Berebut Kursi Pimpinan Parlemen Boleh, Asal Transparan

Jumat, 02 Agustus 2019 – 23:10 WIB
Ketua Fraksi PPP MPR RI Arwani Thomafi (kanan) bersama Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte saat diskusi Empat Pilar “MPR Rumah Kebangsaan” di gedung DPR, Jakarta, Jumat (2/8). Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte mengatakan ketika berekspektasi tentang politik, partai, DPR, MPR, DPD, yang ideal maka di dalamnya ada persoalan kepentingan yang tidak bisa dihindari. Menurut Philips, kepentingan itu bukan untuk dihindari tetapi dikelola secara transparan.

“Menurut saya, terkait misalnya pimpinan DPR, MPR, atau DPD dan lain-lain itu sudah sewajarnya memang akan ada proses-proses bargaining, proses bagaimana menyepakati hal-hal di antara para aktor-aktor politik,” katanya dalam diskusi Empat Pilar MPR Rumah Kebangsaan di gedung DPR, Jakarta, Jumat (2/8).

BACA JUGA: Program Perlindungan Anak di Era Jokowi Masih Sporadis

Dia menjelaskan, pengelolaan kepentingan itu bisa dikerjakan dengan baik ketika dilakukan secara transparan. Dalam konteks ini, Philips tidak mempersoalkan parpol berebut kursi pimpinan lembaga seperti MPR sepanjang dilakukan secara transparan dan mengikuti fatsun-fatsun politik yang sudah disepakati.

BACA JUGA: Indahnya NKRI Jika Ketua MPR dari Gerindra, Ketua DPR PDIP

BACA JUGA: Pengamat: Pemilihan Pimpinan MPR Sebaiknya Lewat Musyawarah

Menurut Philips, fatsun politik itu misalnya pemenang maupun parpol koalisi yang menjadi pemenang pemilu sudah sewajarnya memiliki ruang dan hak yang lebih besar dibanding yang kalah. “Kalau tidak demikian, buat apa membuat pemilu sehingga tujuan pemilu itu tidak tercapai,” jelasnya.

Dia menambahkan, sepanjang proses pengisian pimpinan, alat kelengkapan dewan, dan lainnya, dilakukan secara transparan dan mengikuti fatsun politik yang berlaku maka tidak akan muncul kegaduhan. Hanya saja, kata dia, persoalan yang terjadi sekarang para elite parpol seperti tidak mau menerima prinsip itu sehingga menjadi gaduh.

BACA JUGA: Penguatan Fungsi DPD Sesuai Ekspektasi Masyarakat

“Jadi bukan karena diskusinya tetapi karena ketidakmauan mengikuti fatsun dan regulasi dari konsekuensi terhadap hasil pemilu, itulah yang membuat gaduh,” ungkap Philips.

“Yang penting kalau buat saya wajar-wajar saja ada perseteruan politik memperebutkan kursi, (karena memang) tugas dan tempatnya sekarang. Kalau setelah dipilih kemudian masih ribut juga, itu yang tidak boleh,” kata Philips.

Hanya saja, Philips menyatakan hal yang perlu dicatat bahwa mungkin ini adalah bagian paling menyebalkan buat pemilih, tetapi bagi politisi dan partai ini menjadi yang penting. “Habis pemilu menjelang pelantikan akan bagi-bagi, urus kabinetlah, urus pimpinan DPR, MPR, dan seterusnya, ini bagian buat partai politik dan tokoh politik paling penting, tetapi buat pemilih ini paling menyebalkan,” ujarnya.

Menurut dia, seorang pemilih tentu saja memilih partai A, B, atau C, karena memiliki pandangan bahwa mereka tidak menginginkan yang lain. Sebab, kata dia, bisa saja pemilih memilih partai A karena tidak mau partainya berkoalisi dengan partai B. “Namun, setelah pemilihan salaman, kan repot, si pemilihnya sudah dilupakan sama sekali,” jelasnya.

Dia menegaskan bahwa pemilih semakin kritis. Mereka akan menanamkan dalam benaknya bahwa kalau mereka suka maka akan memilih lagi pada Pemilu 2024. Sebaliknya, bagi yang tidak suka mereka akan menghukum dengan cara tidak memilih lagi. “Menurut saya itu hal yang paling natural,” ujar Philips. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Setjen DPD RI Tingkatkan Kualitas Layanan dan Reformasi Birokrasi


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler