jpnn.com, JAKARTA - Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri mengusulkan Kejaksaan Agung (Kejagung) berkolaborasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyita dana judi online (judol) yang mengalir lewat sistem pembayaran nasional yang diselenggarakan perbankan atau lembaga keuangan non-bank.
“Itu pernah kita lakukan saat krisis moneter 1998. Banyak bank mendapat guyuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam implementasinya bank menyalahgunakan. Namun untuk menyelamatkan uang negara, penyelesaiannya di luar pengadilan,” papar Deni, Jakarta, Kamis (19/12).
BACA JUGA: Pemerintah Perkuat Penegakan Hukum untuk Memberantas Judi Online
Oleh karena itu, kata dia, penyelesaian dana BLBI pada tahun tersebut menjadi lebih cepat dan bisa melanjutkan kegiatan perekonomian yang lebih baik.
"Maka untuk mempercepat penyelesaian duit judi online sebaiknya BPK bekerja sama dengan Kejagung. Sita pendapatan judol di lembaga pembayaran di luar pengadilan, karena bank yang dahulu menikmati BLBI dan rekapitalisasi uang rakyat sekarang juga menikmati judi online karena bank tersebut menjadi agrigator sistem pembayaran,” ungkapnya.
BACA JUGA: Kemenpora Gaungkan Perang Melawan Judi Online di Penutupan Pesta Prestasi 2024
Tindakan penyitaan duit-duit judi online itu, kata Deni, BPK bersama Kejagung akan memberikan efek jera kepada lembaga keuangan yang layanan transaksinya terkait dengan merchant judol.
“Lembaga sistem pembayaran, baik itu perbankan, e-wallet, operator seluler yang memfasilitasi judi online baik sengaja maupun tidak sengaja, mendapat ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar berdasarkan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (2),” ujar Deni.
BACA JUGA: PPATK Harus Sita Duit Judi Online Rp 86 Triliun yang Dinikmati Bank, E-Wallet & Operator Seluler
Selain itu, lanjut Deni, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp25 juta bagi pelaku perjudian.
Selain itu, bank dapat kehilangan dana hasil judi online yang dianggap sebagai hak pemerintah dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita.
"Sanksi ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam judi online tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko serius bagi reputasi dan operasional bank,” ungkapnya.
Saat ini, kata dia, judi online berdasarkan data intelijen dari Kemenko Politik dan Keamanan, jumlah masyarakat yang bermain judi online sepanjang 2024 mencapai 8,8 juta orang. Sebanyak 80 persen adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Jadi judi online merupakan wabah yang sangat serius yang telah menyebabkan risiko sistemik di sistem pembayaran. Selain itu, memengaruhi kehidupan masyarakat baik secara sosial ekonomi, kesehatan dan mental," imbuhnya.
Lemahnya Pengawasan BI & OJK
Di sisi lain, lanjut Deni, ada pihak-pihak yang menikmati cuan dari praktik judi online dari sistem pembayaran yang dijalankan perbankan, e-wallet dan operator seluler.
“Dalam hal ini, baik Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkontribusi besar. Karena lemahnya pengawasan kedua lembaga terhormat itu," kata Deni.
Deni menilai koneksi pembayaran melalui GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) maupun API (Application Programming Interface) di perbankan, sangatlah mudah.
Demikian pula transaksi dari e-wallet ke PJP (penyedia sistem pembayaran) melemahkan E-KYC (electronic know your costumer) dan E-KYB (electronic know your bisnis).
"Ini bisa perbankan dan e-wallet tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu yang terkoneksi dalam sistem pembayaran mereka adalah merchant judi online,” ungkapnya.
Dalam hal ini, BI adalah lembaga yang mengeluarkan izin PJP lewat Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/23/PBI/2020. Dan, PJP mendapat izin sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE) lewat PP Nomor 71/2019 dari Kementerian Komunikasi Digital (Kemkomdigi), akhirnya berevolusi menjadi media transaksi pembayaran dari merchant judi online.
Berdasarkan data CBC, kata Deni, sepanjang 2017 hingga 2024, dana yang dinikmati perbankan, e-wallet dan operator seluler dari praktik judi online mencapai Rp 1.416 triliun. Di mana, perbankan mendapat Rp3.000/transaksi, e-wallet Rp1.500/transaksi dan operator seluler mendapat Rp2.500 hingga Rp 5.000 per top-up.
“Selama delapan tahun, pendapatan bank dari transaksi judi online sekitar Rp70,5 triliun, e-wallet sebesar Rp11,5 triliun, operator seluler Rp 4,2 triliun. dan yg telah diblokir Rp 101 triliun, total 187.2 triliun. Nah, dana sebesar itu bisa diambil BPK bersama Kejagung," ungkap Deni.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari