Belasan Politikus Inggris Incar Bekas Kursi Theresa May

Minggu, 26 Mei 2019 – 07:40 WIB
PM Inggris Theresa May bakal kembali mengajukan proposal Brexit kepada Parlemen Inggris. Foto: Aljazeera

jpnn.com, LONDON - Bibir Theresa May bergetar saat mengucapkan pernyataan pengunduran diri. May mungkin belum ingin meletakkan jabatan. Tapi, dorongan untuk melakukannya terus-menerus datang sejak kesepakatan perpisahan Inggris dari Uni Eropa (UE) alias Brexit rampung. Banyak yang tak puas.

Setelah beberapa kali selamat dari pelengseran, May akhirnya menyerah juga. Pengunduran dirinya itu termasuk lebih cepat dari jadwal. Sebab, sebelumnya dia menyatakan akan mundur setelah voting kesepakatan Brexit di parlemen.

BACA JUGA: Brexit Makin Rumit, Theresa May Bersiap Mundur

Langkah May itu sepertinya sudah ditunggu banyak pihak. Hanya berselang beberapa jam, sudah ada beberapa tokoh yang menyatakan siap maju mencalonkan diri sebagai pengganti May. Bukan hanya di partai, tapi juga sebagai perdana menteri (PM). Sebab, pemimpin partai penguasa pemerintahan, yaitu Partai Konservatif, juga diangkat menjadi PM.

Siapa yang bakal menjadi PM selanjutnya baru ketahuan 20 Juli nanti, setelah kongres Partai Konservatif selesai. Pemilihan baru dilakukan 10 Juni. Itu adalah batas akhir tanggal penyerahan nama untuk mencalonkan diri.

BACA JUGA: Skotlandia Ingin Merdeka dari Britania Raya

Untuk bisa mencalonkan diri, tiap-tiap kandidat harus didukung dua anggota parlemen dari Partai Konservatif. Dua kandidat dengan pendukung terbanyaklah yang akan ditarungkan. Di akhir Juli, seluruh anggota partai dengan sebutan Tory itu akan memilih. Partai Konservatif memiliki 124 ribu anggota.

Sampai kemarin, Sabtu (25/5) sudah ada empat kandidat yang memastikan diri untuk maju. Yaitu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Jeremy Hunt, Menteri Pembangunan Internasional Rory Stewart, mantan Menlu Boris Johnson, serta mantan Menteri Pekerjaan dan Pensiunan Esther McVey.

BACA JUGA: Maju Mundur Brexit Bikin Produsen Peta Menjerit

Belasan politikus lainnya juga berniat maju meski belum memastikan. Salah satunya adalah Sir Graham Brady. Politikus 52 tahun itu bahkan sudah melepaskan jabatannya sebagai anggota Komite 1922 agar bisa maju. Komite 1992 adalah anggota Partai Konservatif yang duduk di House of Commons.

"Saya mengambil keputusan untuk mundur dalam rangka memastikan proses pemilihan transparan dan jujur," terang Sir Graham seperti dikutip Metro.

Menteri Pekerjaan dan Pensiunan Amber Rudd juga digadang-gadang sebagai pengganti May. Jika terpilih, dia akan menjadi PM perempuan ketiga di Inggris. Tapi, Amber Rudd menampik ingin maju. Kepada Daily Telegraph dia menegaskan bahwa kali ini bukan waktu untuk dirinya maju sebagai kandidat ketua Partai Konservatif. Dia malah menegaskan bisa bekerja sama dengan Boris Johnson. "Saya sebelumnya pernah bekerja dengannya, kami bisa bekerja sama," terang dia kepada BBC.

Menteri Lingkungan Michael Gove juga belum memberikan kepastian. Padahal, namanya ikut menjadi pembicaraan dalam bursa kandidat. Sejauh ini, yang paling diunggulkan memang Boris Johnson. Disusul mantan Menteri Brexit Dominic Raab dan Gove.

Johnson sejak awal merupakan pendukung Brexit. Tidak seperti May. Sebelum menjadi PM, May mendukung agar Inggris tetap bersatu dengan UE. Tapi, ketika menerima mandat sebagai PM, dia tetap memperjuangkan amanat rakyat yang tertuang dalam referendum. Yaitu, Inggris ingin bercerai dari UE.

BACA JUGA: Inggris Mesra dengan Huawei, AS Ancam Putus

Johnson sudah lama ingin menjadi PM. Kali ini dia bakal berusaha sekuat tenaga untuk bisa menggantikan May. Jika Johnson terpilih, bisa dipastikan apa pun yang terjadi dia akan memilih Brexit. Sangat mungkin setelah terpilih dia akan mengusulkan percepatan pemilu untuk meningkatkan mandat untuknya. Sayang, banyak yang tak suka dengan Johnson. Termasuk Rory Stewart. Dia menyatakan tak bisa bekerja sebagai pejabat pemerintahan Inggris jika Boris Johnson menjadi PM.

Johnson maupun Raab sama-sama ingin pisah dari UE. Mereka berpeluang membawa Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan alias no deal Brexit. Pisah tanpa kesepakatan adalah hal yang ditakutkan banyak pihak, utamanya para pengusaha.

Siapa pun yang jadi pemenang nanti, dia punya tugas berat. Yaitu, mendapatkan dukungan dari parlemen untuk menyetujui kesepakatan yang sebelumnya sudah dicapai antara May dan UE. May tiga kali gagal melakukannya. PM selanjutnya harus lebih luwes melobi agar bisa berhasil. (Siti Aisyah/c10/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inggris Terpaksa Ikut Pemilu Eropa


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler