jpnn.com - Penderitaan terus menguntitnya hingga usianya 52 tahun. Dia pun akhirnya menyerah. Dia ingin mati secara ’’legal’’ dengan memohon eutanasia alias suntik mati.
HENDRIK, Banda Aceh
BACA JUGA: Mensos: Gizi dan Nutrisi Korban Bencana Alam Harus Terpenuhi
Berlin Silalahi tergolek lemah di lantai dapur kantor Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Alasnya kasur tipis. Di sekelilingnya ada tumpukan-tumpukan kertas dan perkakas dapur.
Dia mengenakan kaus cokelat dan celana jins saat ditemui Rakyat Aceh (Jawa Pos Group) kemarin (4/5). Matanya nanar. Pandangannya menerawang ke langit-langit. Ekspresinya kosong.
BACA JUGA: Suami Ratna Minta Disuntik Mati
Entah apa yang tengah dia pikirkan. Hampir tak ada yang bisa dia lakukan untuk mengisi hari-harinya.
Berlin terpaksa dibawa ke kantor YARA setelah barak pengungsian korban tsunami di Gampong Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, dibongkar satpol PP beberapa waktu lalu.
Bersama sang istri, Ratnawati, dia tinggal di barak reyot itu untuk menjalani hari-hari kelabunya. Sudah dua kali mereka berpindah tempat tinggal, setelah barak Neuhen dibongkar, kemudian disusul barak Bakoy yang diratakan pemerintah.
Empat tahun sudah Berlin tidak bisa apa-apa. Tubuhnya kaku, lumpuh. Dia hanya bisa tergolek di tempat tidur seadanya di barak. Untuk makan sehari-hari, dia berharap dari pemberian para tetangga. Begitu pula untuk kebutuhan hidup lainnya.
Meski begitu, dia masih bisa diajak berkomunikasi. Memang sudah tidak lancar. ’’Saya sudah tidak tahan lagi. Sakit sekali,’’ tuturnya lirih sembari mulutnya menyeringai kesakitan.
Di dapur kantor lembaga swadaya masyarakat tersebut, Berlin harus berjuang melawan sakit yang tak terperi. Lemah tak berdaya.
Sampai akhirnya, dua hari lalu (3/5), rasa frustrasinya memuncak. Dia menyuruh istrinya menyerahkan surat permohonan eutanasia (suntik mati) dirinya ke Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh.
’’Siapa mau mati? Tapi, gimana lagi? Saya sudah tak sanggup pikir lagi karena rumah tidak ada, kerja tak mampu lagi, tanggungan untuk keluarga semakin hari semakin besar,’’ ungkap Berlin.
Sambil menahan sakit, dia mengisahkan kepahitan hidupnya seusai tsunami menerjang Aceh, 26 Desember 2004.
’’Saya dan keluarga tidak ada lagi tempat tinggal. Semua jadi korban. Bertambah berat karena saya sakit. Dalam sebulan, dua kali harus berobat ke rumah sakit. Biaya untuk antar jemput (ke RS) tak ada. Apa pun tak sanggup lagi, makanya saya bersedia disuntik mati saja,’’ katanya.
Sebenarnya Berlin sangat mengharap kesembuhan. Bila sembuh, dia ingin kembali bekerja. Dia sudah sangat malu kepada para tetangga yang hampir setiap hari memberinya makan dan kebutuhan hidup untuk keluarganya.
’’Kondisi saya seperti ini. Apa yang bisa saya berikan untuk anak dan istri? Apa saya harus minta setiap hari kepada tetangga dan saudara untuk beli beras dan sayur?’’ ujarnya.
Tak sanggup menahan beban ekonomi yang berat dan sakitnya semakin parah, Berlin akhirnya memilih untuk memohon suntik mati saja.
’’Ini keputusan saya yang terbaik, untuk menghilangkan penderitaan yang saya alami.’’
Ratnawati, istri Berlin, mengungkapkan, suaminya putus asa menghadapi beban hidup dan penyakitnya yang makin parah.
’’Saya terkejut mendengar bapak mengatakan seperti itu. Saya sudah berupaya melarang, tapi bapak tetap pada kemauan kerasnya untuk minta disuntik mati,’’ kata Ratnawati yang didampingi Ketua YARA Safaruddin.
Humas PN Banda Aceh Eddy SH menyebutkan, Indonesia tidak mengenal eutanasia. Seingat dia, pengadilan belum pernah menerima pengajuan permohonan suntik mati karena tidak ada dalam hukum positif. Yang ada adalah hukuman mati atas putusan pengadilan.
’’Tapi, silakan saja diajukan. Nanti kalau sudah ada dasarnya, kami proses. Tapi, yang pasti, eutanasia tidak ada dalam hukum positif di Indonesia. Yang ada di Belanda,’’ tandasnya.
Pernyataan senada diungkapkan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar. ’’Di Amerika Serikat itu disebut mercy killing. Hak untuk mati,’’ jelasnya kepada Jawa Pos kemarin (4/5).
Di tanah air, lanjut Fickar, hukuman mati dengan cara disengaja dikualifikasikan sebagai pembunuhan sesuai dengan pasal 338 KUHP. Itu berlaku meski secara sosiologis apa pun kehendak seseorang merupakan pilihan dan haknya.
Apabila ada yang menghendaki dan dilaksanakan oleh dokter atau siapa pun, perbuatan tersebut termasuk kategori pembunuhan berencana sehingga pelaku bisa dijerat pasal 340 KUHP.
’’Karena itu, di Indonesia tidak diperbolehkan,’’ ujarnya. ’’Kecuali dokternya bersedia untuk dihukum sebagai pembunuh,’’ tambah dia.
Sepengetahuan Fickar, belum pernah ada permohonan suntik mati yang diajukan WNI kepada PN mana pun di Indonesia. ’’Mungkin ini (permohonan Berlin, Red) yang pertama,’’ ungkapnya.
Dalam etika medis juga demikian. Dokter tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan eutanasia aktif. Tindakan tersebut dilarang, baik dalam tinjauan medis maupun agama.
’’Insya Allah, manusia selalu berikhtiar untuk menjaga kelangsungan hidup. Termasuk ikhtiar di bidang medis. Apalagi dari sudut hukum agama, manusia dilarang bunuh diri,’’ jelas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Fidiansjah.
Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menimpali, suntik mati tidak dibenarkan dalam kode etik profesi dokter di Indonesia.
’’Sekarang kalau KUHP tegas melarang, kode etik dokter juga melarang. Mau minta dikabulkan ke siapa lagi? Tidak bisa,’’ tegasnya.
Adib menyatakan, kode etik dokter melarang eutanasia karena pertimbangan kemanusiaan. Dia menjelaskan, jangan sampai ke depan ada orang yang nyeri sedikit, putus asa sedikit, minta disuntik mati.
’’Dulu pernah ada kasus permintaan suntik mati. Setelah ditelusuri, ternyata motivasi orang itu hanya karena ingin terbebas dari tanggungan biaya medis,’’ tuturnya.
Penegasan yang sama diungkapkan Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) PB IDI dr Poedjo Hartono SpOG (K).
Menurut dia, dokter tidak boleh melakukan suntik mati atas permintaan pasien. Dia mengungkapkan, para dokter telah bersumpah untuk tidak mengakhiri kehidupan seseorang.
Dokter justru punya kewajiban untuk merawat secara intensif setiap pasien. Mereka mesti membantu si pasien semaksimal-maksimalnya dengan memberikan obat serta perawatan paliatif.
’’(Suntik mati) itu tidak ada bedanya dengan membunuh orang lain. Jadi, tidak mungkin,’’ tandasnya. (syn/mia/wan/dwi/*/c5/ari)
Redaktur & Reporter : Soetomo