Begini Cara Fatayat NU Tekan Angka Stunting Anak

Rabu, 27 September 2017 – 17:20 WIB
Ketua PBNU Robikin Emhas memberikan pengarahan di depan Fatayat NU. Foto: Istimewa for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Pusat (PP) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) membuat gerakan untuk mencegah stunting melalui pembentukan Barisan Nasional Cegah Stunting (Barnas).

Gerakan ini akan meningkatkan pemahaman tentang seribu hari pertama kehidupan (HPK).

BACA JUGA: Jokowi Terbitkan Perpres PPK, Fatayat NU Puji Kiai Said

Setelah itu, Barnas akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya ASI ekslusif.

Barnas juga memberikan pembelajaran pemberian makanan anak usia 6-23 bulan kepada ibu.

BACA JUGA: Menko PMK Tegaskan Keseriusan Pemerintah Tangani Masalah Stunting

Barnas juga melakukan advokasi kepada tokoh agama agar memberikan penguatan kepada masyarakat melalui pendekatan religi.

Berdasarkan hasil pemantauan status gizi (PSG) yang dilakukan Kementerian Kesehatan, angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi.

BACA JUGA: Menko PMK Dorong Integrasi Percepatan Program Penanganan Penyakit Stunting

Pada 2016, Kemenkes mencatat 27,5 persen bayi di Indonesia berada dalam status stunting.

Hal itu menunjukkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus stunting tertinggi di Asia.

Di dunia, Indonesia menduduki posisi ke-17 dari 117 negara meski data sudah menunjukkan penurunan dibanding 2013.

Sementara itu, data Riskesdas menyebutkan, angka kasus stunting mencapai 37,2% persen.

Angka ini memperlihatkan tiga atau empat dari sepuluh anak di Indonesia dalam kondisi stunting.

Ketua PP Fatayat NU Anggia Ermarini mengatakan, seribu HPK merupakan periode yang sangat penting.

 Pasalnya, pada periode inilah rentan terjadi hambatan pertumbuhan yang disebabkan kurang gizi.

Secara medis, periode ini dimulai sejak pembuahan (dalam kandungan) sampai anak berusia dua tahun.

“Periode emas ini akan menentukan petumbuhan dan perkembangan anak yang pada akhirnya sangat menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM),” kata Anggia, Rabu (27/9).

Fakta lain juga menyebutkan, angka kasus stunting lebih banyak ditemukan pada masyarakat desa, yakni sekitar 42,1 persen dengan status pendidikan rendah 41,8 persen.

Angka itu lebih bila dibandingkan dengan masyarakat kota yang sebesar 32,5 persen dengan status pendidikan lebih tinggi 33,6 persen.

“Salah satu penyebab masih tingginya angka kasus stunting ini, selain rendahnya kemampuan masyarakat untuk membeli makanan bergizi, juga disebabkan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya memberikan ASI ekslusif kepada bayi,” imbuh Anggia.

Karena itu, Fatayat NU menyerukan aksi bersama masyarakat dan pemerintah. Yakni, mendewasakan usia perkawinan dan menolak pernikahan anak.

Berdasarkan kajian yang dilakukan ahli gizi Indonesia, perkawinan anak berpotensi melahirkan generasi stunting, dikarenakan calon ibu masih dalam masa pertumbuhan.

Pada usia ini, calon ibu  belum siap hamil dan melahirkan. Selain itu, secara psikologis, mereka juga belum siap untuk menjadi orang tua.

“Kita harus berjuang untuk mewujudkan generasi emas Indonesia di masa depan. Sebab, mereka adalah orang yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini,” tegas Anggia. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fatayat NU Serukan Jihad Melawan Kemiskinan dan Penindasan


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler