Bertindak Rasial untuk Orang Asli Papua, Waspada!

Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum (Anggota DPD RI Provinsi Papua Barat)

Selasa, 26 Januari 2021 – 23:58 WIB
Senator atau anggota DPD dari Provinsi Papua Barat, Dr. Filep Wamafma. Foto: Dok. DPD RI

jpnn.com - Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas HAM itu mendapat ujaran bernada rasialisme melalui akun Facebook Ambroncius Nababan.

Celakanya, ujaran bernada rasialisme itu kemudian ditanggapi secara membabi-buta juga oleh akun-akun yang lain, yang juga seolah mendukung ujaran rasialisme tersebut.

BACA JUGA: Natalius Pigai Diserang Kasus Rasial, Uskup Agung Merauke Ikut Merespons, Simak Kalimatnya

Pada poin ini, rasanya naluri kemanusiaan kita terkoyak, karena bagaimana mungkin ujaran rasialisme itu didukung hanya karena perbedaan pandangan soal pemberian vaksinasi Covid19.

Peristiwa ini seperti membuka kembali kejadian persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan daerah lain di Jawa, yang memang dimulai dari perbuatan rasial kepada Orang Papua. Ini berarti bahwa rasialisme terhadap Orang Papua sepertinya telah menjadi kebiasaan yang didaur-ulang dari waktu ke waktu.

BACA JUGA: Pigai Diserang Kasus Rasial, Hiron: Ingat, Luka Belum Kering

Parahnya lagi, Denni Siregar, salah satu pendukung pemerintahan Presiden Jokowi, mengatakan bahwa Natalius Pigai terlihat cengeng dalam menghadapi ujaran akun Ambroncius Nababan.

Persis di titik inilah rasialisme sudah menjadi banal, tepatnya “the banality of evil”, yaitu pengulangan sebuah perbuatan yang salah menjadi sebuah kebiasaan yang lama-kelamaan menjadi dibenarkan.

BACA JUGA: Ambroncius Bertindak Rasial Kepada Pigai, Begini Reaksi Stefanus Gusma, Tegas!

Pembiasaan perbuatan rasialisme inilah yang menjadi pemecah belah bangsa dan negara. Bukannya mengutuk Ambroncius, Denny Siregar seolah-olah sedang mengejek dan menertawakan Natalius. Ia menjadikan kasus ini sebagai bahan candaan. Beginilah naluri kemanusiaan yang mati karena fanatik buta terhadap suatu “kebenaran”.

Padahal kita semua tahu, bahwa kebenaran bukan terletak pada sosok, apalagi pada seorang Presiden.

Harus dipahami juga bahwa dalam Konsiderans Menimbang: Universal Declaration of Human Rights (UDHR) disebutkan bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia.

Deklarasi kemudian ditambah dengan mengatakan bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat biasa.

Penegasan dalam Konsiderans Menimbang tersebut kemudian dipaparkan lagi dalam Pasal 19 UDHR, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

Legitimasi Pasal 19 tersebut seharusnya menjadi dasar bahwa perbedaan pendapat terkait pemberian vaksin Sinovac merupakan suatu hal yang mutlak perlu dalam alam demokrasi.

Oleh karena itu, dengan cara yang sama, Pasal 2 UDHR menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.

Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Pasal 2 inilah yang menjadi dasar hukum terkuat bahwasanya rasisme itu dilarang bukan cuma di Indonesia, melainkan di seluruh dunia.

Apa yang diperintahkan oleh UDHR itu kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL 1965).

Pada prinsipnya rasisme adalah segala bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap suatu individu atau kelompok berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal-usul etnis yang melekat pada individu atau kelompok tersebut.

Dengan demikian secara yuridis-formal, peritiwa hukum sudah terjadi dalam kasus ujaran rasisme terhadap Natalius Pigai.

Kini perlu diketahui pula, bahwa ujaran rasialisme terhadap Natalius Pigai menyebabkan lahirnya ribuan reaksi dari masyarakat Papua. Memang benar bahwa Pigai tidak menjadi representasi Orang Papua secara keseluruhan. Namun bila berbasis pada solidaritas sebagai satu suku, maka “pembelaan” yang dilakukan oleh Denny Siregar, sesungguhnya menyakiti hati Orang Papua karena memang rasialisme sangat tidak dibenarkan dengan alasan apa pun.

Pernyataan Denny Siregar hanya menunjukkan ketidakpahamannya terhadap kehidupan berbinneka di mana semua warga harus hidup dengan penuh penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Alih-alih ia disebut sebagai pembela Pancasila, kasus Natalius justru membuka kedok fanatisme Denny Siregar.

Cara pandang rasialisme yang makin populer di Indonesia, bila diperhatikan secara serius, telah menjadi hambatan terbesar dalam membangun tingkat kepercayaan Orang Papua terhadap Pemerintah.

Melalui pikiran sederhana, Orang Papua bisa saja berpandangan bahwa bila rasialisme semacam ini dibiarkan ataupun diberi vonis yang cukup ringan seperti halnya di Surabaya, maka persepsi rakyat terhadap pemisahan diri dan membentuk negara sendiri, juga dapat berdasarkan pada sikap rasial, diskriminasi, dan pelanggaran HAM yang selama ini dialami.

Oleh karena itu tidak ada gunanya bersatu bila masih memberi stigma rasialisme terhadap Orang Papua. Sikap presiden dan penegak hukum dalam menjaga NKRI perlu diwujudkan dengan komitmen untuk memberantas dan melakukan tindakan hukum terhadap siapapun pelaku rasial di Indonesia.

Saya yakin bahwa di luar sana, masih terdapat banyak orang baik yang mau menghargai Orang Papua sebagai sebuah kesatuan bangsa yang besar. Tempora mutantur, et nos mutamur in illis, dunia berubah dan kita pun berubah di dalamnya.

Seharusnnya, paham tentang rasialisme telah usai diperdebatkan. Ironisnya, pola pikir rasialisme terhadap Orang Papua tidak pernah hilang sampai kini.

Haruskah Orang Papua tetap diam dan dijadikan semacam “kelinci percobaan” dari aksi rasialisme?(***)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler