Belasan Manusia Keji Menjahati Yuyun

Rabu, 04 Mei 2016 – 18:14 WIB
Reza Indragiri Amriel. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - KASUS pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, anak baru gede (ABG) 14 tahun di Rejang Lebong, Bengkulu, sungguh menyesakkan dada. Sebanyak 14 pelaku seperti dirasuki setan, sebagian ada yang melakukan pemerkosaan dua hingga tiga kali, di saat Yuyun sudah tidak bergerak lagi.

Yang bikin miris, tujuh dari 12 pelaku yang sudah tertangkap, masih tergolong anak di bawah umur. Mereka sudah disidang secara khusus.

BACA JUGA: Ahok yang Pikun

Bagaimana mereka bisa bertindak sebrutal itu? Berikut wawancawara wartawan JPNN Mesya Muhammad dengan psikolog forensik, lulusan The University of Melbourne, Reza Indragiri Amriel, Rabu (4/5).

Bagaimana tanggapan Anda tentang kasus pemerkosaan yang menimpa Yuyun?

BACA JUGA: Borobudur itu Mutiara...Ayolaaah

Ini kejadian yang luar biasa keji. Apapun alibi para pelaku, belasan manusia keji yang sudah menjahati Yuyun, harus dihukum seberat-beratnya.

Tapi bagaimana dengan pelaku berusia remaja?

BACA JUGA: Gandeng KPK Ungkap 57.724 PNS Misterius

Sudah saya katakan tadi, apapun alibinya, tindakan 14 pemerkosa Yuyun ini sangat keji. Hampir bisa dipastikan, para tersangka ini akan dikenakan pasal berlapis. Yakni mengonsumsi minuman keras di tempat umum, memerkosa, dan menghilangkan nyawa manusia.

Kalau begitu, hukumannya bisa di atas 15 tahun?

Bila dilihat dari tiga pasal pidana tesebut, mungkin saja penjantuhan hukuman maksimal bagi seluruh tersangka.‎ Contohnya, hukuman bagi tersangka harus diperberat karena selain memerkosa juga mengonsumsi alkohol. Namun bisa juga ini tidak berlaku bagi tersangka yang masih berusia remaja. Karena kita tahu bersama dari 14 pemerkosa, ada sebagian berusia masih anak-anak.

‎Bila ditinjau dari aspek psikologi forensik, apa sebenarnya yang melandasi para pemerkosa, apakah karena pengaruh minuman keras atau ada hal lainnya?

Secara klasik, setiap perilaku kejahatan diyakini didahului oleh pemunculan niat jahat. Dalam kasus Yuyun, kapan sesungguhnya para tersangka berniat memerkosa korban. Apabila mens rea (sikap batin, niat, red) baru muncul setelah mereka berada dalam kondisi mabuk, maka mabuk sebagai penyebab lumpuhnya mental tersangka dapat diajukan sebagai pembelaan diri. Sebaliknya, manakala mens rea untuk memerkosa sudah timbul saat tersangka masih sadar (sejak sebelum aksi mabuk-mabukan dilakukan), maka mabuk tidak bisa dipakai sebagai alibi dan justru merupakan katalis bagi tindak perkosaan.

Unsur mana dari perilaku mereka yang terlihat sadis?

Saya ikuti pemberitaan di media, bahwa para tersangka membunuh korban, setelah memerkosanya beramai-ramai, dengan cara menjatuhkannya ke dalam jurang dengan kondisi kedua tangan terikat. Jika itu yang terjadi, maka terpenuhi kriteria bahwa Yuyun adalah korban pembunuhan (murder).‎ Versi lainnya menyebutkan korban meninggal saat perkosaan itu masih berlangsung. Nah, kalau kondisi ini Yuyun tampaknya bukan korban pembunuhan tetapi sebagai korban penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia (manslaughter).‎

‎Jadi para pelaku memang sudah pasang niat duluan?

Mens rea dibedakan atas niat spesifik (specific intent) dan niat umum (general intent). Dalam kasus perkosaan; ketika mabuk menurunkan kapasitas mental yang ditandai hilangnya kesadaran tentang apa yang tengah dilakukannya, itu tetap bukan pemakluman yang membebaskan si pemerkosa dari tanggung jawab, meski memungkinkannya untuk mendapat peringanan sanksi.

Bagaimana dengan pelaku yang berusia remaja, apakah layak dihukum seberat-beratnya?

Bagi remaja, kehadiran teman sebaya--terlebih yang termasuk dalam kelompok teman dekat--memiliki makna sangat nyata. Perasaan takut dijauhi teman dan, pada saat yang sama, kebutuhan untuk memiliki jatidiri tertentu sebagai simbol eksklusif pertemanan mewarnai tindak-tanduk remaja dalam keseharian mereka. Pengaruh besar tersebut juga berlangsung dalam fenomena remaja yang berperilaku menyimpang dan berperilaku jahat.

Dalam kasus Yuyun, tidak menutup kemungkinan para pelaku yang masih berusia remaja (anak-anak) ikut-ikutan mengonsumsi minuman keras dikarenakan adanya tekanan dari sesama remaja maupun dari para pelaku dewasa yang termasuk dalam lingkaran pertemanan tersebut.

Apabila itu yang terjadi, maka para tersangka berusia remaja (anak-anak) tersebut sesungguhnya merupakan korban. Apalagi karena anak-anak belum memasuki usia kehendak maka satu-satunya asumsi yang bisa ditegakkan dalam kasus ini adalah aksi minum minuman keras hingga mabuk dilakukan para tersangka remaja (anak-anak) karena adanya tekanan atau paksaan dari tersangka-tersangka lain serta tanpa seizin orangtua anak-anak tersebut.

Jadi pelaku anak-anak bisa lepas jeratan hukum?

Saya tidak katakan demikian. Mereka bisa dijerat‎ karena aksi minum minuman keras hingga mabuk, apakah itu dilakukannya karena keinginan sendiri atau paksaan teman-temannya yang lain. Itulah yang membedakan antara tersangka dewasa dan tersangka remaja (anak-anak) dalam kasus Yuyun, kendati mereka terlibat pada seluruh tahapan kejadian yang sama. Sejak awal, yakni pada aksi mabuk-mabukan, para tersangka dewasa sudah berstatus sebagai tersangka pelaku kejahatan. Sedangkan pada tersangka remaja (anak-anak), keterlibatan mereka dalam peristiwa itu bermula dari status mereka selaku korban kejahatan, yaitu sebagai orang yang meminum minuman keras karena di bawah tekanan tersangka lain.‎

Pelaku yang masih di bawah umur perlu diperlakukan khusus?

Walau secara hukum belum memasuki age of consent, namun terhadap tersangka remaja (anak-anak) itu tetap perlu diperiksa kondisi kesadaran mereka saat melakukan aksi jahat berikutnya. Seandainya mereka juga memerkosa dalam keadaan sadar, maka proses pemidanaan sesuai Undang-Undang Peradilan Anak tetap harus dijalankan. Sebaliknya, ketika kekejian itu mereka tampilkan dalam keadaan mabuk berat, sehingga bahkan secara kognitif mereka sendiri pun benar-benar tidak tahu dan tidak memahami apa yang mereka lakukan -bahkan mungkin tidak dapat mengingat perbuatan mereka-, maka ini kian menggenapkan status mereka selaku individu tanpa age of consent. Tinggal lagi proses rehabilitasi perlu diselenggarakan guna mencegah mereka masuk dalam situasi serupa di waktu lain. (esy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bertemu Fahri Tertawa-tertawa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler