Jika upacara pernikahan di Indonesia identik dengan pemuka agama, di Australia, pernikahan pada umumnya diresmikan oleh mereka yang dikenal dengan sebutan 'celebrant'.  

 

BACA JUGA: Mahasiswa Tiongkok Dilarang Masuk Australia, Universitas Pangkas Biaya

Ini adalah cerita suka-duka celebrant, di antaranya ada yang berasal dari Indonesia, yang ada di balik cerita cinta para mempelai.

Tahun 2018 lalu, pasangan model Indonesia Kimmy Jayanti dan pesepak bola Gregory Nwokolo asal Nigeria akhirnya mengikat janji sehidup semati di Perth.

BACA JUGA: Australia Pastikan Pria Gaza Ini Bukan Pencuri, Tapi Israel Tak Peduli

Mereka memilih menikah di sana karena perbedaan keyakinan. Kimmy beragama Hindu, sementara Greg orang Kristen.

Kimmy menyebut langkah yang diambil dengan menikah di Australia sebagai "jalan tengah" untuk meresmikan ikatan cinta mereka.

BACA JUGA: Beda Agama, Pasangan Indonesia di Adelaide Rayakan 50 Tahun Pernikahan

Tidak seperti pernikahan di Indonesia yang hukumnya merujuk pada pengesahan secara agama, pernikahan di Australia sudah dianggap sah jika tercatat di kantor catatan sipil.

Jadi, pernikahan bukan hanya domain pendeta, pastur, atau ustaz. Kimmy dan Greg misalnya, dinikahkan oleh seorang celebrant bernama Liz Hayes. Photo: Liz Hayes menjadi celebrant yang menikahkan model Indonesia Kimmy Jayanti dan pesepak bola Greg Nwokolo. Kimmy dan Greg memilih menikah di Perth, Australia, karena perbedaan agama. (Supplied: Liz Hayes)

 

Celebrant adalah orang yang melakukan upacara formal di masyarakat, khususnya pernikahan.

Australia menunjuk celebrant non-ulama dengan niat membuat upacara untuk memperkaya budaya seformal pernikahan di gereja.

Artinya, upacara pernikahan sipil dan keagamaan akan berstatus sama. Tak sengaja menjadi celebrant

Liz memutuskan menjadi celebrant setelah sebelumnya secara tidak sengaja ia diminta untuk menggantikan celebrant yang berhalangan.

"Saat itu saya sedang berada di Bali untuk jadi voluntir setelah peristiwa Bom Bali. Saya diminta menggantikan seorang celebrant untuk menikahkan pasangan di Gili Trawangan," kata Liz.

"Meskipun awalnya gugup, saya kemudian langsung jatuh cinta pada profesi ini dan saya senang berada di sana pada momentum tersebut."

Berbekal pengalaman pertamanya, sepulangnya Liz ke Perth, ia kemudian mendaftarkan dirinya ke Kantor Kejaksaan untuk menjadi celebrant resmi.

Sebelum 2008, jumlah celebrant yang beroperasi di satu area dibatasi. Tetapi setelah aturan ini dihapus, profesi ini banjir peminatnya di Australia.

"Saya beruntung karena menjadi celebrant di masa-masa awal, jadi bisa membangun bisnis saya sebelum pasar menjadi jenuh," kata Liz. Celebrant Indonesia di Australia

Susanna Ichwandi, WNI yang tinggal di kawasan pemukiman Chatswood sekitar 10 kilometer dari pusat kota Sydney, juga menekuni profesi celebrant saat jumlah celebrant belum terlalu banyak. Photo: Susanna Ichwandi menikahkan rata-rata 15 pasangan dalam satu tahun. (Supplied: Susanna Ichwandi)

 

Lowongan pekerjaan untuk menjadi celebrant ditemukannya 11 tahun yang lalu.

"Kebetulan melihat koran lokal ada iklan untuk jadi selebran pernikahan. Lalu saya cari tahu apa sih selebran itu dan pasarnya siapa."

Sembari menelusuri informasi tentang profesi ini, Susanna menemukan bahwa belum ada orang Indonesia yang berprofesi sebagai celebrant.

