jpnn.com - JAKARTA - Insiden bentrok TKA China dengan pekerja lokal di lokasi industri pengolahan nikel (smelter) PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada Sabtu (14/1), mendapat sorotan banyak kalangan.
Pasalnya, insiden bentrok itu mengakibatkan dua orang tewas, yakni satu TKA (tenaga kerja asing) dan satu TKI (tenaga kerja Indonesia).
Wakil Ketua MPR Syarief Hasan meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil langkah atas tragedi bentrok TKA China vs TKI tersebut.
Politikus senior Partai Demokrat itu mengingatkan pemerintah agar mengurai terlebih dahulu apa yang menjadi akar perkaranya, apakah ini sekadar tuntutan kenaikan upah, atau justru wujud ketimpangan akses, pendapatan, serta kesehatan dan keselamatan kerja.
BACA JUGA: ART Ingatkan Kapolri soal Bentrok TKA China vs Pekerja Lokal di Morowali
Pria kelahiran 17 Juni 1949 itu mengatakan perkara ini mesti dilihat lebih holistik dan dengan respons langkah yang imparsial.
Harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh pada kebijakan investasi sumber daya mineral di Indonesia.
BACA JUGA: Mengenal Morowali Utara & PT GNI Tempat TKA China Bentrok dengan Pekerja Lokal
“Tragedi di PT GNI ini harus jadi titik tolak evaluasi kebijakan pengelolaan tambang di Indonesia. Apakah narasi investasi yang kerapkali disampaikan pemerintah ini bentuk investasi berkualitas dan merakyat, atau justru ini hanya menggambarkan ekonomi eksklusif yang tidak berdampak besar bagi kesejahteraan rakyat. Ibarat pepatah, tidak ada asap jika tak ada api,” ujar Syarief dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/1).
Tuntutan kenaikan upah ini, lanjutnya, apakah hanya bagian kecil dari kondisi nyata yang dihadapi pekerja, atau malah ini kristalisasi dari beragam persoalan yang terjadi.
“Kita masih ingat kejadian tewasnya pekerja karena kebakaran instalasi, tentu ini mesti diatensi dengan serius,” ujar Syarief.
Investasi Jangan Menimbulkan Petaka
Syarief mengaku investasi adalah hal yang baik dan hal ini memang mesti digalakkan.
Namun, jika investasi itu hanya menimbulkan petaka dan dampak keekonomiannya tidaklah sebanding, maka jenis investasi seperti itu haruslah dievaluasi.
“Obral investasi yang acapkali kita dengarkan semoga tidak sekadar penyerahan pengelolaan kekayaan alam, tanpa kontribusinya bagi masyarakat, perekonomian daerah, dan negara.”
Apalagi untuk nikel yang menjadi komoditas berharga untuk industri kendaraan listrik dan vital lainnya, sejatinya Indonesia punya potensi untuk menjadi penentu.
Kementerian ESDM (2020) merilis data sebanyak 72 juta ton atau 52 % dari cadangan nikel dunia terdapat di Indonesia, tersebar di berbagai wilayah termasuk di Morowali Utara.
Fakta ini menandaskan pentingnya Indonesia dalam industri berbahan baku nikel.
Jika pemerintah tidak mengambil respons dan desain kebijakan yang tepat, apalagi menyikapi tragedi yang terjadi, maka ini hanya akan menyisakan memori buruk dalam pengelolaan sumber daya mineral.
“Kita seharusnya berdaulat atas kekayaan alam kita, dan hal itu mestilah tercermin pada kesejahteraan pekerja, masyarakat, dan penerimaan negara,” ujar mantan menteri Koperasi dan UKM itu.
Dia berharap peristiwa ini menjadi pelajaran, introspeksi, dan evaluasi menyeluruh kebijakan dan tata kelola pertambangan.
Pemerintah harus menginvestigasi kejadian ini dengan sungguh-sungguh, tentu dengan melibatkan banyak kalangan yang kompeten.
“Investasi penting. Namun, tidak lebih berharga dari nyawa rakyat. Jika investasi hanya menghasilkan luka dan korban, maka kebijakan pengelolaan sumber daya tidaklah sesuai dengan amanat konstitusi,” tutup Syarief. (sam/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu