jpnn.com, COXâS BAZAR - Ketika ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh dua tahun lalu, sebagian besar masyarakat setempat menyambut dengan tangan terbuka. Sekarang, sambutan itu telah menipis dan kebencian, kemarahan serta ketakutan mulai merasuk.
"Awalnya, sebagai sesama Muslim, kami membantu mereka," kata Riazul Haque, 28, seorang buruh dari Hakimpara, dekat kota perbatasan Ukhiya.
BACA JUGA: Bangladesh Kembali Proses Pemulangan Pengungsi Rohingya
Haque mengizinkan sekitar 60 keluarga Rohingya untuk menetap di sebidang tanah miliknya. Dia berpikir mereka akan tinggal paling lama dua atau tiga bulan.
Ukhiya adalah rumah bagi sekitar 300.000 orang, tetapi gelombang pengungsi Agustus 2017 telah menyebabkan populasi membengkak lebih dari tiga kali lipat. Sebagian besar pengungsi ditempatkan di Kamp Kutupalong yang luas. Namun, pengungsi yang punya modal memilih pergi keluar untuk mencari peluang.
BACA JUGA: Kepala Petugas Medis Ditembus Peluru Sniper Pemberontak Myanmar
BACA JUGA: Bangladesh Kembali Proses Pemulangan Pengungsi Rohingya
Penduduk setempat menyalahkan mereka atas berbagai macam hal. Mulai dari meningkatnya polusi dan kejahatan ringan, hingga kurangnya pekerjaan.
BACA JUGA: Pemberontak Myanmar Serang Akademi Militer
"Mereka mencuri pekerjaan marjinal dari kami dengan menyuap aparat penegak hukum," katanya kepada AFP.
Beberapa orang Rohingya yang menetap di luar kamp resmi sekarang dipaksa untuk kembali. Anak pengungsi yang terdaftar di sekolah-sekolah setempat diusir.
Kepala Polisi Distrik Cox's Bazar Ikbal Hossain mengungkap masalah lain yang tak kalah meresahkan: Narkoba.
Puluhan juta pil metamfetamin masuk ke Bangladesh dari Myanmar melalui Cox's Bazar dan gembong narkoba sering menggunakan Rohingya sebagai bagal untuk membawa narkotika ke kota-kota terdekat.
Paling tidak 13 Rohingya ditembak mati dalam apa yang dikatakan polisi sebagai baku tembak dengan petugas sementara diduga membawa ribuan pil yaba.
Kehadiran mafia narkotika pada gilirannya menyebabkan kekerasan di dalam kamp. Tingkat kejahatan dan pembunuhan di kamp pengungsi bahkan sudah lebih tinggi daripada statistik nasional.
Kepala polisi Hossain mengatakan sekitar 318 pengaduan pidana telah diajukan terhadap Rohingya sejak Agustus 2017 - termasuk 31 kasus pembunuhan. Tetapi para ahli memperingatkan bahwa jumlah pembunuhan di kamp-kamp Rohingya jauh lebih tinggi daripada jumlah yang dikutip oleh polisi.
Semua ini jelas menambah ketidakpercayaan penduduk setempat.
Rabeya Begum, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di dusun Madhurchhara dekat Kutupalong mengatakan bahwa para pengungsi kadang-kadang melakukan kekerasan. Dia mengaku takut karena jumlah mereka yang banyak.
"Kami tidak merasa aman di malam hari tetapi saya tidak bisa begitu saja meninggalkan rumah saya. Tanah saya yang lain akan ditempati oleh para pengungsi," katanya kepada AFP.
Namun pemimpin komunitas Rohingya Mohib Ullah mengatakan para pengungsi memiliki hubungan yang sangat baik dengan komunitas tuan rumah. "Kami berterima kasih kepada Bangladesh karena melindungi kami. Kami saling membantu karena kami adalah tetangga," katanya. (AFP/dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Populasi Nyamuk Menggila, Seribu Orang Terjangkit Demam Berdarah dalam 24 Jam
Redaktur & Reporter : Adil