Gara-gara namanya ditulis di dalam novel terkenal berjudul Eat, Pray, Love, sosok Ketut Liyer didatangi para tamu di rumahnya di kawasan Ubud, BaliKebanyakan adalah turis asing
BACA JUGA: Panji Hadisoemarto, Kandidat Doktor Ilmu Virus di Harvard University
Karena kewalahan, aktivitas Liyer sebagai pelukis pun terbengkalaiSugeng Sulaksono, Ubud
SUDAH satu jam lebih perempuan muda berambut pirang itu menunggu di teras sebuah rumah dengan ornamen khas Bali di kawasan Ubud
BACA JUGA: Para Siswa SMKN 29 Penerbangan Jakarta yang Pintar Merakit Pesawat
Dia langsung tersenyum begitu sosok yang ditunggu muncul di hadapannyaBACA JUGA: Tri Handono, Diplomat Gamelan di Pittsburgh, Amerika Serikat
Sosok tua itu adalah Ketut Liyer, pria yang namanya terkenal setelah ditulis dalam novel berjudul Eat, Pray, Love karya Elizabeth GilbertSosok Ketut semakin terkenal ketika novel tersebut difilmkan dengan judul yang sama dan dibintangi aktris Hollywood papan atas Julia Roberts
Sore itu (14/11) Liyer langsung menyambut senyum gadis berambut pirang yang menunggunya tadiLiyer menanyakan nama si gadis dalam bahasa Inggris"My name is Coby," jawab gadis ituDilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya yang menghasilkan jawaban bahwa Coby berasal dari Spanyol dan berusia 22 tahun.
Atas kedatangan Coby, Liyer mengaku sangat berbahagiaTak lama berselang tangan kanan Liyer meraih telapak tangan kiri Coby, setelah sebelumnya meminta izin terlebih dahulu"You will get married soon," ucap Liyer lantas tersenyum.
Dengan wajah kaget, Coby kemudian bereaksi dan mengatakan bahwa itu terlalu cepatDia merasa belum waktunya menikah karena masih muda"No! It's so early," Coby berusaha membantahDari jarak sekitar lima meter, teman-temannya yang duduk sambil menyaksikan adegan itu tampak terkekeh
Begitulah salah satu cara Liyer meramal pasiennyaBelakangan, setelah populer lewat buku dan promosi film yang melibatkan namanya, pria yang mengaku usianya 98 tahun -meski menurut keluarganya 95 tahun- itu ramai dikunjungi orangMereka berharap mendapatkan sesuatu yang sama, bahkan lebih dari apa yang didapatkan Elizabeth Gilbert.
Sebelumnya, Elizabeth memang menulis bahwa Liyer berjasa besar dalam pemulihan psikisnya sampai akhirnya menemukan kembali perasaan cintaPadahal, dia sudah cukup putus asa pasca menjanda, sehingga tidak peduli lagi pada penampilan.
Kisah dalam novel itu kemudian diangkat ke layar lebar dan sosok Elizabeth diperankan Julia RobertsDemi menemukan nuansa dan tentunya sosok Liyer, lokasi syuting bahkan sampai ke BaliSayangnya, Liyer saat itu gagal bermain dalam film tersebutDia harus masuk rumah sakit akibat kencing batu.
Penyakit yang diderita Liyer salah satunya adalah akibat terlalu lelah dikunjungi banyak wisatawan, terutama wisatawan asingBerapa pun jumlahnya, Liyer bersedia meladeniSetelah pulih kembali, pengunjung mulai dibatasiMaksimal 25 orang dengan tarif rata-rata Rp 250 ribuDengan patokan tarif itu, dalam sehari dia maksimal bisa meraup Rp 6.250.000
Liyer mengaku menikmati profesinya saat iniDia senang banyak orang datang kepadanya untuk diramalNamun, pada praktiknya Liyer tidak 100 persen meramal, tetapi lebih banyak memberikan nasihat
Kepada pasien pria dia berkali-kali mengingatkan agar tidak tergoda perempuan lain ketika sudah menikah dan memiliki karir yang baik"Sudah banyak terjadi, laki-laki jadi miskin karena dihalangi orang cantikKakek dulu masih muda, belum tahu, sampai Rp 150 juta diambil oleh cewekItu menangis rasanyaCari uang Rp 150 juta lama sekali disimpan (menabungnya)," ucapnya dengan bahasa Indonesia yang kurang fasih.
Ketika disinggung ke mana perginya perempuan itu, Liyer hanya tertawaDia lalu berkelit dengan melanjutkan perannya sebagai peramal"Kakek ini punya pengalamanJadi berani ceritaTapi kalau kakek salah, jangan dimarahi," katanya.
Sebelum giat membaca tangan, Liyer membuka praktik penyembuhan penyakitKarena itu, di depan rumahnya tertulis papan nama Medicine ManLiyer juga seniman karena kerap membuat karya lukisD
"Dulu hari Minggu kakek melukisTerkenal juga, sehingga dapat penghargaan dari kabupaten, juga mantri (menteri) kebudayaanKira-kira lima bulan lalu dipanggil untuk dikasih penghargaan di bidang kesenian," paparnya
Sekarang, terlebih dengan banyaknya pasien, kata Liyer, melukis sudah tidak bisa dilakukan"Sekarang kakek sudah tuaKalau melukis, mata saya juga sudah kurang (tajam)Tapi, kakek senang meramal," ucapnya.
I Nyoman Latra, 60, putra tunggal Liyer, mengatakan, pasien pernah mencapai 40 orang dalam sehariNamun, karena berakibat pada menurunnya kondisi Liyer, jumlah pasien akhirnya dibatasi"Waktu operasi (kencing batu) itu habis Rp 50 juta," tutur pria yang menjadi guru kesenian di SMPN 1 Sukawati itu.
Latra membenarkan bahwa sebelumnya Liyer giat melakoni pekerjaannya sebagai pelukisNamun, jauh sebelum itu dia seperti orang pintar"Dulu dukun juga, mengobati orangKalau ada upacara keagamaan, kakek yang bisa bimbing," tuturnya.
Kini, kata Latra, Liyer sangat menikmati peran sebagai peramalMayoritas pasien, sekitar 75 persen, adalah wisatawan asing
Sisanya wisatawan domestikDua tahun lalu Latra memutuskan mengalokasikan sebagian rezeki dari kedatangan para pasien itu untuk membeli mobil Daihatsu Terios secara kredit"Supaya kakek bisa bepergian ke mana-mana," katanya.
Latra menceritakan, awal Liyer benar-benar total melakukan ramalan adalah setelah seorang perempuan datang dan menanyakan suaminyaLiyer kemudian mengatakan bahwa suaminya akan menikah lagi"Habis itu, perempuan itu jatuh (pingsan) di depan rumah," kisahnya.
Apa yang dikatakan Liyer, menurut Latra, memang benar-benar terjadiNamun, pengalaman itu dijadikan pelajaran agar Liyer tidak mengatakan berita buruk kepada setiap pasien
"Sekarang paling sedikit saja (yang diungkap dari hasil ramalannya)Lebih banyak ceritaBahaya dan takut mendahului Tuhan," ucapnya.
Latra mengatakan, dirinya sebenarnya anak angkat LiyerAnak kandung Liyer adalah laki-laki, berusia kurang lebih sama dengan LatraTapi, dia meninggal pada usia 3 bulanSementara istri Liyer, Ketut Lami, meninggal dunia sekitar empat tahun lalu karena mengidap penyakit asma(c2/kum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Syarifudin S. Pane, Si Pengungkap Praktik Curang di Rutan Salemba
Redaktur : Tim Redaksi