Siapa yang tidak suka belanja? Kebanyakan diantara kita sangat menggemarinya, bahkan ada sebutan berbelanja untuk sebuah terapi.
Kita hidup di jaman dimana kebanggaan diri diukur pada barang-barang terkini yang kita miliki, seberapa mahal harganya, dan bahkan seberapa tinggi Anda bisa menjualnya.
BACA JUGA: Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan di Australia Meningkat
Apakah kita ketagihan dengan berbelanja? Bisakah kita berhenti mengeluarkan uang?
Direktur Ekonomi dari The Australia Institute, Richard Denniss berbagi pemikirannya, yang diambil dari bukunya berjudul 'Curing Affluenza: How to bue less stuff and save the world'.
BACA JUGA: Kisah Remaja Putri yang Diperkosa Ayah Sendiri dan Pria Lainnya
Ia berpendapat yang pertama kali harus dilakukan adalah membedakan antara konsumerisme dan materialisme.
"Konsumerisme adalah kesenangan membeli barang, aksi membeli sesuatu, adanya sensasi saat masuk toko dan mencari-cari barang... sementara materialisme adalah kecintaan terhadap objek atau barang," ujarnya kepada program Nightlife milik Radio ABC Darwin.
BACA JUGA: Wisata Panti Asuhan Dikhawatirkan Jadi Selubung Child Trafficking
"Jadi bayangkan saat Anda membeli sepatu baru, atau baju baru, di satu sisi ada kesenangan karena membelinya, ini adalah konsumerisme. Tapi ada juga kecintaan akan barang itu sendiri."
Menurutnya jika kita benar-benar mencintai sepatu, mobil, motor yang sudah dimilika, maka kita tidak akan membuangnya. Sebaliknya kita justru akan menjaga dan menyayangi barang-barang tersebut untuk jangka lama.
"Jadi dalam buku saya disebutkan bukan berarti kita berhenti mencintai barang kepemilikan kita, tetapi jika tiap tahunnya membuang 60 juta ton barang-barang dan makanan yang tidak dimanfaatkan, maka kita telah membeli barang-barang yang tidak dimanfaatkan."
Richard mengatakan tiap-tiap orang tentu memiliki kebebasan untuk membeli barang-barang yang diinginkannya.
"Silakan saja kalau mau beli sepatu baru, tapi kalau beli sepatu baru setiap akhir pekan, maka ini bukan lagi tentang sepatunya yang membuat Anda senang, tetapi proses membelinya," jelasnya.
"Jika proses membeli ini kemudian menjadi kecanduan, Anda tak akan pernah lelah untuk terus melakukannya, tapi Anda juga tidak akan merasakan kebahagiaan."
"Yang Anda cari ternyata bukan barangnya, dan malah akan dibuang setelah tak dipakai. Anda hanya mencari sesuatu yang simbolis, yakni melalui mengkonsumsi barang-barang." Hentikan budaya membuang-buang barang
Richard berpendapat Australia, sebagai salah satu negara terkaya di dunia, dengan memiliki 'budaya membuang-buang barang' telah membuat orang-orangnya malah merasa miskin.
Ia menceritakan di tahun 1930an, di saat dunia mengalami depresi ekonomi, Australia justru cukup kaya untuk berinvestasi di sektor infrastuktur yang bertahan ratusan tahun, bahkan masih dinikmati oleh generasi masa kini.
"Apakah kita cukup kaya untuk melakukan hal yang sama? Ternyata tidak, kita sedang ambruk. Pasti pernah mendengar laporan soal nenek tua di panti jompo yang menderita kekurangan gizi, di sini, di Australia."
"Pertanyaannya, mengapa mereka dulu bisa melakukannya dan memiliki uang?"
Richard mengatakan Australia di jaman sebelumnya tidak membuang ratusan miliar dolar untuk membeli kulkas setiap tiga tahun sekali.
Anda bisa mendengarkan selengkapnya dari program Nightlife lewat tautan berikut.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pria Asal Perth Divonis Bersalah Mencuri Kacamata Hitam di Bali