Melanjutkan pendidikan di luar negeri tentu berbeda dengan belajar di negeri sendiri. Ada hal baru baik positif maupun negatif yang akan dirasakan. Berikut pengalaman yang dirasakan oleh Pasiningsih, seorang mahasiswa S2 di Monash University, setelah setahun berada di Melbourne.
Berawal dari mendapatkan beasiswa pemerintah Indonesia bernama LPDP, saya berkesempatan melanjutkan studi magister ke luar negeri. Monash University, Australia, yang terletak di Melbourne, negara bagian Victoria, menjadi tempat saya berlabuh untuk mengambil jurusan Master of Education in Early Childhood Education.
BACA JUGA: Punya 50 Ribu Koleksi, Fans Batman Ini Buka Museum Batcat di Bangkok
Kurang lebih setahun telah berlalu sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di negeri kanguru ini di bulan Februari 2015.
Pasiningsih di depan salah satu gedung bersejarah di kota Melbourne.
BACA JUGA: Dibanjiri Pengunjung, Lokasi Wisata Kolam 8 Picu Resiko Keselamatan
Meskipun sudah setahun terlewat, masih segar dalam ingatan ketika saya mengutarakan rencana untuk melanjutkan pendidikan di Australia. Banyak yang mengucapkan selamat bisa kuliah di luar negeri dan mendoakan agar saya sukses belajar di negeri orang. Namun, tidak sedikit yang khawatir dan memberikan nasihat untuk berhati-hati di Australia.
“Australia itu barat lho, Ning. Pergaulan orang-orangnya bebas. Kamu harus berhati-hati.” Begitulah peringatan yang diberikan oleh teman maupun kerabat ketika saya berpamitan untuk berangkat ke Australia meskipun kebanyakan yang memberikan nasehat kepada saya belum pernah ke Australia.
BACA JUGA: Suplemen Kromium Picu Kanker didalam Tubuh
Pandangan beberapa orang yang beranggapan bahwa negara barat, termasuk Australia, menganut pergaulan bebas mungkin karena pengaruh dari film-film Hollywood yang mereka tonton.
Kemungkinan juga berasal dari pengalaman mengamati para wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.
Harus diakui, pendapat tersebut tidak sepenuhnya keliru. Selama setahun tinggal di Melbourne, Australia, tidak jarang saya melihat beberapa orang yang mengekspresikan kasih sayang mereka terhadap pasangan secara bebas di tempat umum.
Suatu pemandangan yang mungkin tidak sering saya jumpai di Indonesia. Bahkan hal tersebut membuat teman saya yang seorang ibu, kebingungan untuk menjelaskan kepada anak-anaknya yang masih kecil ketika mereka bertanya mengapa pasangan-pasangan tersebut melakukannya di depan umum.
Dalam hal gaya berpakaian, orang-orang di Australia juga memiliki toleransi yang cukup tinggi. Pada musim panas seperti sekarang contohnya.
Akan kita jumpai beberapa gaya berpakaian yang sudah biasa bagi orang Australia. Sebaliknya, akan membuat sejumlah orang di Indonesia, terutama yang menganut keyakinan tertentu maupun yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menggeleng-gelengkan kepala.
Hanya saja, kebebasan di Australia tidak berhenti hanya dibeberapa aspek di atas. Selama di sini saya juga mengamati bahwa Australia termasuk negara yang memberikan kebebasan untuk kelompok yang masih termarginalkan di Indonesia, yaitu orang-orang berkebutuhan khusus.
Fasilitas-fasilitas publik di Australia tidak hanya bisa diakses oleh orang-orang yang memiliki fisik lengkap tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan para pengguna kursi kursi roda.
Jalan-jalan di Australia memberikan kemudahan bagi mereka untuk menyeberang jalan maupun menggunakan trotoar seperti para pejalan kaki lain. Bukan suatu pemandangan yang langka melihat para pengguna kursi roda meluncur dengan bebasnya di jalanan tanpa bantuan orang lain.
Salah satu jalanan di Melbourne, Australia yang bisa diakses oleh para pengguna kursi roda. (Foto: Pasiningsih)
Transportasi umum seperti kereta dan bus di Melbourne juga ramah terhadap para pengguna kursi roda maupun para orang tua yang membawa dorongan bayi/ stroller.
Tempat pintu masuk atau keluar bus biasanya akan otomatis diturunkan oleh sang sopir agar pengguna kursi roda maupun orang tua yang mendorong stroller bisa masuk dan keluar dengan mudah.
Sedangkan di kereta, sang masinis akan turun dari kereta dan memasang papan untuk jalan masuk maupun keluar pengguna kursi roda. Bahkan di jendela-jendela bus maupun kereta, terpasang pengumuman yang memberikan prioritas para penyandang ‘kebutuhan khusus’.
Tanda peringatan di bus untuk memprioritaskan tempat duduk kepada penumpang yang ââ¬Ëberkebutuhan khususââ¬â¢. (Foto: Pasiningsih)
Hal yang serupa juga terlihat di beberapa fasilitas publik lain, seperti sekolah, toilet, maupun tempat-tempat wisata. Sehingga, para pengguna kursi rodapun bisa menikmati hal yang sama seperti orang lain dan tidak terkucilkan karena keterbatasan fisik.
Mereka juga bisa lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap orang lain. Hal yang sayangnya kurang menjadi kepedulian dan masih jarang sekali saya jumpai di Indonesia.
Jalur khusus untuk pengguna kursi roda di salah satu museum di Melbourne, Australia. ( Foto: Pasiningsih)
Prasangka negatif terhadap suatu hal akan menjadi penghalang untuk belajar melihat sisi lain yang positif. Beberapa gaya hidup orang Australia mungkin sedikit berbeda dengan yang dipegang oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Hanya saja, sangat disayangkan jika hal tersebut mengakibatkan kita menutup diri untuk belajar dan melihat hal-hal positif yang sangat bermanfaat untuk diri kita, orang lain maupun perubahan Indonesia yang lebih baik.
Selain itu, bukankah perbedaan akan mengasah kemampuan kita untuk bertoleransi dan menyaring mana yang cocok dan kurang cocok untuk diterapkan ke dalam diri kita?
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Pasiningsih sedang menempuh pendiidikan S2 di bidang Early Childhood Education di Monash University. Sebelumnya menjadi guru Taman Kanak-Kanak Fastrack Funschool, Yogyakarta.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terinspirasi Uber, Australia Akan Miliki Layanan Jet Pribadi Berbiaya Bulanan