Begini Alasan Pengusaha Tambang Naldy N Haroen Dukung DPR Merevisi UU Minerba

Jumat, 22 Mei 2020 – 02:25 WIB
Pengusaha tambang asal Indonesia Naldy N Haroen. Foto: Dokpri

jpnn.com, JAKARTA - Pengusaha tambang asal Indonesia Naldy N Haroen mendukung langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang akan melakukan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau Minerba.

Menurutnya, ada dua pasal yang sangat krusial dan dirasa merugikan pengusaha tambang. Sehinga, UU tersebut harus segera direvisi.

BACA JUGA: Komite II Minta DPD Protes Pengesahan UU Minerba

Naldy memberikan dua contoh pasal yang dirasa merugikan pengusaha tambang itu. Pertama, dalam UU Nomor 4 tahun 2009 untuk mendapatkan izin tambang harus melalui lelang.

Menurutnya, tambang itu adalah barang dalam tanah, bagaimana mungkin dilelang barangnya enggak kelihatan dan belum tahu cadangan depositenya berapa.

BACA JUGA: Hanya Demokrat yang Tolak RUU Minerba Jadi UU

"Harus dilakukan explorasi dulu oleh konsultan yang diakui dunia. Lantas siapa yang akan membiayai biaya explorasi mahal itu. Hal itu tidak ada Juklaknya. Sehingga selama ini apa yang terjadi? Adanya izin tambang baru yang keluar yang tanggalnya dibuat mundur sebelum tahun 2009,” kata Naldy dalam pesan elektronik kepada wartawan, Kamis (21/5/2020).

Oleh sebab itu, menurut Koordinator BUMN Watch ini, perlu mengkaji kembali dan mengubah ketentuan bahwa untuk mendapatkan izin tambang harus dilelang. “Tidak mungkin tambang bisa dilelang,” katanya.

BACA JUGA: Profil Laksamana TNI Yudo Margono, Putra Kelahiran Madiun yang Jadi Pemimpin Tertinggi TNI AL

“Tidak akan ada investor yang mau kalau data-data cadangan depositenya enggak jelas. Ini akan menghambat sektor usaha pertambangan dan membuaka peluang untuk pejabat bermain," tegas Naldy Haroen.

Masalah kedua, menurut Naldy Haroen, mengenai izin tambang yang ditarik ke pusat. Ini juga hal yang sangat merugikan pengusaha tambang. Kenapa? karena hal ini sudah bertentangan dengan UU Otonomi Daerah (Otda) dan jelas memperpanjang jalur birokrasi.

“Usaha tambang ini umumnya ada di Kabupaten sehingga jalur birokrasinya pendek. Sekarang dengan adanya semua urusan di provinsi, bayangkan untuk urusan sepotong surat saja, pengusaha tambang harus menempuh jarak ratusan kilometer," ungkap Naldy.

Naldy Haroen memberikan contoh, dalam hal untuk dokumen pengapalan harus ada LHV (Laporan Hasil Verifikasi) dari surveyor. Untuk mendapatkan LHV tesebut harus ada surat rekomendasi dari Dinas ESDM provinsi. Dimana sebetulnya ketentuan ini tidak sesuai dalam surat edaran Dirjen Minerba.

"Tetapi Pemda membuat aturan sendiri dengan surveyor berdasarkan rapat koodinasi dengan Gubernur. Ini aneh bin ajaib," tukasnya.

Jadi, masih menurut Ketua LP2BI (Lembaga Pemantau Prijinan & Birokrasi Indonesia) ini, masalah izin pertambangan harus dikembalikan ke kabupaten dengan sanksi yang lebih berat. Seperti, kalau ada Bupati yang membuat kekeliruan dalam mengeluarkan izin, sanksinya tidak cukup hanya dengan kesalahan administrasi saja.

"Tetapi diberikan sanksi pidana. Ini salah satu solusi," ungkap Naldy.

Pria yang berprofesi sebabagi advokat ini menjelaskan, dulu banyak Bupati yang mengeluarkan izin tambang tumpang tindih lokasinya. Padahal, semua sudah mendapatkan C&C (clear & clean).

Maksudnya kalau sudah dapat status tersebut seharusnya tidak ada lagi tumpang tindih. Tetapi kenyataannya ada. “Siapa yang salah? Bupati yang mengeluarkan ijin tambang, tapi C&C nya di pusat (Minerba),” tanya Naldy Haroen.

Pada saat itu, kata dia, oknum-oknum di kabupaten dengan mudahnya memperjualbelikan izin tambang sehingga Bupati dianggap sudah menjadi raja kecil di daerah.

“Makanya pemerintah pada saat itu menteri ESDM nya Jero Wacik memindahkan semua perijinan tambang ke Provinsi. Ini keliru besar! Tidak sesuai," urainya.

Dia juga menyoroti soal adanya PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) yang hin?ga kini belum bekerja secara maksimal.

"Kalau dilihat dari teorinya sih bagus tapi pada pelaksanaannya sangat tidak efektif. Kenapa? PTSP itu hanya sebagai loket tempat orang menyerahkan permohonan perijinan saja. Kemudian PTSP, menyerahkan dokumen tersebut ke Departemen atau Dinas terkait untuk pembahasan secara teknis. Hal ini mamakan waktu lama karena menunggu hasil evaluasi secara teknis dari Departemen atau Dinas terkait itu," tambahnya.

Naldy berharap dengan adanya arahan Presiden Jokowi yang ingin memotong dan memperpendek jalur perizjinan bisa mempermudah para pengusaha tambang untuk mendapatkan izin.

"Dengan adanya semua izin di tingkat provinsi malah sangat memperpanjang jalur birokrasi. Jadi kami minta arahan presiden harus dijalankan dengan cepat dan tepat. Kembalikan izin tambang di kabupaten," pungkas Naldy Haroen.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler