Mafia Migas Takut Ahok jadi Bos Pertamina

Jumat, 22 November 2019 – 13:23 WIB
Ilustrasi kilang migas PT Pertamina. Foto: Kaltim Post/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman mengatakan, posisi direktur utama Pertamina selama ini selalu diisi orang yang memiliki pengalaman di bidang korporasi dan migas.

Namun selalu gagal membawa Pertamina terbang tinggi untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan global seperti Petronas atau PTT Thailand.

BACA JUGA: Irma NasDem: Sah-Sah saja Mereka tak Suka Karakter Ahok

Ferdy mencontohkan di periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Pertamina dipimpin Ari Soemarno. Ia merupakan sosok berpengalaman. Namun gagal membangun kilang migas, sehingga impor tetap tinggi.

Ari Soemarno digantikan profesional Karen Agustiawan, ahli perminyakan. Karen juga tak mampu membangun kilang migas. Bahkan, Karen menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pembelian blok migas di luar negeri pada akhir masa kariernya.

BACA JUGA: Beranikah Serikat Pekerja Pertamina Dialog Terbuka dengan Ahok?

Kemudian di periode pertama pemerintahan Joko Widodo, posisi Dirut Pertamina diganti tiga kali. Awal pemerintahan, Pertamina dipimpin Dwi Soetjipto, mantan Dirut PT Semen Indonesia.

Dwi tak bisa berbuat banyak, program peremajaan kilang Cilacap, kilang Balongan, kilang Tuban dan Duri tidak bisa dilakukan. Dwi kemudian dicopot dan digantikan Elia Massa Manik dari Dirut PT Perkebunan Negara.

BACA JUGA: Ahok: Lu Kira Gampang jadi Orang Glodok

Menurut Ferdy, Elia juga gagal seperti Dwi dan hanya dua tahun menjabat Dirut Pertamina. Elia digantikan Nicke Widyawati, pindahan dari PLN. Nicke disebut sampai saat ini masih susah payah berjuang membangun kilang.

Bahkan, partner Pertamina untuk membangun kilang Cilacap, Saudi Aramco sudah angkat kaki karena alasan proposal bisnis yang disodorkan Pertamina tak menarik.

"Jadi, dirut-dirut Pertamina yang berasal dari internal dan berlatar belakang korporasi, justru gagal melakukan transfer budaya kerja dan reformasi di tubuh Pertamina, karena bawahan-bawahannya tidak mengikuti perintah dirut," ujar Ferdy di Jakarta, Jumat (22/11).

Ferdy mengatakan, semua yang dipaparkan merupakan fakta dan bukan asumsi. Karena itu, alasan Serikat Pekerja Pertamina dan kritik Rizal Ramli dalam menolak Basuki Tjahaja Purnama menjadi pimpinan Pertamina, terbantahkan.

"Mereka kan menyebut kriteria calon bos Pertamina dari latar belakang korporasi atau internal Pertamina. Nah, dengan pemaparan di atas itu terbantahkan," ucapnya.

Ferdy kemudian memberi saran, siapapun yang menjadi pimpinan Pertamina harus disokong penuh presiden dan menteri. Selain itu, juga harus orang yang ditakuti para mafia.

"Dirut Pertamina bukan orang biasa-biasa saja, tetapi yang ditakuti para mafia. Karena bisnis minyak bersama Pertamina adalah bisnis kelas premium, bisnis elite, dimana diduga sudah terbentuk kartel sejak lama. Mulai dari internal Pertamina, BUMN, ESDM sampai partai politik," tuturnya.

Ferdy menduga, mafia tak ingin Pertamina membangun kilang agar terus mengimpor dan neraca keuangan negara defisit. Mereka-meraka inilah yang menjadi patron dari mafia migas, yang bertugas membeli minyak dari pusat perdagangan Singapura.

"Tak sembarangan pelaku bisnis yang bisa bekerja sama dan mendapat tender dari Petral. Butuh akses dengan orang-orang internal Pertamina, pengalaman dan harus mampu melayani dengan baik semua rantai jaringan mulai dari Pertamina-penguasa agar bisa survive," katanya.

Ferdy juga mengatakan, mafia migas menikmati untung dari penurunan produksi minyak nasional. Sejak 2010-2019 misalnya, produksi minyak terus menurun di bawah 800 ribu Barrel Oil Per Day (BOPD). Sementara konsumsi BBM (bensin, solar) domestik mencapai 1.5 juta BOPD. Artinya, harus mengimpor 700-800 ribu BOPD.

"Dana untung dari impor migas itu kemudian dibagi-bagi ke rantai jaringan mafia, sehingga banyak sekali elite yang mendapat berkah. Jadi, Petral ini benar-benar menunjukkan ada kartel-oligarki di sektor energi. Bisnis mafia migas dengan Petral itu adalah bisnis triliun rupiah," tuturnya.

Lebih lanjut Ferdy mengatakan, selama Jokowi menjabat presiden mafia migas tak berani masuk Istana. Bahkan Petral sudah dibubarkan 2015 lalu oleh tim reformasi tata kelola migas.

Presiden Jokowi juga sudah tegas menyatakan keseriusannya memberantas mafia migas. Karena itu butuh orang yang memiliki nyali tinggi serta loyal pada ambisinya memberantas mafia migas, agar kedaulatan energi terwujud.

"Ahok tentu memiliki sejumlah kriteria penting menjadi bos Pertamina. Ahok adalah orang dekat Jokowi. Dia memiliki nyali, keberanian dan perangai untuk ditakuti para mafia. Ahok memiliki manajerial skill, memiliki rekam jejak teruji menata birokrasi Jakarta," ucapnya.

Ferdy optimistis, dengan semua kelebihan yang ada, mantan gubernur DKI Jakarta itu memiliki kuasa yang cukup untuk memberantas mafia migas, membangun kultur sehat di Pertamina, membangun sektor hulu, membangun kilang migas dan bisa memberikan pelayanan prima kepada rakyat melalui distribusi BBM.

"Pekerja Pertamina sepertinya sudah paham bahwa Ahok akan marah besar jika ada pegawai Pertamina yang main-main dengan pelayanan publik," pungkas Ferdy. (gir/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler