Sejumlah orang tua asal Indonesia mengaku jika membesarkan anak-anak mereka di Australia memiliki tantangan tersendiri. Lalu ada tantangan tambahan jika anak-anak mereka difabel.
Namun, mereka tidak hanya menceritakan perjuangan yang harus dilalui, tetapi juga sukacita yang dirasakan.
BACA JUGA: Dinas Intelijen Australia Punya Peran Rahasia dalam Membantu Mengungkap Pelaku Bom Bali Tahun 2002
Oliver Prawiro Kimpton lahir dengan kondisi normal di Melbourne, Australia pada tahun 2003.
Namun di usia delapan bulan Oliver mulai menunjukkan gejala keterlambatan, seperti yang diceritakan Kathy Kimpton, ibunya.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Peringatan 34 Tahun Peristiwa Tiananmen, Tiongkok Perketat Akses
Kathy mengatakan Oliver sempat dibawa kembali ke Indonesia dan dokter spesialisasi neurologi menyarankannya untuk melakukan serangkaian tes, seperti MRI, CT-scan dan lainnya.
"Lalu ditemukan kalau Oliver ternyata mempunyai brain damage atau celebral palsy yang kebanyakan berada di sebelah kiri otaknya, sehingga bagian sebelah kanan tubuhnya lumpuh," ujar Kathy kepada ABC Indonesia.
BACA JUGA: Membangun Sejarah Sendiri di Pecinan Australia
Tapi pada usianya yang ke-19 tahun, Oliver mulai mengalami banyak kemajuan lewat terapi. Kini, ia sudah bisa berjalan hingga naik sepeda dan skuter khusus, meski tetap perlu diawasi.
"Syukurlah, melalui terapi dan usaha kami untuk mengenalnya lebih dalam, ia sekarang lebih tenang dan mulai suka berinteraksi dengan orang lain."Kelompok 'parenting' warga Indonesia
Kathy adalah salah satu anggota dari IndOz Parenting Group, sebuah grup WhatsApp bagi ratusan orangtua asal Indonesia di Australia untuk membahas masalah-masalah membesarkan anak mereka.
Kelompok ini juga memiliki sub-kelompok yang dikhususkan bagi orangtua dengan bayi, sekolah dasar, sekolah menengah atas, hingga dewasa muda.
Menurut Yohana Jury, salah satu koordinator dan 'admin' grup, tantangan yang dialami para orangtua asal Indonesia di Australia adalah karena anak-anak mereka lebih terekspos dengan budaya barat, sementara orangtua mereka dibesarkan dengan cara berbeda.
"Kebanyakan dari kita [para orangtua] dibesarkan di Indonesia, budayanya beda dengan anak-anak kita di sini," ujar Yohana.
"Meski anak-anak kami berdarah Indonesia tapi kadang tidak merasa seratus persen anak Indonesia, mereka adalah Australian-Indonesian, budaya mereka sudah berbeda," tambahnya.
Di grup Whatsapp orangtua dengan anak-anak difabel, Yohana mengatakan mereka lebih menekankan pada pemberian dukungan dan pemberdayaan.
"Mereka sharing dari pengalaman sendiri, saling memberikan informasi, berbagi tips, misalnya cara untuk mendapatkan bantuan skema NDIS," ujarnya.'Merayakan kegembiraan'
Dari pengalamannya, Kathy mengatakan orangtua biasanya akan melewati 'emotional roller coaster' ketika baru mengetahui bahwa anak mereka menyandang disabilitas.
Selain harus menanggung perasaan dalam diri sendiri, ia juga harus menguatkan diri ketika berhadapan dengan orang lain, yang beberapa di antaranya masih memiliki stigma terhadap anaknya, seperti disangka akibat penyakit "turunan" atau "karma".
"Kami harus melalui banyak sekali reaksi, seperti penyangkalan, rasa cemas, takut, depresi, rasa bersalah, amarah, sampai pada akhirnya bisa menerima," kata Kathy.
Namun Kathy merasa sangat beruntung dan terberkati, karena mendapatkan dukungan kesehatan, finansial, dan emosional dari pemerintah dan komunitas di Australia.
Sebagai penyandang disabilitas di Australia, Oliver mendapatkan tempat parkir dan stiker mobil khusus penyandang disabilitas serta potongan biaya untuk mengakses transportasi umum.
Oliver, yang berkewarganegaraan Australia juga mendapatkan bantuan dari skema NDIS, khusus penyandang disabilitas, serta Medicare, setara BPJS, untuk membiayai keperluan seperti terapi, imunisasi, dan peralatan.
Kathy juga mendapatkan bantuan keuangan dari Centrelink karena dianggap bekerja penuh waktu dengan merawat Oliver.
Tapi yang menurutnya paling penting adalah dukungan dari komunitas, apalagi dari para orangtua yang juga memiliki anak-anak difabel.
"Dukungan emosional sangatlah penting karena ini bukan perjalanan jangka pendek. Kita memiliki anak penyandang disabilitas seumur hidup."
Kathy berusaha untuk mengajak para orangtua untuk melihat sisi baik dari membesarkan anak yang menyandang disabilitas.
"Terkadang ini bukan tentang rasa cemas dan takut, tapi tentang merayakan kegembiraan," katanya.
"Anak-anak ini akan tumbuh dewasa dan menghadapi tantangan baru saat mereka masih bayi, balita, remaja. Tantangannya berbeda, tapi kebahagiaannya juga berbeda."Bukan 'makhluk aneh'
Santi Sulistio juga bergabung dengan IndOz Parenting grup.
Santi mengatakan putranya bernama Nathan Laszlo Sunartio adalah seseorang yang menyenangkan, suka tertawa dan senang dikelilingi banyak orang.
Namun, tidak semua orang mengenal Nathan yang menyandang 'celebral palsy', apalagi saat masih tinggal di Indonesia.
"Waktu di Indonesia, orang-orang suka bertanya, 'itu kasihan, anaknya kenapa?' dan mereka mulai mendiagnosa sendiri lalu bilang, 'eh, kenapa enggak dibawa ke sini?' dan sebagainya. Jadi Nathan ikut kesal juga, kan?" katanya.
Santi baru merasakan perbedaan sejak tinggal di Melbourne, Australia tahun 2019 lalu.
"Di sini lebih accepting. Jadi orang enggak melihat Nathan seperti makhluk aneh," ujarnya.
"Di sekolah ia juga diperlakukan seperti anak-anak pada umumnya. Dalam artian, kalau misalnya ada topik [tertentu, misalnya] voting, ia akan ditanya dan Nathan senang banget membahas topik seperti ini."
Menurutnya, dukungan keuangan dan kesehatan yang ditanggung pemerintah Australia juga memudahkan Nathan untuk berkomunikasi.
Perangkat bernama 'EyeGaze' yang dipasang di kursi roda Nathan membantunya menyuarakan apa yang ia ingin sampaikan.Lawan stigma dengan mengedukasi
Sama halnya dengan Kathy, Santi juga tidak terlepas dari stigma sebagai orangtua anak berkebutuhan khusus.
Dari pengalamannya, ia sudah belajar cara untuk menanggapi orang-orang yang memberikan tatapan tidak menyenangkan kepada anaknya.
"Tapi saya memutuskan untuk mengedukasi mereka. Saya ajak mereka berkenalan dan mulai menjelaskan bahwa Nathan memang berkebutuhan khusus, tapi sama seperti orang lain," ujarnya.
"Jadi daripada kita kesal ... saya pikir dengan cara begitu orang jadi mulai paham."Menyeimbangkan kultur Indonesia dan Barat
Yohana yang sudah tinggal belasan tahun di Australia mengatakan grup IndOz berdiri saat 'lockdown' diberlakukan di Australia untuk saling menyemangati dan membantu warga diaspora Indoensia.
Tapi grup 'parenting' dibuat karena menurutnya banyak orangtua yang merasa butuh keseimbangan antara tetap menjaga nilai-nilai ketimuran di negara barat.
"Kita-kita ini [para orangtua] ingin mengetahui bagaimana caranya balance antara tetap ikut culture kita [Indonesia]," jelas Yohana.
"Tapi juga membesarkan mereka supaya bisa tahu atau bisa mengatasi masalah yang dihadapi di Australia dan bisa berbaur dengan orang Australia."
Yohana mengatakan grup 'parenting' ini pun kian berkembang, bahkan kini anak-anak mereka yang mengadakan acara.
"Mereka ingin ketemuan suapaya bisa belajar bahasa Indonesia dengan mendirikan conversation club," ujarnya.
"Jadi enggak hanya untuk saling mendukung orangtuanya tapi juga agar anak-anaknya bisa saling mengenal."
Laporan tambahan Erwin Renaldi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengapa Australia Akan Melakukan Referendum Terkait Warga Aborigin?