BEI Minta Periode Pertama Amnesti Pajak Diperpanjang

Kamis, 22 September 2016 – 09:14 WIB
Ilustrasi. Foto: Jawa Pos

jpnn.com - JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakomodasi dinamika di lapangan dalam pelaksanaan amnesti pajak (tax amnesty).

Salah satunya adalah keluhan terhadap klausul yang mewajibkan pembubaran special purpose vehicle (SPV) atau perusahaan cangkang.

BACA JUGA: Cash Back Lebih Diminati Daripada Diskon di Kartu Kredit

Kemenkeu bakal memberikan kelonggaran dengan menghapus kewajiban pembubaran SPV yang masih aktif.

Yang terpenting, peserta amnesti pajak yang melaporkan aset dalam perusahaan cangkang telah membayar tebusan deklarasi harta luar negeri sebesar empat persen.

BACA JUGA: Properti Mulai Laris Usai Periode Pertama Tax Amnesty

Staf Ahli Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Kemenkeu Astera Primanto Bhakti menjelaskan, ada beberapa perubahan aturan SPV dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 127/2016 yang mengatur SPV.

”Dalam PMK 127 kami atur dalam rangka tax amnesty ini, jika WP (wajib pajak) melakukan deklarasi ya, ataupun nanti melakukan repatriasi, SPV-nya harus dibubarkan. Namun, kami lihat dinamika di lapangan, ternyata masih ada pihak yang masih membutuhkan eksisting SPV. Makanya, kami akomodasi keperluan itu,” bebernya di gedung Kemenkeu, Jakarta, kemarin (21/9).

BACA JUGA: Inilah Beberapa Penyebab Mebel Indonesia Kalah Dari Vietnam

Namun, lanjut Prima, meski tidak dibubarkan, WP tersebut dikenai tarif deklarasi luar negeri. Besarannya dua kali dari tebusan repatriasi.

Selain itu, pemerintah menyempurnakan sejumlah beleid repatriasi tax amnesty. Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Robert Pakpahan menyatakan, ada beberapa poin yang disempurnakan.

Antara lain adanya aturan yang mengharuskan repatriasi berbentuk dana. Dalam aturan yang disempurnakan, repatriasi yang diperbolehkan adalah dana dan juga bisa dalam bentuk investasi global bonds ataupun sukuk global di pasar internasional.

Terkait perlakuan harta, Robert menguraikan, jika harta WP telah berada di wilayah Indonesia sebelum UU Tax Amnesty berlaku, ketika yang bersangkutan mengikuti program pengampunan pajak, harta tersebut dianggap repatriasi.

”Ini sesuai dengan masukan dari beberapa kalangan, termasuk dari Apindo, sehingga kami permudah,” urainya.

Selain itu, lanjut Robert, repatriasi dapat dilakukan bertahap. Dia mencontohkan, jika repatriasi dilakukan selama tiga bulan hingga Oktober, aset tersebut baru diinvestasikan pada bulan itu.

Bukan pada bulan pertama ketika WP mencicil dana repatriasinya. Yang terakhir terkait dengan pengaturan investasi langsung pada perusahaan di wilayah NKRI. Pihaknya mendengar adanya keraguan dari perbankan terkait treatment terhadap dana yang diinvestasikan ke perusahaan milik WP sendiri.

Harapan perpanjangan program amnesti pajak periode pertama semakin tinggi. Belum utuhnya aturan dan singkatnya masa sosialisasi awal menjadi alasan utama selain bisa dimaksimalkan dengan penyediaan lebih banyak instrumen investasi menarik untuk menampung dana repatriasi.

Terpisah, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio berharap ada perpanjangan periode pertama program amnesti pajak yang akan berakhir 30 September 2016.

Sebab, sejumlah aturan masih akan direvisi.

”Sayangnya, undang-undang mengatakan tidak mungkin diperpanjang. Tapi, kalau ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), kenapa tidak? Saya sih mendukung ada perpanjangan,” ucapnya.

Tito menilai antusiasme warga negara WP terhadap program itu sebenarnya sangat besar. Maka disayangkan jika sampai tidak maksimal hanya karena belum utuhnya aturan dan masa persiapan.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat sama.

”Saya sendiri kemarin sudah bikin petisi untuk meminta presiden memperpanjang,” ujarnya di tempat sama kemarin.

Yustinus mengatakan, antusiasme masyarakat cukup tinggi, tetapi waktu sudah mepet. Banyak yang baru tahu dan menyadari keunggulan program itu belakangan.

”Belum yakin dan sebagainya. Saya rasa perlu difasilitasi ya karena mereka juga butuh membayar pajak dengan tarif yang rendah,” tuturnya.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah kesiapan administrasi. Yustinus menilai saat ini banyak antrean yang menumpuk. Peserta bisa sampai berhari-hari baru bisa mendapat tanda terima.

”Nah, semakin ke belakang, ke akhir tidak banyak terlayani dengan baik. Kasihan juga. Maka, saya kira perlu diperpanjang satu atau dua bulan cukup ya untuk (perpanjangan) periode satu,” sarannya.

Sementara itu, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Irwan Lubis menambahkan bahwa OJK telah memanggil bank-bank yang memiliki afiliasi dengan Singapura.

Pemanggilan itu dilakukan untuk mengklarifikasi informasi tentang laporan bahwa perbankan di Singapura melaporkan WNI yang melakukan repatriasi dana dalam rangka tax amnesty.

Pertemuan dengan bank-bank tersebut berlangsung Selasa (20/9) di kantor OJK. Bank-bank yang dipanggil adalah Bank OCBC NISP, UOB, dan DBS. (ken/gen/dee/c9/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bank of Japan Ubah Kebijakan, IHSG Langsung Hijau


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler