Hentakan kaki mengikuti irama musik di lantai klab malam, sementara orang-orang berkerumun saling berdesakan tanpa masker.
Inilah pengalaman Sybella Stevens yang tinggal di kota Berlin, Jerman.
Selama pandemi COVID-19, perempuan Australia berusia 35 tahun ini memang memutuskan untuk tetap tinggal di Jerman ketimbang pulang ke Australia, meski merasa khawatir dengan kondisi keluarganya di Sydney.
"Menjadi sebuah keputusan yang sangat sulit karena semuanya sangat menakutkan dan tidak dapat diprediksi. Saya hampir saja ingin kembali ke Australia," katanya.
BACA JUGA: Kadin Salurkan 10 Ribu Dosis Vaksin Covid-19 ke Bengkulu
Sybella sudah tinggal di Jerman sejak tahun 2014 dan baru awal bulan lalu ia pergi berlibur ke Portugal dan Italia.
Ia sudah divaksinasi dua dosis sejak Juli kemarin, sehingga mendapat banyak kebebasan di musim panas, apalagi setelah sempat juga merasakan 'lockdown'.
BACA JUGA: Sehat365 Gelar Vaksinasi Gotong Royong di Surabaya
Sybella sudah banyak bertemu dengan teman-temannya, pergi ke restoran, datang ke pesta, benar-benar sebuah kehidupan yang diimpikan banyak warga di Australia sebelah timur saat ini.
"Hidup kita sudah jauh lebih normal. Di Lisbon, kita hanya cukup menunjukkan kartu COVID, serta kondisinya sudah lebih santai. Begitu juga di Venesia dan Roma," kata Sybella.
"Sangat cepat, pokoknya ke mana pun kita pergi, kita tinggal memindai kode QR, lalu kita bisa lewat." 'Berlibur menjadi hal terbaik'
Negara-negara Eropa telah mengizinkan para pendatang untuk masuk dengan Sertifikat COVID digital sebagai bukti jika seseorang telah divaksinasi, atau baru saja dites COVID dengan hasil negatif, serta sebagai bukti telah terlindungi dari virus jika baru tertular.
Sertifikat seperti ini menjadi sebuah "tiket" bagi Sybella setelah terjebak 'lockdown' sepanjang musim dingin di Berlin selama hampir tujuh bulan.
"Berlibur menjadi hal terbaik di dunia. Membuat saya kembali bersemangat setelah lockdown," ujarnya.
"Penting untuk pergi ke sebuah tempat baru setelah terjebak di dalam rumah begitu lama."
Strategi 3G, yakni: Geimpft, Genesen oder Getestet (divaksinasi, sembuh atau dites) menjadi model andalan Jerman, sebelum memutuskan membuka kembali bar, restoran, pertunjukan, dan festival lainnya di musim panas.
Masker masih wajib dipakai di sebagian besar tempat, tapi tes COVID juga sama pentingnya, hingga tersedia di sudut jalanan, toko-toko, hingga di tempat-tempat yang menggelar acara, kata Sybella.
Tes antigen secara rapid, dengan hasil yang bisa didapatkan kurang dari 30 menit, sudah cukup menjadi bukti bagi sebagian besar untuk memperbolehkan orang masuk.
Sementara tes PCR, yang lebih akurat dan butuh sekitar 24 jam untuk mendapat hasilnya, diperlukan untuk mereka yang hendak melakukan perjalanan. Kembali ke kehidupan malam
Pada awal Agustus, Pemerintah Jerman bekerja sama dengan para ilmuwan dari rumah sakit Charite Berlin untuk menguji coba skema "Clubculture Reboot".
Skema ini diadakan untuk melihat apakah tes PCR juga dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kehidupan malam di kota Berlin, sekaligus menjaga para 'clubbers' agar tetap sehat.
Sekitar 2.000 'clubbers', yang tidak diharuskan mendapat divaksinasi, kemudian diperbolehkan pergi ke enam klub malam tanpa masker, setelah tes PCR mereka menunjukkan hasil negatif.
Seminggu kemudian mereka kembali dites dan tidak ada penularan baru yang tercatat.
Pamela Schobess, ketua ClubCommission Berlin yang melakukan uji coba, mengatakan skema tersebut menawarkan peluang yang nyata untuk membuka klub malam, "bahkan jika ada penularan baru atau angka rawat inap yang meningkat tajam di musim gugur". Berlibur 'seperti COVID tak pernah ada'
Jessica Wong pernah juga mengalami 'lockdown' di London.
Ia harus tinggal di apartemen yang kecil bersama orang lainnya, tanpa ada cahaya yang layak. Pokoknya bagi Jessica tahun lalu ia menjalaninya dengan "brutal", katanya.
Perempuan berusia 32 tahun itu telah kembali ke Australia, tepat sebelum perbatasan Australia ditutup.
Tapi Jessica yang sudah empat tahun tinggal di Inggris kembali ke London karena urusan pekerjaan.
"Mungkin kalau dipikir-pikir, seharusnya saya tinggal di Australia. Apalagi tahun lalu," katanya.
“Tapi sekarang saya merasa beruntung berada di Inggris. Saya merasa beruntung bisa mendapatkan vaksinasi begitu cepat, juga mentalitas anti-vaksin dari orang-orang sudah berkurang."
Jessica baru saja pulang berlibur dari Yunani.
Masuk dan keluar dari Inggris bisa menjadi "mimpi buruk" karena begitu banyak yang harus diurus, tapi begitu ia tiba di Mykonos, ia lalu merasa "seperti COVID tak pernah ada".
"Saya pergi ke Mykonos di pekan pertama setelah mereka mencabut aturan COVID ... Ketika saya melihat teman-teman dan semua orang berpesta, rasanya seperti mereka belum pernah mendengar musik. Benar-benar seru melihatnya," kata Jessica.
Kembali ke Inggris, belum ada aturan sertifikat vaksin untuk bisa masuk ke pub, restoran, klub malam seperti di sejumlah negara Eropa lainnya.
Tapi Jessica mengatakan orang-orang di Inggris pada umumnya menaati aturan pemakaian masker dan tes COVID di tempat kerja untuk melindungi mereka yang tidak dapat divaksinasi.
Hanya tetap saja ia khawatir dengan musim dingin nanti.
Peter Collingnon, pakar mikrobiologi dari Australian National University, mengatakan Australia masih akan melihat dengan cermat situasi di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa selama muslim dingin.
Ia percaya jika Australia berada di posisi yang aman menjelang musim panas akhir tahun nanti.
Peter juga yakin jika tingkat vaksinasi di Australia akan terus meningkat.
"Saya rasa kita akan mendapat tingkat vaksinasi lebih tinggi di Australia ketimbang Inggris, tanpa harus mencatat 50 ribu kematian seperti mereka," ujarnya.
Artikel ini dirangkum dan diproduksi oleh Erwin Renaldi dari laporannya dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Baru 42 Persen Sekolah PTM Terbatas, Kasus Covid-19 Sudah 19.153