jpnn.com, JAKARTA - Pakar komunikasi politik Antonius Benny Susetyo mengkritisi terkait hukum di Indonesia yang terjadi saat ini.
Benny mengutip seorang filsuf dan teolog yang paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran barat Thomas Aquinas.
BACA JUGA: Romo Benny Ajak Masyarakat Mengawasi Penyelenggara Pemilu
Mengutip Thomas, Benny mengungkapkan penegakan hukum di Indonesia sering kali bersifat pragmatis dan tergantung pada pesanan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
"Menurutnya (Thomas), manusia adalah “animal politicum” atau makhluk politik yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain untuk mencapai kebahagiaan," kata Benny dalam keterangannya, Minggu (4/8).
BACA JUGA: Menolak Lupa Peristiwa Kudatuli, Romo Benny Tak Ingin Kejadian Kelam Itu Terulang
Oleh karena itu, lanjut Benny, politik harus diarahkan untuk menciptakan kondisi di mana setiap individu dalam masyarakat dapat berkembang secara maksimal dan mencapai kebahagiaan.
Hukum, dalam pandangan Thomas, adalah sarana untuk mencapai kebaikan bersama dengan memberikan aturan dan batasan yang jelas bagi tindakan manusia.
BACA JUGA: Stafsus BPIP Romo Benny Susetyo Tegaskan Pancasila Jawaban atas Permasalahan di Indonesia
Hukum bukan hanya sekadar perintah akal budi, tetapi juga aturan yang mengatur tindakan manusia secara keseluruhan.
Saat ini, penegakan hukum di Indonesia cenderung bersifat pragmatis dan tergantung pada pesanan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Hukum sering kali digunakan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis dan menghancurkan kekuatan demokrasi serta partai-partai politik yang seharusnya menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan.
"Kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung manipulatif, dan hukum dijadikan alat pembenaran terhadap praktek-praktek yang tersembunyi dan relasi kuasa yang timpang.
Perilaku koruptif telah menjadi budaya di Indonesia karena supremasi hukum yang lemah," sambungnya
Benny pun menyoroti terkait penegakan hukum yang ada di KPK.
Lembaga antirasuah ini terlihat bisa diintervensi oleh kekuasaan.
Menurut Benny, demokrasi di Indonesia kian tergerus oleh perilaku pihak-pihak tertentu yang membelenggu reformasi dan memperparah korupsi yang sudah menjadi budaya.
"Hal ini diperparah dengan KPK yang telah diintervensi oleh penguasa dalam penanganan kasus-kasus korupsi," imbuhnya.
Hal ini, dilanjutkannya, menunjukkan independensi lembaga penegak hukum seperti KPK semakin tergerus oleh kepentingan politik, mengakibatkan penegakan hukum kehilangan keadabannya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dalam pidato kebangsaan di Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Perindo, menyoroti supremasi hukum di Indonesia saat ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
"Megawati juga menilai KPK telah diintervensi oleh penguasa dalam penanganan kasus-kasus korupsi," kata Benny lagi.
Supremasi hukum sangat penting untuk menjaga keadilan dan kebaikan bersama.
"Hukum harus berfungsi sebagai alat untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan, bukan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis," imbuhnya.
Dia menegaskan penegakan hukum yang sejati membutuhkan manusia-manusia penegak hukum yang memiliki karakter, komitmen, dan jiwa negarawan.
"Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang memiliki hati nurani dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan," tegas Benny.
Hukum yang berfungsi dengan baik akan mampu menjadi penyeimbang bagi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Masih dikatakan Benny, penegakan supremasi hukum memastikan setiap individu atau kelompok, tidak peduli seberapa kuat atau berkuasa mereka, tunduk pada hukum yang sama.
Ini adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat yang adil dan berkeadaban.
Kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung menjadi manipulatif, dan hukum dijadikan alat pembenaran terhadap praktek-praktek yang tersembunyi.
"Relasi kuasa yang timpang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif mengakibatkan kecenderungan manipulatif dalam penegakan hukum," katanya.
Kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan cenderung menggunakan hukum untuk membungkam lawan-lawan politik dan orang-orang yang tidak seide.
"Pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah prinsip dasar dalam sistem demokrasi untuk mencegah terjadinya tirani dan penyalahgunaan kekuasaan," urainya.
Namun, dilanjutkannya, ketika salah satu cabang kekuasaan terlalu dominan atau ada intervensi yang tidak semestinya, keseimbangan ini rusak dan penegakan hukum menjadi tidak efektif.
"Penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakan hukum yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan adalah cermin dari penegakan hukum yang sejati," ujarnya.
Supremasi hukum sangat penting untuk menjaga keadilan dan kebaikan bersama.
Hukum harus berfungsi sebagai alat untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan, bukan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis.
"Penegakan hukum yang sejati membutuhkan manusia-manusia penegak hukum yang memiliki karakter, komitmen, dan jiwa negarawan. Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang memiliki hati nurani dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan," paparnya.
Oleh karena itu, saatnya semua pihak menatap masa depan hukum agar hukum dikembalikan martabatnya dan bukan dijadikan alat politik atau alat pembenaran kekuasaan.
"Untuk mencapai penegakan hukum yang sejati, penting untuk memastikan bahwa para penegak hukum memiliki karakter yang kuat, komitmen terhadap keadilan, dan jiwa negarawan," sambungnya.
Pendidikan dan pembinaan karakter, katanya lagi, harus menjadi bagian integral dari pelatihan penegak hukum.
Selain pengetahuan hukum, penegak hukum harus diajarkan tentang etika, integritas, dan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
"Reformasi institusional juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa lembaga penegak hukum seperti KPK dan pengadilan memiliki independensi yang cukup untuk menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari pihak-pihak yang berkepentingan," pungkas dia. (mcr10/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Elvi Robiatul