Sejumlah 'backpacker' yang bekerja di wilayah pertanian Bundaberg, Queensland, Australia, mendesak pihak berwenang untuk memberantas para penyalur tenaga kerja yang banyak melanggar aturan penggajian. Sejumlah calo penyalur tenaga kerja mengeksploitasi backpacker yang butuh kerja di sektor pertanian sebagai syarat perpanjangan visa Seorang 'backpacker' mengaku slip gajinya dibayar dari perusahaan penyalur yang berbeda-beda setiap kali gajian Lembaga pengawas ketenagakerjaan Fair Work Ombudsman bertekad menegakkan aturan di sektor pertanian
BACA JUGA: Warga Australia dan Inggris Diduga Berkolaborasi Mengedarkan Narkoba di Bali
Salah satu backpacker asal Amerika Serikat, Kiah Fowler datang ke Bundaberg sejak bulan Maret, setelah kehilangan pekerjaan di kawasan wisata Pantai Airlie akibat pandemi virus corona.
Dia menghubungi perusahaan penyalur tenaga kerja yang menawarkan pekerjaan menanam buah stoberi.
BACA JUGA: COVID-19 Menggila di Singapura, Lagi-Lagi Korbannya Pekerja Migran
Tapi di lapangan, Kiah tidak mendapatkan bayaran sesuai standar sehingga tak mampu membayar sewa tempat tinggal.
"Saya bertemu beberapa petani yang berbaik hati membayar sesuai upah resmi serta memberikan kondisi kerja yang baik. Tapi ada sisi kelam dari industri ini," katanya.
BACA JUGA: Australia Mengalami Resesi: Apa Pengaruhnya Bagi Penduduk?
Kiah mengaku dibayar hanya AU$19, atau kurang dari Rp200.000 per jam, padahal ketentuan upah minimum adalah AU$24, atau lebih dari Rp250.000 per jam. Photo: Backpacker asal Amerika Serikat Kia Fowler mengadu ke Fair Work Ombudsman karena calo penyalur tenaga kerja tak membayar gajinya sesuai ketentuan. (ABC News: Angel Parsons)
Maka, dia pun melaporkan hal ini ke lembaga pengawas ketenagakerjaan Fair Work Ombudsman (FWO).
"Saya sangat kesal begitu menyadari bahwa mereka dengan sengaja menggaji rendah pekerjanya," katanya.
"Saya tidak mempersoalkan uang melainkan pada tindakan mereka yang sengaja melanggar hukum," kata Kiah.
Tahun lalu, FWO telah mengidentifikasi Wide Bay sebagai salah satu kawasan pertanian dengan risiko tertinggi pelanggaran dalam pembayaran para pekerja 'backpacker'.
Menurut pihak Depnaker Queensland, saat ini terdapat 385 pemegang lisensi penyalur tenaga kerja ke sektor pertanian.
Dalam 12 bulan terakhir, Depnaker telah membatalkan 11 izin karena adanya "ketidakpatuhan" para penyalur tenaga kerja ini. Baca juga: Sejumlah mahasiswa asing baru sadar tinggal di Australia tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya Photo: Backpacker asal Belanda Merle Quaak menyatakan upah untuk memetik tomat begitu rendah sehingga penghasilannya tak cukup buat bayar sewa tempat tinggal. (Supplied: Merle Quaak)
Pertanyaan tentang slip gaji
'Backpacker' asal Belanda, Merle Quaak, 24 tahun datang ke Bundaberg awal tahun ini dengan Working Holiday Visa (WHV).
Tiga bulan sebelum visanya habis masa berlakunya, Merle terpaksa mengambil pekerjaan apa saja yang bisa dia dapatkan demi memenuhi ketentuan 88 hari kerja di sektor pertanian, agar dia bisa memperpanjang visa WHV untuk satu tahun lagi.
Merlu mendapat pekerjaan memetik tomat
"Saya tak punya waktu mengeluh dan menunggu pekerjaan yang bagus. Saya hanya perlu merampungkan hari-hari saya sehingga harus menerima pekerjaa apa saja," katanya.
"Saya bekerja tujuh hari seminggu. Paling banyak saya bisa menghasilkan $111 seminggu," katanya.
Karena tidak mampu membayar sewa asrama atau biaya hidup, Merle kemudian mencari pekerjaan dengan bayaran per jam di gudang pengepakan. Photo: Banyak calo yang bertindak sebagai penyalur tenaga kerja ke sektor pertanian mengeksploitasi backpacker dengan bayaran tidak sesuai standar. (Supplied: Kiah Fowler)
"Di slip gaji saya tidak dicantumkan apakah mereka membayar per jam. Tapi tertulis 'menggantikan' padahal saya bekerja di gudang pengepakan sebagai pengendali mutu," katanya.
"Istilah menggantikan berarti kerja di lapangan, padahal saya tidak melakukannya," ujar Merle.
Slip gajinya menyebutkan ada potongan 9,5 persen untuk dana pensiun, namun dia menyebut kontribusi tersebut tidak dilakukan perusahaan ke pengelola dana pensiun.
'Backpacker' lainnya, Ellie Le Var dari Kepulauan Channel bekerja melalui penyalur tenaga kerja untuk memetik tomat di Bundaberg antara bulan April dan Juni tahun ini.
Dia mendapati nama perusahaan (ABN) yang berbeda-beda yang ditulis di slip gajinya.
"Minggu ini tertera nama ABN yang tak pernah kita dengar. Minggu berikutnya nama ABN-nya berbeda lagi," kata Ellie.
Salah satu penyalur tenaga kerja, Toorongtong Pty Ltd, telah dicabut izinnya oleh Depnaker karena memberikan informasi yang tidak benar. Baca juga: Kenali bentuk penipuan yang mencari sasaran warga Indonesia terkait Australia Photo: Sejumlah backpacker menyatakan puas bekerja di sektor pertanian Australia karena mendapatkan upah sesuai dengan ketentuan. (Supplied: Merle Quaak)
Dirikan perusahaan baru
Dirut Asosiasi Petani Buah dan Sayuran Bundaberg Bree Grima kepada ABC mengakui praktik "phoenixing" masih terjadi dalam sektor ini.
Istilah ini adalah sebutan ketika perusahaan penyalur tenaga kerja ditutup dan mendirikan perusahaan baru demi menghindari penangkapan.
"Dengan ponsel, laptop, dan dalam 10 menit Anda sudah bisa memiliki ABN dan siap bekerja," katanya.
"Kami sangat menganjurkan agar persyaratan mendirikan perusahaan diperketat," kata Bree.
Juru bicara Fair Work Ombudsman yang dihubungi mengatakan pihaknya bertekad menegakkan aturan di tempat kerja dalam industri pertanian, termasuk bagi para penyalur tenaga kerja.
"Semua pekerja di Australia memiliki hak yang sama terlepas dari kewarganegaraan atau status visa mereka," kata juru bicara itu.
"Kami menyarankan setiap pekerja yang mengeluhkan gaji atau hak mereka untuk menghubungi Fair Work Ombudsman," tambahnya. Baca juga: Dua perusahaan operator restoran ternama dimejahijaukan karena membayar rendah pegawai asal Indonesia
Menurut Ellie Le Var, kawasan pertanian Bundaberg sangat ideal bagi para 'backpacker' untuk menyelesaikan syarat kerja di sektor pertanian. Tapi para pekerja ini harus berhati-hati agar tidak mengalami eksploitasi.
"Tinggal di asrama yang semua penghuninya punya penghasilan cukup untuk menabung dan membayar sewa, rasanya seperti menghirup udara segar dan melegakan," katanya.
"Saya sangat menikmati pengalaman bekerja sebagai pertani. Saya tahu apa yang saya dapatkan sejak awal. Dibayar secara benar dan tepat waktu. Saya tanpa ragu menyarankan orang untuk melakukannya," ujar Ellie.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News Video: Modern slavery in Australia: Hidden in plain sight (7.30)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bisnis Online Berpotensi Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia