jpnn.com, ISLAMABAD - Ratusan orang berbondong-bondong menuju pusat kota Islamabad. Mereka terbakar amarah. Di tangan mereka terselip tongkat dan spanduk. Mereka adalah penduduk Pakistan yang menolak putusan bebas untuk Aasia Bibi. Perempuan Katolik tersebut dituding menistakan Islam.
Status penista agama melekat pada Bibi sejak pengadilan menjatuhkan vonis bersalah pada November 2010. Tapi, upaya banding ibu lima anak itu membuahkan hasil. Rabu (31/10) Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Bibi dan membebaskannya.
BACA JUGA: Aasia Bibi Tak Terbukti Menghina Nabi Muhammad
Vonis terbaru tersebut membuat partai politik Tehreek-i-Labbaik (TLP) murka. TLP pun lantas menggerakkan massa untuk berunjuk rasa.
Aksi protes pecah di mana-mana. Ketua MA Saqib Nisar pun dicerca. Perdana Menteri (PM) Imran Khan juga kena dampaknya. Dia menuai kecaman.
BACA JUGA: Oknum Anggota Polres Asahan Penista Agama Segera Disidangkan
Pemerintah tak kuasa menenangkan massa. Mereka lantas mengajak TLP berunding. Jumat (2/11) kesepakatan tercapai. Bibi yang kebebasannya tertunda tidak boleh meninggalkan Pakistan. Unjuk rasa reda. Islamabad berangsur normal. Gejolak di kota-kota besar Pakistan juga surut.
Namun, kesepakatan yang membuat Bibi terpenjara di negara sendiri itu memantik kecaman dari para aktivis HAM. Mereka kecewa karena pemerintah tunduk kepada ekstremis.
BACA JUGA: Lelang Kerbau Nawaz Sharif
Menteri Informasi Pakistan Fawad Chaudhry tidak terima. "Kami berusaha menyelesaikannya lewat negosiasi. Dalam negosiasi, Anda mendapatkan sesuatu, tapi harus merelakan yang lain," ujarnya sebagaimana dilansir BBC.
Menurut dia, pemerintah hanya punya dua pilihan untuk meredam amarah warga. Menggunakan kekuatan atau bernegosiasi. Pilihan pertama jelas tidak diambil. Sebab, risikonya terlalu tinggi. Pertumpahan darah dan korban jiwa. Padahal, negara seharusnya melindungi penduduknya.
Pemerintah Pakistan memang harus merelakan banyak hal demi membuat massa tenang untuk sementara. Kepada TLP, pemerintah berjanji membebaskan semua demonstran yang ditangkap dalam unjuk rasa. Tapi, aparat tetap akan menyelidiki unsur kriminal yang mewarnai demonstrasi di beberapa kota.
Bagi Bibi dan keluarganya, kesepakatan pemerintah dan TLP itu sama sekali tidak adil. Bibi yang seharusnya sudah meninggalkan penjara dan berkumpul bersama keluarga terpaksa tetap di dalam bui. Bahkan, pemerintah mencantumkan namanya dalam daftar cekal alias exit control list (ECL).
"Menempatkan Aasia Bibi dalam daftar ECL sama saja seperti menandatangani surat kematiannya," ujar Chairman British Pakistani Christian Association Wilson Chowdhry sebagaimana dikutip The Guardian.
Bibi yang awalnya tidak percaya bahwa keputusan MA berpihak kepadanya, kini tidak berdaya.
Bibi sadar, saat bebas pun, dirinya tidak akan bisa bertahan di Pakistan. Unjuk rasa yang mewarnai vonis MA membuatnya bertekad untuk langsung angkat kaki dari tanah airnya.
Dia hendak menyusul keluarganya yang mengungsi ke Inggris. Beberapa negara Eropa juga menawarkan suaka kepadanya. Tapi, kesepakatan pemerintah dan TLP mengandaskan harapannya.
Hingga kemarin, Sabtu (3/11), Bibi masih mendekam di penjara Adiala, Rawalpindi. Mungkin, dia tidak akan pernah bisa meninggalkan tempat itu. Pengacara Ghulam Mustafa sudah mengajukan petisi untuk menganulasi putusan MA tersebut. Proses itu bisa bertahun-tahun. (sha/c22/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aliansi Santri Polisikan Denny Siregar soal Video di Medsos
Redaktur & Reporter : Adil