jpnn.com - Sang suami akhirnya bisa menerima sang istri pergi. Selamanya.
"Setidaknya kami telah merasa mendapat tambahan umur lima tahun," ujar Prof Dr Soehartono DS, ahli kandungan terkemuka di Surabaya.
BACA JUGA: Mengidap Kanker Hati, Gary Iskak Ungkap Kondisi Terkini
Sang istri, Evie Ratsmawati, meninggal dunia Minggu dini hari kemarin –akibat kanker paru. Usianya 66 tahun– sembilan tahun lebih muda dari suami.
Bagaimana seorang penderita kanker paru stadium 4 bisa bertahan selama lima tahun?
BACA JUGA: Jangan Anggap Remeh Sariawan, Ternyata bisa Pertanda Sakit Kanker
"Itu karena obat Tyrosine Kinase Inhibitor," ujar sang suami.
Itulah obat penahan berkembangnya kanker.
BACA JUGA: Daftar Buah dan Sayur ini Mencegah Anda dari Bahaya Kanker
Yang ia juga bersyukur adalah: selama lima tahun terakhir itu kualitas hidup sang istri tidak menurun. Tetap bisa main tenis. Melakukan umrah yang ke-8. Jalan-jalan ke Eropa. Juga ke Amerika. Ke Tiongkok. Ke Kanada. Ke mana saja.
"Kami tidak seperti orang sakit," ujar dokter yang biasa saya panggil Mas Ton.
"Terus terang saja, saya ingin menyenangkan istri saya semaksimal mungkin," katanya.
Awalnya di tahun 2016. Suami-istri ini melayat sejawat mereka: Prof Dr Herlin Megawe. Sang istri batuk-batuk. Di bawalah ke dokter. Lalu dicarikan second opinion ke Singapura. Benar. Kanker paru. Langsung stadium 4.
Saat itu obat TKI (Tyrosin Kinase Inhibitor) sudah ditemukan. Bahkan generasi ke-2 nya baru saja ditemukan. Maka Evie meminum TKI generasi dua. Bentuknya pil. Diminum tiap hari.
Itu bukan obat untuk membunuh kanker. Tugasnya hanya menghambat pertumbuhan sel kanker.
Sekarang ini berbagai macam kanker bisa dihambat oleh TKI. Ada satu jenis TKI yang bisa untuk beberapa jenis kanker. Namun, ada juga kanker yang memerlukan TKI-nya sendiri.
"Untuk kanker ovarium memakai bevacizumab. Itu untuk menghambat pembentukan pembuluh darah ke sel kanker ovarium," ujar Dr. dr. Brahmana, ahli kanker servik yang juga ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya.
Sambil mengonsumsi obat tersebut, kata Brahmana, tetap harus dicari jalan untuk membunuh sel kankernya. Salah satu caranya lewat kemoterapi. Atau radiasi. Atau operasi. Atau kombinasi.
Kelemahan obat tersebut mirip obat lainnya: lama-lama penyakit itu mengenal obat tersebut. Lalu kebal. Lalu melakukan mutasi. Lalu berkembang lagi.
Itu pula yang dialami Evie Suhartono. Setelah dua tahun mengonsumsi TKI generasi 2, kankernya kebal. Tanda-tanda berkembang muncul lagi. Obat yang sama tidak mempan lagi.
"Untungnya saat itu ditemukan TKI generasi ke-3," ujar Mas Ton.
Maka sang istri diberi obat generasi baru itu. Manjur. Kualitas hidup tidak sampai menurun. Aktivitas sehari-hari berjalan normal.
Dua tahun kemudian, dua minggu lalu, obat baru itu tidak manjur lagi. Kankernya sudah kenal obat itu. Sudah kebal. Lalu kembali berkembang.
Evie masuk rumah sakit. Obat TKI generasi 4 belum ditemukan. Mungkin tidak lama lagi. Namun, Evie lebih dulu menemui takdirnya.
"Sekarang saya harus belajar hidup sendiri. Selama ini saya sangat tergantung istri," ujar Mas Ton.
Sampai pun yang menyiapkan sikat gigi dan celana dalam, istri. Ia juga tidak tahu punya uang berapa.
"Tahu saya ya berapa yang ditaruh istri di dompet saya," katanya.
Mereka punya tiga anak. Laki semua. Yang dua jadi dokter –ahli kandungan semua. Satunya memilih bidang bisnis.
Seberapa tertekan selama lima tahun mengidap kanker stadium 4?
"Istri saya tidak tertekan. Sama sekali. Dia tipe wanita yang tidak pernah mengeluh. Agamanya kuat sekali," katanya.
Suatu saat Mas Ton mengatakan ke istrinya: lebih baik kalau ia yang meninggal dulu. Hasil pemeriksaan lab rutin mereka selalu saja Mas Ton yang lebih jelek. Sudah operasi jantung pula.
Sang istri juga tidak pernah masuk rumah sakit. Kok sekali sakit kanker stadium 4.
Saya dan istri melayat ke rumah Mas Ton jam 5 pagi di hari Minggu itu. Mumpung masih sepi.
Dokter Brahmana dan istri juga terlihat sudah di rumah duka. Jenazah baru tiba dari RS, baru akan dimandikan.
Mas Ton adalah dokter kandungan istri saya. Anak wedok saya pun ditangani Mas Ton. Juga Ivo, menantu saya. Dari situ saya tahu Mas Ton bisa masih di ruang praktik pada pukul 02.00 dini hari.
Sebelum pandemi pun Mas Ton masih praktik dokter. Maret tahun lalu pun masih. Padahal pandemi sudah mulai. Baru mulai April Mas Ton tidak praktik lagi.
Selama 40 tahun praktik, Mas Ton sempat mengalami permintaan aneh-aneh dari keluarga yang mau melahirkan. Terutama dari golongan Tionghoa. Misalnya banyak yang minta dioperasi caesar jam 00.05. Agar shio-nya sudah masuk shio yang lebih baik.
"Saya layani saja. Itu kan keyakinan mereka," kata Mas Ton. "Minta tarif khusus?" tanya saya. "Tidak," tegasnya.
"Kan ada yang untuk permintaan seperti itu mengenakan tarif tiga kali lipat... ," kata saya. "Saya tidak mau begitu," jawab Mas Ton.
Waktu saya menjalani transplantasi hati di Tianjin, 2006, Mas Ton menjalani operasi jantung di Australia. Waktu saya melaksanakan bedah buku Ganti Hati –tiga bulan setelah operasi– Mas Ton yang jadi moderator –sama-sama baru selesai operasi besar.
Saya tidak perlu lagi menulis bagaimana Mas Ton menemukan Evie. Sudah ada di podcast saya kapan itu.
Obat TKI telah banyak memperpanjang umur manusia. "Keluarga saya juga kena kanker. Juga minum obat TKI. Bertahan sudah delapan tahun," ujar ahli kanker Prof Dr Ario Jatmiko yang memiliki rumah sakit Ongkologi di Surabaya.
"Sayangnya keluarga saya itu kena serangan kanker kedua, kanker isofagus," ujar Prof Miko.
Seberapa mahal obat itu? Sehingga hanya yang kaya yang bisa mendapatkannya?
Saya pun mengumpulkan informasi. Untuk minum tiap hari, setiap bulan habis antara Rp 30 sampai Rp 50 juta. Kalau mau tambah umur lima tahun tinggal mengalikan 50 x 12 x 5 saja.
Karena itu obat ini belum populer di Indonesia. Tidak semua rumah sakit memiliki cadangan obat itu.
Itu berbeda dengan di negara yang sistem jaminan kesehatannya lengkap: termasuk mencakup obat tersebut.
Negara memang harus menghemat uang. Termasuk uang asuransi. Bahwa bocor Rp 16 triliun di asuransi A dan Rp 16 triliun lagi di asuransi B, itu kan bukan asuransi kesehatan. (*)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi