Begini Rasanya Melintas di Tikungan 14 Sepang, Lokasi Rossi "Tendang" Marquez dengan Motor Bebek

Memaksa Cornering Motor Malah Oleng

Selasa, 27 Oktober 2015 – 14:32 WIB
AGUNG Putu Iskandar saat merasakan sirkuti Sepang dengan motor bebek. FOTO: Agung Putu Iskandar/jpnn.com

jpnn.com - BERKUNJUNG ke Sirkuit Sepang untuk menonton balapan sudah biasa. Tapi, menjajal lintasan berkelas dunia itu dengan motor bebek adalah pengalaman yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup. 

-------------

BACA JUGA: Albiner Sitompul, dari Istana jadi Sutradara Drama Refleksi Sumpah Pemuda, tentang Cinta

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jawa Pos National Network

------------------------------------------------

BACA JUGA: Tiba-tiba Pengunjung Inul Vista Teriak, Tolong, Tolong...

Insiden “tendangan” Valentino Rossi kepada Marc Marquez mengingatkan saya tentang memori di Sirkuit Sepang setahun silam. Tepatnya pada November 2014. Saya tidak datang untuk duduk di tribun penonton. Sebab, saat itu memang sedang tidak ada balapan. 

Saya mendapat kesempatan masuk ke sirkuit itu dalam rangka acara bersepeda berkeliling lintasan yang digelar komunitas sepeda balap Surabaya Road Bike Community (SRBC). 

BACA JUGA: Shita, Korban Kebakaran Inul Vista Itu Baru Saja Diwisuda

Saya pun menggunakan kesempatan langka itu untuk kebut-kebutan menjajal lintasan. Biar bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi Valentino Rossi, Marc Marquez, dan Jorge Lorenzo. Tiga pembalap top musim ini. Kebetulan, panitia dari Sirkuit Sepang meminjami saya motor.

Tapi, jangan bayangkan motor tersebut adalah kendaraan MotoGP 1.000 cc yang dipakai balapan. Volume silindernya cuma 125 cc. atau mungkin lebih rendah. Bentuknya juga bukan motor sport. Tapi motor bebek yang biasa dipakai ibu-ibu belanja di pasar.

Melintasi Sirkuit Sepang yang berkelas internasional (langganan balapan MotoGP dan Formula1) tapi dengan motor bebek membuat saya merasa aneh. 

Sirkuitnya luar biasa, tapi motornya sangat biasa. Ini seperti saya menaiki mobil Ferrari tapi dipakai masuk gang sempit. Bukan bermaksud menyindir artis lho ini.

Bagaimana asyiknya menyusuri Sirkuit Sepang dengan motor bebek? Begitu masuk ke lintasan, saya langsung menggeber kendaraan tersebut. Butuh waktu agak lama untuk bisa mencapai kecepatan 100 km per jam. 

Tapi, meski sudah mencapai speed itu, rasanya saya masih lambat. Sirkuit terasa begitu panjang. 

Untuk mencapai tikungan pertama setelah start di trek lurus saja, saya butuh beberapa detik. Tidak bisa dibandingkan dengan para pembalap profesional yang maksimal bisa menggeber tunggangannya hingga 361 km per jam. 

Bagi mereka, dari garis start ke tikungan pertama rasanya hanya berlangsung dalam beberapa kedipan mata.  

Kejadian lucu saat saya hendak berbelok di tikungan pertama tersebut. Setelah mampu menggeber dengan speed 100 km per jam, tiba-tiba sirkuit berbelok 180 derajat. 

Maksud saya ingin cornering layaknya pembalap betulan. Ternyata, kecepatan saya terlalu lambat. Saya pun menikung, nge-gas lagi, menikung lagi, nge-gas lagi. Begitu terus sampai belokan pertama itu berhasil dilewati. Capek juga. 

Untuk melewati satu tikungan saja saya membutuhkan waktu begitu lama. Padahal kalau lihat pembalap profesional, mereka hanya perlu sekali gerakan cornering, satu tikungan terlewati. Bahkan sekelas Rossi saat cornering kecepatannya bisa lebih dari 100 km per jam.  

Sedangkan saya harus cornering beberapa kali, masih harus kembali menegakkan sepeda dan nge-gas seperti lintasan berada di jalur lurus. Itu pun tak sampai 50 km per jam. 

Saking ngototnya ingin bisa cornering layaknya pembalap pro, motor bebek yang saya kendarai sempat oleng. Bahkan motor sempat tak bisa berbelok meski saya sudah miring-miring. 

Untung tidak ada pembalap lain di belakang saya. Kalau ada mungkin sudah terjadi crash dan saya dihukum Race Director MotoGP Mike Webb, eh. 

Sirkuit sepanjang 5,4 km itu memang memiliki banyak “keajaiban”. Sekencang apapun saya memutar tuas gas, motor seolah berjalan lambat. 

Bahkan saat kecepatannya sudah mentok pun, rasanya saya masih berjalan landai. Tidak bisa melesat seperti Rossi. Padahal mesin sudah sangat berisik mirip mesin diesel yang lama tidak diservis. 

Satu-satunya penanda bahwa kecepatan saya tinggi hanyalah angin. Apalagi, saya tidak pakai helm. Untung di salah satu tikungan tidak ada razia. Kalau ada, bisa ditilang saya sama pak polisi. Hehehe. 

Saya lupa berapa lap saya mengelilingi sirkuit yang resmi dibuka pada 1999 tersebut. Yang jelas, banyak. 

Di sana juga melewati tikungan 14, tempat yang kini dikenal sebagai TKP (tempat kejadian perkara) “tendangan” maut Rossi kepada pembalap Marc Marquez. 

Saat saya melintasi tikungan itu, saya tidak punya firasat akan ada kejadian besar di situ setahun kemudian. Mungkin perasaan saya kurang sensitif. 

Saya juga sempat mampir di tikungan 11. Di tempat itulah pembalap Italia Marco Simoncelli tewas setelah terlibat insiden tabrakan. Saya sempat berhenti di sana dengan beberapa pesepeda untuk mendoakan Simoncelli. 

Di situ saya membaca Al Fatihah beberapa kali untuk Simoncelli. Dalam bahasa Arab, bukan bahasa Italia.

Tak lupa saya mengambil beberapa foto saat melintasi sirkuit. Saya pun merasa sebagai orang Indonesia pertama yang “balapan” di sirkuit tersebut dengan motor bebek. 

Soalnya, sepanjang pengetahuan saya, tidak pernah ada berita orang kita yang menjajal trek itu dengan motor bebek. Teman saya langsung nyeletuk, “Ya kalaupun ada, nggak akan diberitakan. Narsis banget sih kamu.” Iya, iya. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Malu-Maluin...Pawai Juara Persib, Bobotoh Kok Memalak Wisatawan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler