jpnn.com - KISARAN - Legalisasi pemberian uang kepada pemilih di pilkada oleh Panja Komisi II DPR dan KPU mendapat reaksi beragam. Banyak pihak menganggap kebijakan itu ngawur karena hanya akan menyuburkan politik uang.
Namun, tidak sedikit juga yang setuju dengan pemberian imbalan apapun kepada pemilih oleh pasangan calon sah asalkan nilainya tidak melebihi Rp50 ribu itu.
BACA JUGA: Berharap Marzuki, Pasek, Mubarok, Hadapi SBY
Salahsatu tokoh masyarakat Asahan yang sependapat dengan kebijakan itu adalah Rudi Hartono. Menurut Rudi yang telah menyatakan akan berpasangan dengan H Monang sebagai calon Wakil Bupati Asahan ini, aturan itu bisa mengantisipasi terjadinya tumpang tindih pemberian dana dari calon bupati kepada calon pemilih.
Selama ini kan sudah bukan jadi rahasia umum, jika caleg baik dari pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota dan juga calon kepala daerah menghabiskan banyak anggaran pada pelaksanaan pemilu dan pilkada.
BACA JUGA: BH jadi Kapolri, BG Wakapolri, Jangan Ada Lagi Curiga
Ia menyebutkan, anggaran yang dihabiskan itu tidak hanya untuk pembuatan kartu nama, spanduk dan baliho. Tapi juga untuk memberikan imbalan kepada calon pemilih, seperti bantuan sembako, penyerahan uang tunai, menanggung biaya perobatan dan masih banyak lagi.
Nah, dalam hal ini bahkan para calon kepala daerah saling timpang tindih dalam memberikan bantuan dana kepada calon pemilih. Misalnya, calon bupati/walikota si A memberi bantuan sebesar Rp100 ribu kepada calon pemilih. Namun ada lagi calon kepala daerah lain si B memberikan bantuan kepada calon pemilih sebesar Rp150 ribu. Kemudian calon kepala daerah lainnya si C memberi Rp200 ribu.
BACA JUGA: Jokowi, George Bush dan Limusin-Limusin di KAA
Maka, secara otomatis warga/calon pemilih akan memilih si C, karena calon kepala daerah/anggota DPRD si C memberikan uang paling banyak, yakni Rp200 ribu.
“Nah dengan adanya pembatasan pemberian ini, maka anggaran yang harus diberikan calon kepala daerah sudah pasti nilainya kepada setiap calon pemilih, yakni Rp50 ribu, sehingga tidak ada lagi tumpang tindih bantuan,” kata Rudi, kepada METRO ASAHAN (grup JPNN), Kamis (23/4).
Bagi Rudi, pemberian uang kepada masyarakat adalah hal wajar. Pesta demokrasi itu, baik pemilu dan pilkada dilakukan setiap 5 tahun sekali. Jadi sudah sewajarnya jika setiap calon anggota DPRD dan kepala daerah memberi sedikit rezeki kepada masyarakat selaku calon pemilihnya.
Namun Ketua Lingkar Mahasiswa Asahan (LiMA) Husni Mustofa dan Rudiansyah dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menolak aturan pemberian imbalan dalam bentuk apapun dan berapa pun kepada pemilih oleh pasangan calon sah.
Husni dan Rudiansyah menegaskan, apapun bentuknya pemberian uang kepada masyarakat sebagai calon pemilih adalah money politics. Dan, hal itu tidak dibenarkan.
Mereka meminta KPU dan DPR RI membatalkan rencana pelegalan pemberian uang kepada calon pemilih tersebut.
Sejumlah politisi di Kota Tanjungbalai berpendapat bahwa pemberian uang tersebut sama saja dengan melegalkan bisnis jual beli suara dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
"Tak betul lagi itu, jika pemerintah sampai melegalkan pemberian uang kepada pemilih, walaupun besarnya dibatasi maksimal Rp50 ribu. Dengan dilegalkannya pemberian uang tersebut, sama saja pemerintah telah melegalkan jual beli suara dalam pesta demokrasi," ujar H Ridwan Ritonga Amd, Ketua DPC Demokrat Kota Tanjungbalai kepada METRO ASAHAN, Kamis (23/4).
Menurut Anggota DPRD Kota Tanjungbalai ini, apapun alasannya dan berapa pun nilainya, pemberian uang agar dipilih masyarakat, itu sudah termasuk gratifikasi. Jika hal itu tetap diberlakukan, itu sama saja dengan melegalkan politik uang atau money politics.
Hal senada diungkapkan Hj Nessy Aryani Sirait, salahsatu bakal calon Walikota Tanjungbalai dari Partai Hanura. Ia mengatakan, jika pemberian uang dilegalkan dalam pemilihan kepala daerah, hal itu sama saja artinya bahwa pemerintah telah melegalkan adanya gratifikasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
"Kita sangat tidak setuju, jika pemerintah melegalkan pemberian uang maksimal sebesar Rp50 ribu dalam pesta demokrasi pemilihan calon kepala daerah. Soalnya, selain bertentangan dengan azas demokrasi, dalam pelaksanaannya, pemberian uang tersebut semakin sulit untuk diawasi," ujar Hj Nessy Aryani Sirait.
Demikian halnya dengan Hakim Tjoa Kian Lie. Mantan Anggota DPRD Kota Tanjungbalai selama dua periode ini berpendapat, pemberian imbalan sejumlah uang tersebut justru akan diartikan sebagai upaya melegalkan jual beli suara dalam pemilihan kepala daerah.
"Jika pemberian sejumlah uang itu dibenarkan, maka kedepan, sifat dan prinsip dasar dari pesta demokrasi itu akan semakin jauh melenceng dari yang seharusnya. Bahkan, pemberian uang tersebut justru akan mengurangi kepercayaan dari masyarakat terhadap setiap partai politik di negara ini," ujar Bendahara DPC PDI Perjuangan Kota Tanjungbalai ini.
Tapi Surya Dharma AR SH, Ketua DPC PDIP Kota Tanjungbalai berpendapat bahwa pemberian uang kepada pemilih tersebut justru akan mengurangi beban anggaran bagi setiap bakal calon kepala daerah.
"Selama ini, pemberian uang kepada pemilih itu cenderung menjadi ajang pamer kekayaan bagi masing-masing bakal calon kepala daerah, karena tidak ada batasannya. Sehingga, apabila besarannya sudah diatur, maka peluang untuk saling anggar kekayaan bagi setiap bakal calon maupun calon kepala daerah akan semakin sempit," ujar Surya Dharma yang juga dikenal sebagai Bakal Calon Walikota Tanjungbalai ini.
Terpisah, Komisioner KPU Asahan Rito Harahap, dari Divisi Hukum mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih menunggu arahan dari KPU Pusat dan Provinsi. Jika aturan menyatakan pemberian uang kepada calon pemilih disahkan, maka mereka akan mengikutinya.
Rito menambahkan, pada dasarnya KPU Asahan hanya menunggu instruksi pemerintah dan KPU pusat. “Kami tidak bisa mengambil kebijakan sendiri,” katanya. (syaf/ck-5/dro)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mobil Mewah Presiden Jokowi di KAA, DPR Saja Bingung dari Mana Asalnya
Redaktur : Tim Redaksi