"Yang bisa Bahasa Melayu atau Indonesia ada, tapi bukan orang Indonesia."

Hingga saat ini, Susanna sudah menikahkan lebih dari 170 pasangan yang 50 persen di antaranya adalah dilakukan dalam Bahasa Indonesia.

Berbeda dengan Liz yang mejalaninya penuh waktu, perempuan kelahiran Palembang ini menjalani pekerjaan celebrant paruh waktu sambil bekerja sebagai desainer grafis. Sering dianggap tak penting Photo: Susanna (kiri) berfoto dengan pasangan yang ia nikahkan. (Supplied: Susanna Ichwandi)

 

Susanna menganggap celebrant sebagai salah satu pekerjaan yang penting.

"Menurut saya, celebrant memiliki kekuasaan hukum yang lumayan penting," kata Susanna kepada Natasya Salim dari ABC News.

"Kami sebagai celebrant harus bertanggungjawab [dan memastikan] bahwa akte pernikahan sesuai dengan hukum dan pernikahan dilangsungkan [secara] resmi," katanya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa celebrant juga bertugas untuk memberi ide dan saran untuk upacara pernikahan.

Hal ini juga diamini oleh Liz Hayes. Photo: Liz menilai profesi celebrants memiliki hak istimewa tapi masih sering disalahpahami. (Supplied: Liz Hayes)

 

"Saya percaya bahwa celebrant memiliki hak yang istimewa dan profesi yang luar biasa. Namun banyak orang yang masih berpikir bahwa peran kami hanya sekejap saja dan kami dibayar mahal untuk itu," tutur Liz.

Padahal, menurut Liz, delapan puluh persen pekerjaan celebrant biasanya dilakukan sebelum upacara pernikahan, mengingat banyaknya persiapan.

"Analogi yang sama berlaku bagi fotografer. Hanya saja, delapan puluh persen pekerjaan fotografer dilakukan setelah upacara," jelas Liz.

Dalam layanannya, Liz memang menawarkan dua jenis upacara pernikahan. Salah satunya adalah upacara yang dibuat khusus untuk pasangan pengantin.

"Saya mewawancarai pasangan pengantin secara terpisah untuk mengetahui karakter mereka, cerita cinta cinta mereka, sampai impian hidup mereka."

"Berdasarkan wawancara inilah nanti saya akan menyusun upacara penikahan mereka, sehingga mereka akan mendapat upacara yang sangat personal untuk mereka," katanya. Photo: Sebagai celebrants penuh waktu, Liz Hayes mengaku persaingan antar celebrants makin kuat. (Supplied: Liz Hayes)

  Dari pernikahan beda agama, sesama jenis, sampai 'kawin lari'

Kesempatan untuk mendengarkan cerita klien adalah salah satu hal yang juga disukai Susanna dari pekerjaannya.

"[Yang saya sukai dari pekerjaan ini adalah saya dapat] bertemu dengan pasangan yang lagi jatuh cinta dan mendengar cerita-cerita mereka," kata dia.

"Dan juga merealisasikan komitmen mereka untuk menikah."

Namun tidak semua rencana menikah dapat berjalan lancar seperti yang direncanakan.

Susanna menceritakan pengalaman seorang klien yang sudah berpacaran selama 10 tahun namun harus menunda hari pernikahan mereka.

"Tapi setiap kali mereka rencana mau menikah, selalu ada sesuatu yang terjadi seperti keluarga ada yang meninggal dan sebagainya."

Pasangan yang berasal dari Perth tersebut akhirnya menikah di Sydney Harbour Bridge disaksikan hanya oleh fotografer dan pemandu wisata. Photo: Salah satu pengalaman paling menarik Susanna sebagai selebran adalah menikahkan pasangan di Sydney Harbour Bridge disaksikan pemandu wisata dan fotografer. (Supplied: Susanna Ichwandi)

 

Ada juga pasangan yang setengah 'kawin lari' karena mempelai perempuan tidak mendapat restu dari keluarganya.

"Tapi keluarga mempelai pria semuanya mendukung pernikahan mereka," kata Susanna.

"Mereka akhirnya dinikahkan karena tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Usia mempelai perempuan yang sudah lebih dari 18 tahun dianggap sudah cukup dan tidak memerlukan persetujuan orang dewasa," tambahnya.

Pengalaman Liz yang berkesan selain melayani pernikahan selebriti Indonesia Kimmy Jayanti yang berbeda agama, adalah menikahkan pasangan sesama jenis, bahkan sebelum pernikahan sesama jenis dilegalkan di Australia. Photo: Liz mengaku senang bisa ikut ambil bagian dalam menikahkan pasangan sesama jenis, Brooke dan Tatum. (Supplied: Liz Hayes)

 

Brooke dan Tatum adalah pasangan sesama jenis pertama yang dinikahkan Liz. Pasangan ini menikah di Perth tahun 2014.

"Tentu saja, di mata hukum saat itu mereka tetap tidak dianggap belum menikah," kata Liz.

"Tetapi saya yakin semua orang yang mengenal pasangan ini sadar bahwa ini adalah pernikahan dalam arti yang sebenarnya. Dipenuhi dengan cinta, kepercayaan, belas kasih, kegembiraan, dan rasa hormat," sambung Liz.

Liz mengakui pengalamannya menikahkan pasangan sesama jenis mempunyai kesan tersendiri untuknya. Menjawab tantangan melalui diversifikasi Photo: Hingga saat ini, Susanna sudah menikahkan lebih dari 170 pasangan yang 50 persen di antaranya adalah dilakukan dalam Bahasa Indonesia. (Supplied: Susanna Ichwandi)

 

Sementara Susanna memfokuskan diri pada pasangan Indonesia, di sisi yang lain pasangan sesama jenis, beda agama, dan beda bangsa, menjadi peluang pasar yang diisi oleh Liz.

Tidak hanya sampai di situ, Liz juga mengembangkan layanannya sampai ke Bali dan Lombok untuk klien dari Australia dan seluruh dunia.

"Saya bekerja sebagai bagian dari tim dengan teman-teman Indonesia saya, dan [kami] masing-masing berkontribusi dalam dalam tugas di dalam upacara tersebut," kata Liz.

Usaha ini sekaligus upaya mengatasi tantangan yang dihadapi Liz sekarang. Photo: Merespon profesi celebrant yang semakin banyak, Liz mengajak warga Bali dan Lombok bekerja sama menyediakan jasa upacara penikahan. (Supplied: Liz Hayes)

 

"Seperti yang disebutkan sebelumnya, jumlah celebrant sekarang sangat banyak dan ini menjadi tantangan untuk celebrant penuh waktu seperti saya," kata Liz.

"Diversifikasi adalah salah satu jalan keluarnya. Karena tidak ada banyak pernikahan di Perth selama musim dingin, tetapi ini adalah musim pernikahan di Bali, itu berarti saya bisa tetap mendapatkan penghasilan sepanjang tahun," kata Liz.

Sebagai celebrant paruh waktu, Susanna punya tantangan yang berbeda.

Selain tantangan masalah administratif terkait kartu identitas dan surat cerai yang sering tidak disertakan oleh klien, Susanna juga harus menjaga diri untuk tidak ikut campur dalam masalah pasangan.

"Yang susah adalah kita tidak boleh ikut campur masalah mereka. Terkadang ada pasangan yang ribut dan curhat ke saya," kata dia.

"[Tapi], kita sebagai celebrant sipil berkewajiban memberitahu mereka tentang jasa konseling yang lebih bisa membantu mereka."

Tarif celebrant, termasuk akte pernikahan, berkisar antara A$350 (sekitar Rp3,5 juta) sampai A$800 (sekitar Rp8 juta), tergantung apakah digelar pada akhir pekan dan jenis upacara yang dipilih.

Tertarik menikah dengan penghulu ala Australia?

Simak artikel menarik lainnya dari ABC Indonesia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerja Sama Indonesia-Australia Bisa Menambah Pemasukan Negara

Berita Terkait