Para ilmuwan memperingatkan kandungan nutrisi beras mungkin menjadi semakin tidak bergizi di masa depan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar mengingat beras merupakan bahan makanan utama bagi 2 miliar penduduk Bumi.
Para peneliti di Jepang dan China berhasil mengungkap bahwa kadar protein, zat besi dan seng dalam beras semuanya mengalami penurunan signifikan ketika padinya tumbuh dalam lingkungan yang mengandung karbon dioksida (CO2) lebih tinggi.
BACA JUGA: Tony Abbot Serukan Pembebasan James Ricketson dari Penjara Kamboja
Dalam penelitian mereka, para ilmuwan membangun oktagon selebar 17 meter yang memompa CO2 di persawahan di Jepang dan China untuk mensimulasikan konsentrasi CO2 yang diperkirakan terjadi dalam 50 tahun ke depan. Kadar CO2 tersebut yaitu 568-590 bagian per sejuta.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advances, menyebutkan rata-rata untuk varietas yang diuji, kadar proteinnya turun 10 persen, zat seng turun 8 persen dan zat besi turun 5 persen.
BACA JUGA: Uskup Agung Adelaide Menolak Mengundurkan Diri
Kandungan vitamin B1, B2, B5, dan B9 juga turun - meskipun hasilnya lebih bervariasi.
"Ketika kita melihat untuk vitamin B, ada sembilan varietas berbeda dari Jepang dan China dan uniknya, mereka merespon konsentrasi CO2 yang tinggi dengan cara berbeda," ujar Kazuhiko Kobayashi dari Universitas Tokyo.
BACA JUGA: Tempat Wisata Satwa di Bali Tak Penuhi Standar
"Beberapa varietas beras menunjukkan penurunan yang sangat tajam, sementara varietas lainnya mengandung lebih sedikit vitamin," jelasnya.
Para peneliti memperingatkan perubahan nutrisi pada beras tersebut dapat memiliki dampak kesehatan signifikan - terutama di negara-negara miskin.
"Untuk beberapa negara di dunia, beras merupakan sumber utama protein dan vitamin dan juga beberapa mineral lainnya," kata Profesor Kobayashi.
"Bagi mereka, ini bukan berita yang menggembirakan," tambahnya. Photo: Para peneliti khawatir mengenai dampak kesehatan dari penelitian mereka mengingat pentingnya beras sebagai bahan makanan utama. (Supplied: Georgina Smith, CIAT)
Direktur Centre of Excellence for Translational Photosynthesis ARC Profesor Bob Furbank mengatakan secara teori tingkat CO2 yang lebih tinggi itu baik untuk pertumbuhan, tetapi kenyataannya terbukti berbeda.
"Di satu sisi kita berpandangan bahwa akan ada efek pemupukan dari karbon dioksida ekstra yang tersedia untuk fotosintesis. Sudah jelas begitu," katanya.
"Tapi ada juga efek negatif perubahan iklim berupa kemarau yang lebih sering dan suhu lebih tinggi yang dapat menghilangkan manfaat positif dari CO2 ekstra dari perspektif fotosintesis," jelas Profeor Furbank.
"Laporan penelitian ini mengacu pada data yang mereka hasilkan dalam menunjukkan adanya efek merugikan pada kualitas biji padi dalam CO2 yang tinggi," tambahnya.
Profesor dari Australian National University ini menambahkan sekarang para peneliti harus mempelajari dan membiakkan varietas yang akan menghasilkan kualitas nutrisi, bukan hanya kuantitas, dalam lingkungan CO2 yang tinggi.
"Saya rasa hal ini sangat penting. Upaya yang kami lakukan yaitu lebih meningkatkan hasil panen. Kami mencari berbagai cara meningkatkan jumlah persediaan bahan makanan untuk populasi global," kata Profesor Furbank.
"Namun harus diingat bahwa kualitas nutrisi dari makanan itu tidak kalah pentingnya," tambahnya.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ilmuwan Australia Ini Dijuluki Manusia Semut