jpnn.com, JAKARTA - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ditunjuk menjadi Komisaris Utama Pertamina diharapkan berani mengevaluasi program kerja dan bisnis perusahaan pelat merah itu, terutama terkait impor LPG (liquified Petroleum gas).
Menurut peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, tingginya impor LPG selama ini telah menyebabkan defisit neraca perdagangan makin melebar. Selain itu, tingginya impor gas yang mencapai 70 persen setiap tahun juga membuka peluang para mafia migas bermain.
BACA JUGA: Mafia Migas Takut Ahok jadi Bos Pertamina
"Beberapa bulan lalu ketika KPK menetapkan Bambang Irianto, Dirut PT Pertamina Energy Service (PES/anak usaha Petral) sebagai tersangka, nama perusahaan penyuplai LPG disebut namanya, Emirates National Oil Company (ENOC)," ujar Ferdy di Jakarta, Minggu (24/11).
Ferdy menduga KPK mencurigai ENOC dipakai benderanya oleh Kernel Oil Pte Ltd dan dicurigai mengundang ENOC, meskipun tahu perusahaan itu bukan perusahaan yang mengirim kargo ke PES atau Pertamina.
BACA JUGA: Iwan Fals Singgung Gaji Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina
Kernel Oil juga pernah menyeret mantan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini ke penjara. Sementara ENOC selama ini santer diketahui menjadi distributor BBM terbesar ke salah satu perusahaan milik orang kuat di republik ini.
"Jadi, setelah Petral dibubarkan 2015 lalu, tidak serta merta mafia itu bubar. Karena masih ada rantai bisnis lain yang akan diambil. Nah, salah satu tugas Ahok itu saya kira memberantas mafia. Dalam hal ini sepertinya perlu memeriksa dan mengevaluasi bisnis LPG Pertamina," ucapnya.
BACA JUGA: Ahok, Mantan Narapidana yang Bakal Digaji Rp 38 Miliar Setahun
Lebih lanjut Ferdy menyatakan, Pertamina termasuk perusahaan kecil di dunia perminyakan. Hanya asetnya saja yang besar, mencapai US$ 64,7 miliar atau setara Rp 905,8 triliun pada 2018. Sayangnya, laba Pertamina kecil. Kalah jauh dibanding perusahaan negara tetangga, Petronas.
"Pertamina itu anak kecil jika dibandingkan Petronas yang memiliki laba sebesar US$ 11 miliar (2018). Pertamina hanya US$ 2.3 miliar. Padahal, 1990-an, ketika produksi minyak Indonesia di atas 1.6 juta barrel per hari, Petronas belajar dari Pertamina cara mengolah lapangan-lapangan migas, menggunakan teknologi dan berinovasi. Namun, seiring berjalan waktu, Petronas menyalib jauh Pertamina," katanya.
Ferdy memprediksi Pertamina sulit bersaing karena mafia migas mengamputasi seluruh kerja Pertamina, mulai dari hulu sampai hilir. Mafia tidak menghendaki produksi minyak Pertamina di sektor hulu meningkat dan berharap Indonesia tetap mengimpor BBM dan LPG, agar mereka mendapat untung dari jasa pembelian BBM sampai jasa pengapalan.
"Mafia migas adalah kejahatan terbesar terhadap negara. Mafia migas membuat negara ini bergantung pada impor. Mafia tidak menginginkan dirut Pertamina yang bersih dan menginginkan dirut yang cenderung kompromistis. Jika ada Dirut yang berusaha membersihkan dan mengolah bisnis Pertamina, pasti akan digencet dengan berbagai cara," tuturnya.
Ferdy menduga mafia dulunya menggunakan PT Pertamina Energi Trading (Petral), anak usaha Pertamina yang bertugas membeli BBM di perusahaan-perusahaan trading di Singapura. Berbisnis dengan Petral di masa lalu sangat menjanjikan. Tak sembarangan pelaku bisnis bisa bekerja sama dan mendapat tender dari Petral.
Butuh akses, pengalaman dan harus mampu melayani dengan baik semua rantai jaringan mafia mulai dari oknum yang ada di Pertamina hingga oknum penguasa agar bisa survive.
Mafia migas menikmati untung dari penurunan produksi minyak nasional. Sepanjang periode 2010-2019 misalnya, produksi minyak terus menurun di bawah 900 ribu barrel oil per day (BOPD). Sementara konsumsi BBM (bensin, solar) domestik mencapai 1.5 juta BOPD. Artinya, harus mengimpor sebanyak 700 ribu BOPD.
"Ada cerita seperti mitos, bahwa mafia yang bertugas membeli minyak dan dijual kembali ke Pertamina hanya mengambil untung US$ 3-5 per barrel minyak. Jika keuntungan setiap barrel mencapai US$ 3, maka mafia migas mendapat untung US$ 2.1 juta atau sekitar Rp 29.4 miliar per hari. Per bulan sekitar Rp 882 miliar dan per tahun Rp 10,5 triliun," katanya.
Ferdy menduga dana inilah yang kemudian dibagi-bagi ke rantai jaringan mafia, sehingga banyak sekali elite bisnis dan politik yang mendapat berkah.
"Jadi, Petral saya kira benar-benar menunjukkan ada mafia di sektor energi. Operasi besar yang harus dilakukan Ahok adalah berani melawan bisnis elite ini. Jokowi sudah berani melikuidasi Petral di awal periode pemerintahannya, melalui tim reformasi tata kelola migas. Hanya pemerintahan dan presiden kuat yang berani melikuidasi Petral. Untuk itu, Ahok yang menjadi tangan kanan Presiden Jokowi di Pertamina wajib hukumnya berperang melawan mafia. Ahok harus benar-benar menunjukan taringnya memberantas mafia," pungkas Ferdy. (gir/jpnn)
Video Pilihan :
Redaktur & Reporter : Ken Girsang