Menolak Lupa Peristiwa Kudatuli, Romo Benny Tak Ingin Kejadian Kelam Itu Terulang

Senin, 29 Juli 2024 – 13:43 WIB
Budayawan Antonius Benny Susetyo atau Romo Benny menolak lupa peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal dengan sebutan peristiwa Kudatuli. Foto: Friederich Batari/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Budayawan Antonius Benny Susetyo mengingatkan peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta bukan sekadar kenangan pahit dalam sejarah politik Indonesia.

Peristiwa yang dikenal dengan sebutan tragedi Kudatuli itu menjadi simbol dari luka mendalam yang masih dirasakan banyak orang, terutama mereka yang menjadi korban atau keluarga korban dari kekerasan yang terjadi.

BACA JUGA: Peristiwa Kudatuli Bisa Saja Dialami Parpol Lain yang Bersuara Kritis untuk Bela Rakyat

Pada hari itu, pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto melakukan serangan terhadap kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang diduduki pendukung Megawati Soekarnoputri, pemimpin partai yang baru saja digulingkan.

"Serangan ini bukan hanya merupakan tindakan brutal terhadap warga sipil yang tidak bersenjata, tetapi juga mencerminkan betapa kekuasaan saat itu telah menjadikan hukum sebagai alat untuk menindas lawan politik," kata Romo Benny yang akrab disapa dalam keterangan resminya.

BACA JUGA: Hasto: Kudatuli Mengajarkan Bahwa Kekuatan Arus Bawah Tidak Bisa Dibungkam

Tidak berhenti di situ, lanjut Romo Benny, peristiwa ini memicu kerusuhan yang meluas di beberapa wilayah di Jakarta, terutama di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat.

Kendaraan dan gedung terbakar, dan kekacauan merajalela selama dua hari.

BACA JUGA: Memperingati Kudatuli, PDIP Bersama Korban Rezim Otoriter Tabur Bunga di Kantor Partai

Peristiwa Kudatuli harus menjadi pengingat betapa kita sering kali lupa akan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi.

"Pembiaran terhadap peristiwa itu menunjukkan betapa hukum saat itu telah mengalami imunitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia bukan hanya melukai sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi juga menghancurkan martabat manusia," tegasnya.

Dia mengatakan ketika otoritas politik dan kekuasaan mereduksi harkat dan martabat manusia, maka manusia kehilangan nilai dirinya.

Pancasila seharusnya menjadi dasar dalam cara berpikir dan bertindak, terutama dalam hal menghormati hak asasi manusia.

"Jika Pancasila dikembalikan kepada etika hidup berbangsa dan bernegara, maka pelanggaran terhadap martabat manusia harus selalu diingat dan dituntaskan," tambahnya.

Romo Benny menegaskan kejahatan kemanusiaan tidak boleh dibiarkan terus terjadi dengan membiarkan hukum mengalami imunitas.

Hukum harus berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan, bukan kepada kepentingan kekuasaan semata.

Romo Benny lantas mengutip pernyataan seorang filsuf besar, Walter Benjamin yang mengatakan bahwa ketika persoalan menyangkut kemanusiaan, seorang pemimpin harus bisa mengambil tindakan yang luar biasa.

Pemimpin harus mengatasi kepentingan politik sesaat dan berani mengambil tindakan yang tidak populer demi memperjuangkan kemanusiaan.

Namun, kenyataannya sering kali politik justru menginjak-injak kemanusiaan karena tidak lagi berdasarkan suara hati nurani.

"Ketika politik tanpa hati nurani, maka politik itu menjadi buas dan merusak martabat kemanusiaan. Peristiwa 27 Juli harus menjadi momentum bagi bangsa ini untuk mengembalikan keadaban Pancasila," ujarnya

Dia menegaskan semua pihak harus membangun kesadaran kritis bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan harus diperjuangkan tanpa henti.

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengakui masa lalunya, melihat sejarah kelamnya, dan berani melompat ke masa depan dengan tidak menutup diri terhadap kejahatan kemanusiaan. Mengakui bahwa kemanusiaan harus menjadi hukum tertinggi dan ditegakkan dengan sungguh-sungguh," paparnya.

Dalam paparannya, Romo Benny menyampaikan hukum harus melayani kemanusiaan dan keadilan, bukan kepentingan kekuasaan.

Kekuasaan yang melayani kemanusiaan akan bertindak secara etis dan patuh pada nilai-nilai dasar, etika, dan moral. Kekuasaan yang patuh pada nilai-nilai ini akan mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

"Banalitas kejahatan, di mana kejahatan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa, harus dihapuskan. Demokrasi yang berdasarkan Pancasila harus mengutamakan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan," tegasnya kembali.

Romo Benny juga menegaskan demokrasi tidak boleh menggunakan kekerasan struktural atau manipulasi birokrasi dan militer untuk mempertahankan kekuasaan otoriter.

"Kekuasaan seharusnya melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, bukan sebaliknya," tuturnya.

Lebih lanjut Romo Benny mengatakan peristiwa 27 Juli 1996 harus menjadi pelajaran berharga bagi semuanya.

"Kita harus selalu ingat dan tidak pernah melupakan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi. Hanya dengan demikian kita dapat membangun masa depan yang lebih baik, di mana hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi, serta keadilan dan kemanusiaan menjadi dasar dalam setiap tindakan dan kebijakan," jelasnya.

Peristiwa 27 Juli 1996 tidak hanya mengungkapkan kekejaman pemerintah Orde Baru dalam menghadapi oposisi, tetapi juga menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia pada masa itu.

Dia mengungkapkan banyak korban dari peristiwa tersebut hingga kini masih menuntut keadilan dan pengakuan atas penderitaan yang mereka alami.

"Menolak lupa terhadap peristiwa 27 Juli 1996 adalah penting karena banyak korban dari peristiwa ini masih hidup dengan trauma dan kehilangan," tandasnya.

Dia menyampaikan menolak lupa berarti memperjuangkan keadilan bagi mereka dan memastikan bahwa pelaku kekerasan dihukum.

"Selain itu mengingat peristiwa ini membantu generasi muda memahami sejarah kelam bangsanya sehingga mereka bisa belajar dari masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya di masa depan," terangnya.

Romo Benny juga menekankan menolak lupa terhadap peristiwa ini berarti Mengakui dan memahami pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu membantu memperkuat komitmen terhadap demokrasi dan penegakan hukum yang adil. Lebih lanjut

"Peristiwa ini adalah pelanggaran langsung terhadap nilai-nilai Pancasila," tandasnya.

Dia menjelaskan dengan mengingatnya berarti meneguhkan komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab.

"Selanjutnya, seperti yang dijelaskan oleh Hannah Arendt dalam analisanya tentang banalitas kejahatan, kejahatan yang dianggap wajar dan biasa dapat merusak tatanan moral masyarakat," terangnya.

Dikatakan Romo Benny, mengingat dan mengecam peristiwa 27 Juli membantu mencegah normalisasi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Menolak lupa terhadap peristiwa 27 Juli 1996 adalah tanggung jawab kita sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan bangsa.

Kejadian ini mengajarkan kita betapa pentingnya menghormati hak asasi manusia, menegakkan hukum dengan adil, dan menjalankan demokrasi yang sejati.

"Hanya dengan mengakui dan belajar dari masa lalu, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik yang tidak akan tercapai jika kita terus menutupi atau melupakan luka-luka masa lalu," tuturnya.

Romo Benny juga mengatakan peristiwa 27 Juli 1996 harus menjadi pengingat abadi bahwa bangsa ini pernah mengalami masa-masa kelam di mana hukum dan kemanusiaan diinjak-injak demi mempertahankan kekuasaan.

Tak hanya itu, pembungkaman terhadap oposisi dan kritik dilakukan secara sistematis, menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.

"Reformasi hukum dan keadilan untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa, reformasi hukum dan keadilan harus menjadi prioritas utama. Hukum harus ditegakkan secara adil dan tidak memihak," katanya.

Dia juga meminta aparat penegak hukum harus independen dan bebas dari intervensi politik.

Selain itu, keadilan harus diwujudkan dengan mengadili pelaku kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, serta memberikan kompensasi yang layak bagi para korban dan keluarga mereka.

"Penguatan demokrasi adalah langkah berikutnya yang sangat penting. Demokrasi yang sejati harus didasarkan pada partisipasi aktif masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas," imbuhnya.

Kemudian, lanjut dia, rakyat harus memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berpartisipasi dalam proses politik tanpa takut akan represi.

Partai politik harus berfungsi sebagai saluran aspirasi rakyat dan bukan sebagai alat kekuasaan semata.

Pendidikan kewarganegaraan dan kesadaran sejarah pendidikan kewarganegaraan dan kesadaran sejarah harus ditanamkan sejak dini.

Generasi muda harus diajarkan tentang nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan sejarah bangsa, termasuk peristiwa-peristiwa kelam seperti 27 Juli 1996.

"Dengan demikian, mereka akan tumbuh menjadi warga negara yang kritis, sadar akan hak-haknya, dan berkomitmen untuk menjaga keadilan dan kemanusiaan. Rekonsiliasi dan pengakuan adalah langkah penting lainnya," sambungnya.

Diuraikannya, pemerintah harus mengakui kesalahan masa lalu dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga mereka.

Proses rekonsiliasi harus melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat luas.

Hanya dengan cara ini, menurutnya, luka-luka masa lalu bisa sembuh dan bangsa ini bisa melangkah maju dengan penuh percaya diri.

"Media dan masyarakat sipil memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga ingatan kolektif tentang peristiwa 27 Juli 1996. Media harus terus mengangkat isu-isu terkait pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan, serta memberikan ruang bagi suara-suara korban," ujarnya.

Masyarakat sipil harus terus melakukan advokasi dan mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi hukum dan keadilan.

"Nilai-nilai Pancasila harus diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, harus menjadi pedoman dalam setiap kebijakan dan tindakan pemerintah," sebutnya.

Lebih jauh, setiap warga negara harus dihormati hak dan martabatnya, tanpa diskriminasi.

Peristiwa 27 Juli 1996 harus selalu diingat sebagai bagian dari sejarah kelam bangsa ini.

"Menolak lupa berarti kita berkomitmen untuk belajar dari masa lalu, memperjuangkan keadilan, dan memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati di masa depan. Hanya dengan cara ini, kita bisa membangun Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan beradab," katanya.

"Perjuangan untuk keadilan dan hak asasi manusia tidak berhenti di sini. Kita harus terus mengingatkan diri sendiri dan generasi mendatang tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Mari kita teruskan perjuangan ini demi masa depan yang lebih baik bagi semua warga negara Indonesia," jelasnya.

Menolak lupa terhadap peristiwa 27 Juli 1996 adalah langkah penting dalam perjalanan kita menuju Indonesia yang lebih adil dan beradab.

Sebab, ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang belajar dari kesalahan dan memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati dan dilindungi di masa depan.

Melalui komitmen bersama dan tindakan nyata, kata Romo Benny, kita dapat membangun bangsa yang menghargai kemanusiaan dan keadilan, serta mencegah terulangnya tragedi serupa.

"Sebagai warga negara, kita semua memiliki peran dalam sejarah. Menolak lupa terhadap peristiwa 27 Juli 1996 adalah tanggung jawab kita bersama. Ini adalah pengingat bahwa setiap tindakan kita, sekecil apa pun, dapat berkontribusi pada perubahan positif. Mari kita terus berjuang untuk keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi, sehingga peristiwa kelam seperti ini tidak pernah terulang lagi," urainya.

Romo Benny menegaskan dengan mengenang peristiwa 27 Juli 1996, tidak hanya menghormati para korban, tetapi juga meneguhkan tekad kita untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.

Harapannya adalah Indonesia akan menjadi negara di mana hak asasi manusia dihormati, hukum ditegakkan secara adil, dan demokrasi berfungsi untuk kepentingan semua warga negara.

"Hanya dengan cara ini, kita dapat mencapai masa depan yang lebih baik bagi kita semua," pungkasnya.(mcr10/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler