jpnn.com, JAKARTA - Komoditas hanjeli mengandung banyak manfaat, baik sebagai produk pangan dan obat alternatif maupun produk pakan.
Kandungan protein dalam hanjeli lebih tinggi dibandingkan beras dan jagung. Meski begitu, tak serta merta hanjeli diminati baik oleh petani sebagai produsen maupun masyarakat Indonesia sebagai komsumen.
BACA JUGA: 3 Makanan Sehat Pengganti Nasi yang Aman Dikonsumsi Penderita Diabetes
Retno Sri Endah Lestari, Ketua Umum Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) mengatakan hanjeli adalah tanaman jenis serealia yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan.
Tanaman yang berasal dari Asia Timur ini memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan di sekitarnya, baik terhadap suhu maupun kondisi tanah yang kurang subur.
BACA JUGA: Kementan Bakal Hadirkan Lebih Banyak Benih Unggul dan Berkualitas
“Hanjeli bisa tahan terhadap suhu yang dingin, tanah yang asam, dan tanah yang kurang subur. Karena spesifikasi ini seharusnya hanjeli bisa dijadikan sebagai tanaman pangan alternatif,” kata Retno dalam acara Webinar Seminar Nasional bertema "Pendayagunaan Potensi Hanjeli sebagai Bahan Diversifikasi Pangan Alternatif yang Sangat Prospektif di Pasar Global", Jumat (2/11).
Hal ini sejalan dengan ajakan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo agar masyarakat bisa mengonsumsi sumber karbohidrat dari pangan lokal yang juga mengenyangkan, selain nasi atau beras. Hal ini sebagai upaya untuk mendukung diversifikasi pangan.
BACA JUGA: Kementan Tahun Ini Tetap Konsisten Lakukan Uji Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah
Menurut Mentan, masyarakat Indonesia masih memegang prinsip “belum kenyang apabila belum makan nasi”.
Prinsip itu, kata dia, harus dikikis perlahan. “Diversifikasi pangan menjadi pilihan. Seseorang bisa kenyang tidak hanya dengan beras. Berbagai pangan lokal juga bisa menjadi pilihan,” kata Mentan.
Retno melanjutkan keistimewaan komoditas hanjeli sudah mulai dibudidayakan di Jatinangor, Sumedang, Sukabumi, Cirebon, dan Indramayu.
“Namun, dari laporan yang saya terima, kebanyakan masih dibudidayakan bersama-sama dengan tanaman lain. Belum monokultur,” imbuh Retno.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran Bandung, Warid Ali Qosim, menambahkan sampai saat ini peneliti masih melakukan eksperimen untuk menemukan benih hanjeli terbaik.
“Pada dasarnya tanaman ini sudah baik, tapi tetap harus kita cari formulasi terbaik supaya bisa diambil manfaatnya secara maksimal. Karena setelah diuji coba ternyata memang ada kelemahannya,” kata Warid.
Dia mengungkapkan beberapa kelemahan hanjeli yang masih harus dicari solusinya antara lain daya hasil rendah, dan umur tanamnya yang cukup panjang.
“Karena umurnya yang panjang, sampai lima bulan, jadi petani mungkin kurang tertarik menanam karena hal ini,” pungkasnya. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi