jpnn.com, JAKARTA - Pendiri Hadiekuntono’s Institute (Research-Intelligent-Spiritual) Suhendra Hadikuntono menyarankan kepada Presiden Jokowi mengenai syarat calon menteri pada Kabinet Kerja II setelah terpilih pada Pilpres 2019 lalu. Menurut Suhendra, Presiden Jokowi harus lebih mengutamakan faktor kinerja atau profesionalitas ketimbang pertimbangan politik.
“Syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi adalah calon menteri haruslah sosok-sosok yang bersih dan berintegritas. Tak mungkin berani menjadi eksekutor program kalau yang bersangkutan tidak bersih,” kata Suhendra di Jakarta, Minggu (9/6).
BACA JUGA: Ketua BK DPD RI Dinilai Layak jadi Menteri
BACA JUGA: Kabar Gembira Bagi PNS Usai Lebaran
Prinsipnya, menurut Suhendra, menteri haruslah sosok yang the right man/woman on the right place.
BACA JUGA: Suhendra Desak Pembentukan Badan Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Daerah
Oleh karena itu, Suhendra menegaskan faktor kinerja calon harus menjadi pertimbangan utama dalam mengangkat calon menteri. Dengan begitu, kabinet akan kuat atau power full.
Menurut Suhendra, posisi Jokowi saat ini nothing to lose karena sejak terpilih pada Pilpres 2019, tak mungkin ia mencalonkan diri kembali pada Pilpres 2024. Sesuai konstitusi, presiden hanya bisa menjabat dua periode.
BACA JUGA: Respons Ketua Umum Pujakessuma Nusantara Terkait Referendum Aceh
“Jadi, Pak Jokowi bebas mau memilih siapa pun sebagai pembantunya,” jelas Ketua Umum Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Pujakessuma) Nusantara ini.
BACA JUGA: Ketua BK DPD RI Dinilai Layak jadi Menteri
Kedua, menurut Suhendra, tiga menteri dari parpol pada Kabinet Kerja saat ini terbelit dugaan korupsi, sehingga lebih sibuk melakukan bantahan dan pembelaan daripada mengurus kementeriannya.
“Menteri dari parpol kebanyakan jadi ‘ATM’ parpolnya sehingga tak mengherankan bila terbelit dugaan korupsi,” ujarnya sambil menyarankan bila Presiden Jokowi mau melakukan reshuffle kabinet, menteri-menteri yang “bermasalah” tersebut harus diganti bersama menteri-menteri yang jadi “benalu” atau yang sering terlibat polemik di internal kabinet.
Suhendra menilai menteri-menteri yang kerap teribat polemik internal kabinet membuktikan tidak adanya sinkronisasi kebijakan. "Sebab itu, pembentukan Badan Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Daerah mutlak diperlukan,” cetusnya.
"Ketiga, Jokowi-KH Maruf Amin tak bisa di-impeach sepanjang tidak melanggar konstitusi, melakukan korupsi atau tindak pidana lainnya,” papar Ketua Komite Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN), inisiator pemberantasan match fixing yang melahirkan prestasi berupa penetapan 17 pengurus PSSI sebagai tersangka, hal yang belum pernah terjadi dalam 44 tahun sejarah sepak bola Indonesia.
Pada bagian lain, Suhendra menyarankan penggabungan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri menjadi Kemendaglu agar lebih efektif dan efisien.
"Hal ini juga dirasa perlu mengingat fungsi duta besar masih dianggap sebagai tempat penampungan pensiunan ASN maupun politikus, sehingga terbentuk pameo seremoni (datang, dansa, mabuk,pulang). Seharusnya duta besar menjadi mata dan telinga negara yang mampu merebut peluang. Kursi dubes harus diisi kalangan profesional, bukan pensiunan maupun petualang politik," tandasnya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua DPR Dukung Percepatan KLB PSSI
Redaktur & Reporter : Friederich