jpnn.com - GERHANA matahari terjadi bulan depan, 9 Maret 2016. Pengamatan tidak hanya akan dilakukan di daratan. Tapi juga di bawah laut. NASA pun turut mengirim peneliti.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta-ARISKI P. HADI, Surabaya
BACA JUGA: Joey Alexander, Bubi Chen, dan Dejavu yang Sulit Terulang
MENDAPATI telepon seluler (ponsel)-nya ”hang” adalah rutinitas baru Madhonna Nur Aini. Tapi, pegiat komunitas astronomi Jejak Langit itu tidak hanya memaklumi. Bahkan mengaku gembira.
”Itu berarti banyak yang antusias terhadap tawaran tur gerhana kami,” kata perempuan yang akrab disapa Donna tersebut.
BACA JUGA: Tentang Kegigihan, Keikhlasan, dan Impian Polisi Hebat Itu
Ya, sejak akhir Oktober lalu, lewat akun Twitter @infoAstronomy yang digawangi Donna bersama dua koleganya, Gigih Iqbal Fairuz dan Riza Miftah Muharram, mereka menawarkan tur pengamatan gerhana matahari total (GMT). Lokasinya adalah Pantai Burung Mandi, Belitung.
Target mereka semula hanya 20 peserta. Tapi ternyata membengkak sampai 100. Bahkan, slot 20 peserta itu sudah habis dalam jarak tak sampai satu bulan sejak pendaftaran dibuka. Setelah sampai 100 pun, masih banyak yang berusaha mendaftar. ”Sampai capek nolak karena semua ngontaknya ke ponsel saya. Tapi, saya senang,” kata Donna.
BACA JUGA: Gubernur Ganteng Itu jadi Pusat Perhatian Ibu-ibu di Istana
GMT itu akan terjadi selama sekitar dua menit pada 9 Maret dan hanya bisa dinikmati di Indonesia. Itu pun tidak di semua wilayah. Persisnya hanya di sebelas provinsi di Indonesia. Yaitu Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Karena momen istimewa itulah, para ”pemburu gerhana”, baik berupa kelompok maupun perorangan, sejak jauh-jauh hari melakukan persiapan. Bentuknya pun beragam. Di lantai 2 Planetarium Jakarta pada Sabtu lalu (13/2), misalnya, Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) menggelar workshop menjelang GMT yang diikuti sekitar 50 orang dari beragam usia dan latar belakang.
Pemaparan oleh pengurus HAAJ sekaligus pegawai Planetarium Jakarta Ronny Syamara pun mereka ikuti dengan antusias. Gaya cair Ronny dalam memberikan penjelasan berkali-kali memancing tawa riuh para peserta.
Misalnya saat Ronny menjelaskan standar keamanan dalam pengamatan gerhana matahari. Menurut dia, jangan sampai gara-gara keasyikan ingin mengamati gerhana, mata menjadi rusak gara-gara terpapar sinar ultraviolet dari sang surya. Cara paling mudah untuk mengamati gerhana antara lain adalah memanfaatkan biskuit yang memiliki lubang-lubang kecil.
Cara lainnya adalah menggunakan selembar kertas karton, kemudian dilubangi kecil-kecil dan membentuk tulisan-tulisan. ”Nanti pasti banyak yang akan upload inovasi mengamati gerhana di Facebook masing-masing,” katanya disambut tawa peserta.
Namun, di tengah sesi penyampaian teori yang berlangsung santai itu, mendadak seluruh peserta terbawa emosi. Tepatnya ketika Ronny memutar video pengamatan GMT di Varanasi, India, pada 2009. Di dalam video itu terlihat banyak warga India yang mengamati gerhana dari pinggir Sungai Gangga.
Tepat ketika GMT terjadi, suasana warga yang semua ramai menjadi hening. Beberapa di antaranya membaca doa sambil komat-kamit. Keheningan itu seperti langsung menular ke tempat pelatihan.
Koordinator Kegiatan HAAJ Nurdiansyah menjelaskan, GMT pada 9 Maret nanti sangat sayang untuk dilewatkan. Sebab, fenomena alam serupa terakhir terjadi di Indonesia pada 1995. Itu pun titik pemantauannya tidak seluas GMT bulan depan.
Yang membuatnya tambah spesial adalah GMT bakal mampir lagi ke Indonesia pada 2042! Itu 26 tahun lagi. ”Kami mulai menyambut dan menyiapkan diri untuk gerhana matahari total bulan depan itu sejak 2009 lalu,” katanya.
Pria kelahiran 25 Maret 1981 tersebut menjelaskan, workshop di Planetarium itu hanyalah satu di antara sekian banyak agenda mereka menyambut GMT. Agenda lainnya: talk show khusus tentang GMT pada 27 Februari mendatang.
Selain itu, ungkap Nurdiansyah, para anggota HAAJ juga jauh-jauh hari sudah mulai menabung. Uang yang mereka kumpulkan digunakan untuk membeli tiket pesawat ke titik pemantauan: Palu, Sulawesi Tengah.
Pria yang hobi astronomi sejak kecil itu menjelaskan, pemberangkatan tim HAAJ dibagi menjadi tiga gelombang. Masing-masing berangkat pada 3, 5, dan 6 Maret. Selama di Palu, agenda HAAJ lainnya adalah melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah tentang astronomi, khususnya pemantauan gerhana matahari. ”Kami juga akan diskusi bersama komunitas astronomi setempat,” katanya.
Yang menjadi kekhawatiran pegawai di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, yang tentu juga dikhawatirkan para pemburu gerhana lainnya, adalah hujan. ”Sehingga gerhana total selama dua menit itu tidak bisa teramati dengan sempurna,” katanya.
Sementara itu, Surabaya Astronomy Club (SAC) memilih melakukan pengamatan di Pantai Kenjeran bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Meski kadar gerhana yang bisa disaksikan di Surabaya hanya 83 persen.
Menurut Pelaksana Tugas Sekjen SAC Muhammad Toyib Ahmad Salim, Kenjeran sengaja dipilih lantaran di area itu tidak ada bangunan yang menghalangi pengamatan. Toyib menerangkan, selain diamati dengan teleskop, gerhana tersebut akan direkam. ”Kami sambungkan dengan koneksi internet sehingga orang bisa melihat secara streaming,” terang staf dokter saraf di RSUD dr Soetomo Surabaya itu.
Bukan hanya komunitas astronomi yang antusias. Komunitas selam Arek-Arek Diving Club (A2DC) sama tak sabarnya menunggu momen istimewa pada 9 Maret tersebut. Namun dengan cara yang unik: di dalam laut.
Dirga Suryadi, anggota A2DC, mengatakan bahwa pengamatan sembari menyelam itu akan dilakukan di perairan Marantale, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Menurut Dirga, Marantale dipilih lantaran di spot tersebut gerhana matahari akan terlihat 100 persen. ”Selain itu, perairannya tenang,” ucapnya.
Untuk itu, dalam satu bulan terakhir, persiapan pengamatan gerhana matahari terus dimatangkan. ”Kami latihan rutin tiap hari,” ujar dia.
Dirga menjelaskan, A2DC akan berangkat sekitar 6 Maret. Mereka akan mengecek dulu arus perairan dan kedalaman maksimal penyelaman. Lantaran saat gerhana kondisi laut gelap, ada batas maksimal penyelaman. Yakni 30–40 meter. Selain itu, mereka berlatih jika pada saat gerhana tiba-tiba arus menjadi kencang. ”Sebab, pada saat gerhana ada perubahan gravitasi. Gravitasi semakin kencang,” jelasnya.
Lantas, apa yang akan diamati di bawah laut jika kondisinya gelap gulita? Dirga mengatakan, justru itu merupakan hal yang menarik. Dari riset yang dia lakukan, GMT akan membuat pusing hewan yang hidup di air.
Ikan yang keluar pada malam hari tiba-tiba akan keluar, sedangkan ikan yang beraktivitas pagi seketika akan tidur. Lantaran lama gerhana singkat, biota laut itu akan dibuat bingung. ”Nanti akan menarik. Kami akan rekam,” terangnya.
Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) juga tak mau ketinggalan bakal melakukan pengamatan. Peneliti Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lapan Emanuel Sungging Mumpuni menyebutkan, ada lima peneliti NASA yang akan ikut bergabung dengan tim Lapan. Pengamatan itu, terang Sungging, akan dilakukan di Maba, Halmahera Timur. ”Untuk riset gerhana,” ungkapnya, ”ini kali pertama kerja sama peneliti Indonesia dengan NASA.”
Selain di Maba, tim peneliti dari Lapan diterjunkan ke Ternate. Sungging menjelaskan, di Ternate nanti dilakukan dua penelitian tentang gerhana. Dua penelitian itu adalah efek lensa gratifikasi melalui pengamatan gerhana matahari dan gangguan geomagnet terkait dengan gerhana matahari.
Tentu para pegiat Jejak Langit juga tak kalah sibuk. Gigih mengaku akan berangkat duluan ke Belitung sebelum rombongan bertemu pada 8 Maret. ”Saya harus mempersiapkan segala sesuatunya,” kata dia.
Sementara itu, Donna berharap efek GMT tak hanya dirasakan pada hari H, tapi juga setelahnya. Sehingga semakin banyak orang yang menggemari astronomi. Terutama kalangan anak-anak dan anak-anak muda. ”Setelah gerhana, kami berencana bikin tur astronomi rutin. Misalnya melakukan pengamatan di Bromo,” jelasnya. (*/c9/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sungguh, Banjir Kali Ini Membuka Luka Lama
Redaktur : Tim Redaksi