jpnn.com, JAKARTA - Peran Bea Cukai sangat identik dengan pelayanan dan pengawasan di sektor kepabeanan dan cukai.
Dalam menjalankan peran tersebut, Bea Cukai disokong dengan sistem teknologi informasi yang sangat memadai dan terus berkembang.
BACA JUGA: Kiai Agus Salim: Nahdlatul Ulama Ikut Mengisi Ruang Teknologi Informasi
Kali ini, Bea Cukai melalui Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai memaparkan lebih dalam perkembangan sistem teknologi informasi di Bea Cukai dan peranannya untuk Indonesia, dalam acara live talkshow yang ditayangkan pada salah satu stasiun televisi nasional, Jumat (11/6) pukul 09.00 WIB.
Direktur Informasi Bea Cukai Agus Sudarmadi menjelaskan perjalanan transformasi digital di Bea Cukai bukanlah singkat.
BACA JUGA: Bank Dunia Sebut Indonesia Kekurangan SDM bidang IT, Setahun Butuh 600 Ribu Talenta Digital
Transformasi digital di Bea Cukai dimulai sejak 1990 ketika pemberitahuan impor dan ekspor barang masih menggunakan hard copy, dan data tersebut di-input ke komputer yang ada di kantor pelayanan.
Seiring berjalannya waktu, sistem teknologi informasi terus dikembangkan oleh para pegawai Bea Cukai dan dibantu oleh pihak ketiga.
BACA JUGA: Bea Cukai dan Pemda Koordinasi Soal DBHCHT
Saat ini, Bea Cukai telah menghasilkan beberapa produk teknologi informasi unggulan seperti penggunaan internet of things (e-seal, autogate system), teknologi big data (data analytic), dan artificial intelligence.
Transformasi digital dari sistem PIB disket sampai mejadi CEISA 4.0 seperti saat sekarang ini tentu memiliki tujuan utama untuk mempermudah proses bisnis kepabeanan dan cukai.
Selain kemudahan proses bisnis, keuntungan lain yang diperoleh pengguna jasa adalah dalam hal kecepatan dan transparansi.
"Di sisi lain, dalam bidang pengawasan, teknologi big data dan artificial intelligence telah kami gunakan dalam melakukan pengawasan yang efektif dan efisien,” kata Agus.
Selanjutnya, Agus memaparkan peran Bea Cukai dalam sistem logistik di Indonesia.
Bea Cukai merupakan bagian dari global supply chain bersama otoritas pelabuhan.
Komunitas demand-side logistic telah terhimpun dalam portal CEISA, sementara komunitas supply-side logistic berkumpul dalam platform-platform swasta.
Agus menjelaskan sistem logistik saat ini masih belum ideal.
Tingginya biaya logistik selalu menjadi isu hangat dalam sistem perlogistikan nasional.
Belum terbangunnya sistem informasi online (e-logistics) yang terintegrasi untuk menyediakan informasi dan data mengenai sumber penyediaan dan permintaan barang, tarif, transportasi, dan pelayanan birokrasi merupakan peluang yang dijawab dengan National Logistic Ecosystem (NLE) sebagai salah satu pilar key driver dalam sistem logistik nasional.
Dalam proses pengembangannya, kata Agus, NLE menerapkan konsep Open API Collaboration.
Dengan Open API Collaboration, NLE dapat berperan menjadi kolaborator dengan cara menyediakan open platform dan open API dalam bekerja sama dengan partner dan digital ecosystem untuk mempermudah dan mempercepat pengembangan solusi/layanan baru, inovasi, dan model bisnis di bidang logistik.
Kunci keberhasilan dari pengembangan NLE adalah kolaborasi. Kolaborasi antar kementerian/lembaga ini bukan hanya dari segi teknologi namun juga regulasi.
Implementasi berkelanjutan dan perluasaan penggunaan dari sektor swasta akan mengakselerasi pengembangan NLE.
Terakhir, Agus menyampaikan harapan untuk sistem teknologi informasi di Bea Cukai dalam lima tahun ke depan.
“Melihat perjalanan transformasi digital yang tidak singkat di Bea Cukai, saya sangat yakin akan terus lahir inovasi teknologi informasi yang dapat bersaing di kepabeanan internasional dan senantiasa berusaha meningkatkan kehandalan sistem teknolagi informasinya guna memenuhi ekspektasi yang tinggi dari para stakeholder hingga menjadi institusi kepabeanan terkemuka di dunia,” pungkasnya. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy