jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) dokter Inggrid Tania membolehkan pasien COVID-19 yang mengalami gejala ringan untuk mengonsumsi herbal atau sejenis jamu.
Syaratnya, berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter.
BACA JUGA: Wapres Ingatkan Pentingnya Hal ini untuk Menghadapi Covid-19
Menurut dokter Inggris, mengonsumsi herbal seperti kunyit dan sambiloto membantu mengurangi efek samping obat medis seperti mual, yang kerap dikeluhkan beberapa pasien COVID-19 bergejala ringan selama masa perawatan.
"Kadang obat medis ada efek samping misalnya mual, itu bisa dibantu dengan herbal yang bersifat mengurangi mual, juga antiperadangan, meningkatkan imunitas. Misalnya kunyit, meniran, sambiloto," ujar Tania dalam keterangannya, Minggu (4/7).
BACA JUGA: Keren juga Inovasi Sijada yang Dikembangkan KPU Bantul ini, Simak Kelebihannya
Pasien disarankan mengonsumsi herbal sesuai anjuran dosis jenis produk yang dipakai dan waktu meminumnya diberi selang 1-2 jam dengan obat medis.
Salah satu herbal yang menjadi rekomendasi sebagian orang, Qusthul Hindi atau Saussurea costus.
BACA JUGA: Kemungkinan Terburuk, COVID-19 Digunakan Sebagai Senjata Dalam Konflik Geopolitik
Keduanya merupakan spesies tumbuhan dalam genus Saussurea yang berasal dari India dan Pakistan.
Herbal yang bisa dijumpai dalam bentuk bubuk ini diyakini memberikan efek antiinflamasi, antimikroba, dan analgesik (penghilang rasa sakit) yang kuat yang bermanfaat bagi kesehatan.
Saussurea, diketahui mengandung senyawa aroma terpene yang dapat mengurangi rasa sakit dan peradangan dengan menekan enzim siklooksigenase (COX).
Demikian menurut studi dalam jurnal International Immunopharmacology pada Juli 2012 lalu.
Ini enzim yang sama seperti target obat antiinflamasi nonsteroid seperti Advil (ibuprofen) dan Aleve (naproxen).
Qusthul Hindi, menurut Tania boleh saja dipakai untuk pengobatan, tetapi bukan untuk pencegahan.
Herbal yang bisa dikonsumsi tiga kali sehari ini bisa mengurangi gejala demam, batuk, sakit tenggorokan.
Pasien bisa meminumnya dengan melarutkan ke dalam air.
Takaran yang disarankan 1/2 - 1 sendok teh Qusthul Hindi kemudian larutkan dalam air, aduk dan biarkan hingga ada endapan.
Pasien bisa meminum bagian atasnya, bukan endapannya.
Rasa herbal ini cenderung pahit.
Untuk mengurangi rasa pahitnya, madu bisa ditambahkan ke dalam larutan.
Selain Qusthul Hindi, ada juga rekomendasi ramuan air hangat dan garam.
Menurut Tania, ramuan ini bisa untuk berkumur karena sifatnya sebagai antiseptik dan membantu meredakan nyeri, misalnya pada tenggorokan.
Herbal lain yakni madu untuk membantu mengatasi batuk yang umum dialami pasien COVID-19 bergejala ringan.
Sebuah studi yang dilakukan peneliti asal Bangladesh dan diterbitkan dalam jurnal Cell Press pada Desember 2020.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan madu mungkin bermanfaat bagi pasien COVID-19 dengan meningkatkan sistem kekebalan inang, memperbaiki kondisi komorbiditas dan aktivitas antivirus.
Walau begitu, efek madu pada replikasi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dan atau sistem kekebalan inang perlu diselidiki lebih lanjut melalui studi in vitro dan in vivo.
Bagi pasien COVID-19 bergejala ringan yang punya masalah lambung dan tak ingin semata mengandalkan obat medis, maka bisa mengonsumsi kunyit, temulawak dan meniran.
Kunyit mengandung senyawa yang disebut kurkumin.
Sebuah tinjauan pada tahun 2013 menyimpulkan kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi dan antioksidan yang dapat membantu mencegah sakit maag.
Namun, penelitian ini masih terbatas sehingga memerlukan studi lebih lanjut.
"Kalau tidak memilih herbal, ada obat yang diresepkan dokter untuk meredakan keluhan-keluhan di lambungnya," kata Tania.
Lalu, apakah herbal bisa memicu masalah pada pasien dengan riwayat sakit maag atau sindroma dispepsia?
Menurut Tania tergantung sejumlah hal seperti jenis herbal yang dikonsumsi, seberapa berat sakit maag yang diderita dan sensitif lambung terhadap suatu herbal tertentu.
Sebagai contoh jahe, bisa membantu mengatasi keluhan sakit maag, mual, nyeri ulu hati.
Pada mereka dengan lambung sensitif, rasa panas jahe yang berasal dari shogaols (yang sifatnya panas) bisa memicu kambuhnya sakit maag.
Jadi, agar tak memicu masalah khususnya pada mereka yang memiliki lambung sensitif, Tania menyarankan konsumsi herbal setelah makan.
Sejak awal masa pandemi COVID-19, PDPPOTJI melihat potensi jamu atau herbal Indonesia sebagai terapi komplementer atau melengkapi pengobatan standar COVID-19.
Mereka bersama Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Kalbe Farma, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balibangkes) Kementerian Kesehatan dan tim di Wisma Atlet kemudian melakukan uji klinik herbal imunodobulator.
Uji klinik pada 6 Agustus lalu berada pada tahap akhir dengan melibatkan 90 subjek.
Kini, pengujian sudah selesai dan laporan akhir berada di tangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menunggu izin publikasi dari semua pemangku kepentingan.
"Herbal Indonesia yang sudah selesai diuji klinik hasilnya sangat aman dan cukup bermanfaat," kata Tania.
Potensi herbal dalam pengobatan COVID-19 juga dilirik negara lain seperti Thailand dan Uganda.
Pemerintah Thailand seperti dikutip dari Straits Times bahkan sudah menyetujui penggunaan Andrographis paniculata atau dikenal sebagai sambiloto.
Tanaman ini berfungsi sebagai obat alternatif untuk mengurangi keparahan wabah dan memotong biaya pengobatan.
Pihak Kementerian Kesehatan Thailand mengatakan, ekstrak tanaman yang dalam bahasa Thailand disebut "fah talai jone" ini dapat mengekang virus dan mengurangi keparahan peradangan.
Hasil uji pada manusia menunjukkan, kondisi pasien membaik dalam tiga hari pengobatan tanpa efek samping apabila obat diberikan dalam waktu 72 jam setelah terkonfirmasi positif.
Sementara itu di Uganda yang memasuki gelombang ketiga kasus COVID-19, pemerintah setempat menyetujui penggunaan produk herbal buatan lokal yakni Covidex untuk COVID-19, walaupun ini belum mendapatkan persetujuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Apoteker di Uganda, seperti dikutip dari VOA mengatakan tidak punya banyak pilihan karena obat yang diizinkan untuk penggunaan darurat di negara maju tidak tersedia di negara mereka.
Direktur eksekutif otoritas obat Uganda David Nahamya menuturkan persetujuan penggunaan herbal itu, mengikuti evaluasi ilmiah selama dua minggu tentang keamanan dan kemanjurannya.
Menurut dia, produk herbal ini diformulasikan dari tanaman herbal yang telah digunakan secara tradisional untuk meringankan gejala beberapa penyakit.
"Untuk lebih meningkatkan khasiat obat untuk kegunaan lain, NDA (Otoritas Obat Nasional Uganda) menyarankan produsen untuk melakukan uji klinis terkontrol acak, yang merupakan bukti tingkat tertinggi untuk memastikan klaim pengobatan apa pun," tutur Nahamya.
WHO sebenarnya pada Maret lalu berkonsultasi dengan para peneliti di sembilan negara Afrika, termasuk Uganda tentang penggunaan obat tradisional untuk COVID-19.
Namun, menurut perwakilan WHO di Uganda, Dr. Solome Okware, Covidex tidak termasuk herbal yang dievaluasi.
Okware mengatakan WHO bekerja sama dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, mengembangkan protokol untuk mengembangkan uji klinik guna menilai klaim pengobatan yang efektif untuk COVID-19.
Menurut dia, penggunaan produk untuk mengobati COVID-19 yang belum diselidiki secara kuat dapat berbahaya bila proses yang semestinya dilakukan tidak diikuti.
Hal senada diungkapkan asisten profesor peneliti di Arizona State University' s Biodesign Center for Immunotherapy, Vaccines and Virotherapy, Jeffrey Langland.
Dia mengatakan, herbal yang tampaknya bekerja untuk infeksi virus lain perlu diuji untuk melihat apakah juga tahan terhadap COVID-19. Dia dan tim telah mempelajari apakah dan bagaimana ramuan tertentu berpotensi digunakan untuk mengobati COVID-19.
Mereka menguji lebih dari 30 herbal, dan melihat sifat antivirus dan pendukung kekebalan masing-masing tanaman. Hanya saja, mereka masih membutuhkan waktu untuk mendapatkan hasilnya.
"Bahkan untuk ramuan yang kami anggap efektif, kami ingin memeriksa dan memastikan kami melihat segala jenis toksisitas, dan jenis efek samping yang mungkin terkait dengannya, melihat kualitas ekstrak," tutur dia seperti dikutip dari Healthline.(Antara/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang