukuhkan bahwa 305 anak-anak yang berusia di bawah enam tahun yang positif sudah menjalani karantina selama bulan Maret.

Pemisahan anak-anak ini telah membuat banyak warga Australia yang tinggal di kota berpenduduk 25 juta jiwa tersebut mengkhawatirkan apa yang akan terjadi di masa depan.

Norman Lau warga negara Australia yang sudah tinggal di Shanghai selama hampir 20 tahun memiliki dua anak berusia 11 dan 14 tahun.

"Kemungkinan menjalani karantina, dan harus berpisah dari keluarga lebih menakutkan dibandingkan risiko terkena COVID itu sendiri," kata Norman.

Menurutnya, banyak warga asing di sana yang merasakan kekhawatiran yang sama. Australia menyampaikan kekhawatiran kepada pemerintah

Dalam rekaman video yang disiarkan lewat media sosial, Duta Besar Australia untuk Tiongkok Graham Fletcher mengatakan pemerintah Australia sudah menyampaikan keberatan mereka berkenaan dengan kebijakan karantina kepada pemerintah Tiongkok.

"Pemerintah Tiongkok berusaha keras menurunkan jumlah kasus. Namun kita mengetahui bahwa lockdown dan pembatasan lain memiliki dampak besar bagi semua mereka yang tinggal di Shanghai," katanya.

"Bersama dengan pemerintah lain yang punya perwakilan di Shanghai, Australia sudah menyampaikan keprihatinan kami langsung kepada pemerintah Tiongkok terkait akses ke makanan, layanan kesehatan atau ke bandara."

Sebagai bagian dari kebijakan lockdown, pemerintah setempat melarang warga keluar dari apartemen untuk membeli makanan atau melakukan kegiatan olahraga.

Duta besar Graham Fletcher juga menyampaikan keluhan soal fasilitas karantina, termasuk apakah keluarga akan dipisahkan.

"Sama seperti yang lain, kami sudah menyampaikan langsung kepada pejabat Tiongkok, tanpa selalu mendapat jawaban yang kami inginkan." katanya.

Ender Waters yang memiliki dua kewarganegaraan, Australia dan Amerika Serikat, tiba di Shanghai bulan September 2020 setelah sebelumnya pernah menjalani lockdown beberapa kali selama enam bulan di Melbourne.

Menurut guru bahasa Inggris tersebut, perbedaan besar antara lockdown di Shanghai dan Melbourne selain di Shanghai lebih ketat, adalah masalah pasokan makanan.

"Hal tersebut tidak pernah terjadi di Melbourne, kita selalu bisa belanja ke toko dan mendapatkan makanan," katanya.

Ender Waters mengatakan dia dan banyak keluarga warga asing dari negara-negara Barat menandatangani petisi menentang pemisahan keluarga namun petisi itu sudah dilarang ditempel setelah hanya dua hari. Lockdown mulai memengaruhi bisnis asing

Pengusaha asal Australia Nicholas Oettinger sudah tinggal d Shanghai selama 15 tahun di mana dia memiliki usaha memproduksi pintu dan jendela rumah.

Dia mengatakan lockdown kali ini sangat berpengaruh kepada bisnis yang dimilikinya.

Menggambarkan dirinya sendiri sebagai ingin terus berbisnis di Tiongkok, dia sekarang mulai memikirkan untuk pindah.

"Saya mempertimbangkan untuk pindah tahun depan, dan memindahkan pabrik saya keluar dari Tiongkok." kata Nicholas.

"Saya selalu khawatir dengan pendekatan pemberantasan COVID ke titik nol, ketidakmampuan mereka untuk mau membuka diri."

Masih belum jelas apakah Tiongkok akan mengubah kebijakan mengenai COVID tersebut.

"Tentu saja, semua tindakan pencegahan memiliki risiko dan memiliki dampak," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Tiongkok Zhao Lijian.

"Semua langkah ini berguna untuk melindungi keselamatan dan kesehatan warga.

"Tiongkok bisa mempertahankan pertumbuhan sosial ekonomi dan dalam waktu bersamaan memberikan kontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi dunia."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Korsel Nyaris Bebas Total dari Pembatasan Covid-19

Berita Terkait