jpnn.com - JAKARTA - Pasca-aksi demonstrasi besar-besaran di depan Istana Negara pada 4 November lalu justru muncul suara-suara untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo. Terlebih, sempat ada rumor tentang pergantian Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Tapi, benarkah ada tanda-tanda kudeta untuk menggulingkan presiden yang beken disapa dengan panggilan Jokowi itu? Hal itulah yang dibedah dalam diskusi bertema Membaca Tanda Sejarah, Menjaga Indonesia Bhinneka di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (16/11).
BACA JUGA: Ketum Muhammadiyah Puji Komitmen Jokowi untuk Tuntaskan Kasus Ahok
Diskusi itu merupakan bagian dari deklarasi Front Pembela Indonesia (FPI) Bhinneka. Organisasi yang dipimpin Abi Rekso itu punya anggota dari berbagai unsur masyarakat yang berupaya menyuarakan penghormatan dan sikap toleran pada keragaman.
Direktur Imparsial Al A’raf yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi itu mengatakan, ada lima prasyarat kudeta. “Yang pertama adalah pertikaian tajam di antara elite politik yang menimbulkan deadlock,” katanya.
BACA JUGA: Ahok Gak Mungkin Kabur, Tak Perlu Ditahan
Sedangkan prasyarat kedua adalah masih kuatnya pandangan di tubuh militer bahwa ancaman bukan dari mancanegara, tapi justru dari datang dari dalam negeri. Ketiga adalah militer bertipe praetorian yang mengklaim sebagai penyelamat bangsa.
Prasyarat keempat adalah adanya dukungan luas dari masyarakat. Contohnya adalah kudeta di Thailand dan Mesir yang bisa terjadi karena didukung rakyat.
BACA JUGA: E-Government Terintegrasi Bisa Kikis InefisiensiMoney Follow
Sedangkan di Indonesia, katanya, rakyat justru tak menginginkan kudeta. “Di Indonesia sekarang masyarakat tidak ingin kegaduhan,” ulasnya.
Sedangkan prasyarat kelima adalah instabilitas politik akibat konflik dan kekerasan berkepanjangan. Contohnya adalah Rwanda di Afrika yang didera konflik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
A’raf pun mengingatkan pentingnya aturan yang tegas untuk menghukum pelaku politisasi SARA. “Ketika politisasi SARA berujung pada genosida, harus ada regulasi yang serius tentang ujaran kebencian,” lanjutnya.
Lebih lanjut A’raf mengaku belum melihat potensi militer di Indonesia akan mendongkel presiden yang dihasilkan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Menurutnya, ada proses reformasi internal di TNI hingga kini yang menjauhkan angkatan bersenjata itu dari penggulingan terhadap penguasa.
“Sampai saat ini TNI/Polri telah melalui proses reformasi yang panjang, tidak ingin melakukan kudeta,” ungkapnya.
Sedangkan sejarawan Boni Triyana dalam diskusi yang sama mengatakan, mayoritas kudeta yang berhasil karena pelakunya menunggangi massa. Pemimpin redaksi di Majalah Historia itu lantas membeber catatannya tentang kudeta-kudeta di berbagai negara.
“Ada 121 kudeta dengan menunggangi demonstrasi massa. Dibanding perjuangan bersenjata, hanya enam yang berhasil,” kata Bonnie.
Dia pun tak memungkiri bahwa banyak pihak khawatir terhadap aksi demonstrasi pada 4 November lalu atau yang dikenal dengan sebutan 411 merupakan upaya kudeta. Apalagi ada yang mencoba menggiring massa untuk menduduki parlemen.
Bonnie pun menegaskan, kudeta memang merupakan cara inkonstitusional untuk meraih kekuasaan. Namun, bisa saja pengambilalihan kekuasaan itu disahkan secara konstitusi.
“Contohnya kudeta 1965 (naiknya Orde Baru, red). Soeharto tidak bisa diadili karena sudah dikonstitusionalisasikan,” ulasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Generasi Muda Partai Golkar: Tinggalkan Ahok Sebelum Ditinggal Rakyat
Redaktur : Tim Redaksi