jpnn.com - Siang malam harus berkawan dengan ganasnya alam liar, dan jauh dari kesibukan warga kota. Tapi tugas sebagai penjaga hutan itu mampu dijalani Wayan Ninggir. Dia mendikasikan hidupnya untuk menjaga kelestarian hutan.
Siang itu, di antara rimbun pepohonan Hutan Kerandangan, sesosok pria tua duduk seorang diri di atas berugak. Tepatnya di pintu masuk Taman Wisata Alam Kerandangan, Senggigi, Lombok Barat, NTB.
BACA JUGA: Menko PMK Gelorakan Gerakan Revolusi Mental Untuk Penyelamatan Hutan
Rambut cepaknya dipenuhi uban yang memutih, tubuhnya terlihat jangkung menjadi bukti sisa-sisa kegagahannya.
Sepi. Tidak ada orang lain di tempat itu. Angin sepoi berdesis di antara daun pepohonan. Hanya sedikit senyum yang disungguhkan saat wartawan Lombok Post (Jawa Pos) menghampiri.
BACA JUGA: Duh, Hutan Dibabat Habis, Rumah Liar Terus Bertambah
Sosok pria itu adalah Wayan Ninggir yang masih setia menjaga hutan. Tidak terasa, 20 tahun sudah ia habiskan hidupnya di kawasan hutan.
Kini dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, pria kelahiran 1964 itu masih cukup bersemangat untuk menjaga hutan dari ancaman kerusakan.
BACA JUGA: Matangkan Perhutanan Sosial agar Warga Punya Akses Garap Hutan Negara
Sejak bertugas tahun 1984, Wayan telah kenyang merasakan asam garam menjadi seorang polisi hutan. Wayan dengan seragam hijaunya memulai tugas dinas di dalam hutan sejak muda.
Tugas pertama yang diberikan adalah menjaga Santong Lombok Utara, tepatnya di kawasan Gunung Rinjani.
Kala itu, Wayan muda hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 25.100. Kata dia, itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi kebanggaan sebagai polisi hutan serasa mengalahkan segalanya.
Semua rintangan dan cobaan dalam pekerjaan dilalui dengan sabar. Ia mengaku tidak pernah merasa terbebani. Apalagi menyesal karena ia selalu menikmati setiap tugas yang diberikan.
Setiap hari, Wayan harus keluar masuk hutan untuk menangkap para pembalak liar. Ancaman tentu saja ada. Tetapi dengan ketenangannya Wayan mengaku tidak pernah mengalami kendala berat selama mengamankan hutan.
Tugas yang dilakoninya tidak mudah. Terutama dengan luas hutan yang mencapai 41 ribu hektare Wayan hanya berjaga dengan beberapa orang rekannya.
Dari lima posko masing-masing tiga orang berjaga. Kala itu, hutan Gunung Rinjani belum masuk sebagai kawasan taman nasional. Posko penjagaan ada di titik Santong, Bayan, Pesugulan, dan Sembalun.
Dalam bertugas, mereka tidak hanya berpatroli di luar kawasan, tetapi juga menginap langsung di dalam hutan. Selama hidup di dalam hutan itu, Wayan mendapat banyak pelajaran.
Terutama bagaimana manusia harus bersikap terhadap alam dan seisinya. Sebab gangguan tidak hanya datang dari binatang buas, tetapi juga makhluk gaib yang merupakan penghuni hutan.
Ia mengaku, binatang buas seperti ular, babi hutan adalah hal yang biasa dihadapi. Tetapi yang tidak kalah menantang adalah kemunculan makhluk gaib.
Hal itu jelas memancing adrenalin, rasa takut pasti ada. Tetapi dari sana ia belajar bagaimana harus bersikap, mengasah mentalnya agar tetap tenang menghadapi kemunculan makhluk halus itu.
Sikap yang diambil Wayan adalah tetap tenang dan tidak berniat macam-macam saat memasuki hutan. ”Selama kita tidak mengganggu, mereka tidak akan mengganggu,” kata bapak tiga anak itu.
Menurutnya, menghadapi perasaan seperti itu ia harus benar-benar kuat secara mental, dan bersikap sopan terhadap hutan beserta isinya.
Ibarat seseorang yang datang bertamu ke rumah orang lain, dia harus datang dengan baik-baik dengan sopan sehingga tuan rumah tidak terusik.
Baginya, akan menjadi malapetaka bila orang masuk hutan dengan sombong dan niat buruk. Itu artinya, manusia harus menjaga hutan dan tidak merusaknya agar hidup tetap selamat.
Ancaman terbesar bagi kelestarian hutan adalah pembalakan liar. Penyakit itu seakan tidak pernah sembuh, dan dampak kerusakan hutan sudah dirasakan umat manusia. Bencana alam yang datang silih berganti menjadi peringatan.
Menurutnya, langkah yang paling efektif untuk mencegah pembalakan liar adalah dengan menyejahterakan warga di kawasan hutan.
Bila mereka sudah memiliki penghasilan dan kesadaran menjaga hutan, maka mereka tidak akan berani merusak hutan itu sendiri. Bahkan disuruh menebang pun mereka tidak akan mau bila sudah sadar.
Sehingga menurutnya, langkah yang paling penting untuk mengurangi pembalakan liar adalah dengan melibatkan masyarakat kawasan hutan.
”Bahwa hutan ini milik kita bersama dan manfaatnya untuk kita semua,” katanya. (*/r7)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Miris! Hanya Terdengar Teriakan, Orangnya tak Ada, Tujuh Tewas
Redaktur & Reporter : Soetomo