Bhinneka Tunggal Ika dan Ajaran Islam

Selasa, 19 September 2023 – 16:50 WIB
Praktisi Hukum dan Pemerhati Polsosbud Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Sewaktu Nabi Muhammad Hijrah ke Kota Madinah, kala itu menghadapi banyak masalah menyangkut perbedaan dalam masyarakat yang pluralis terbatas.

Rasullullah SAW membentuk perjanjian dengan berbagai kalangan. Perjanjian formal itu disebut sebagai "Piagam Madinah".

BACA JUGA: Perayaan Cap Go Meh TMP Soroti Kemiripan Bhinneka Tunggal Ika dengan Falsafah Tiongkok

Salah satu tujuan utamanya adalah: ....menyatukan dan menciptakan kehidupan masyarakat Kota Madinah saat itu yang damai dan tenteram di balik segala perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Isi dari Piagam Madinah antara lain menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tetapi bertanggung jawab, menghormati pendapat orang lain dan keselamatan harta benda atas milik masyarakat.

BACA JUGA: HUT ke-77 RI, Joe Biden Singgung Kesamaan Bhinneka Tunggal Ika dan E Pluribus Unum

Kemudian larangan bagi orang untuk melakukan kejahatan baik dalam pencurian, perampokan dan penipuan.

Piagam Madinah ini pada perjalanannya dalam dunia modern dimodifikasi dalam peraturan kitab hukum pidana.

BACA JUGA: Adab Tidur yang Disarankan Dalam Ajaran Islam

Piagam Madinah yang dideklarasikan Nabi Muhammad SAW terdiri dari empat bagian yang diatur terdapat 47 Pasal.

Piagam Madinah mengatur sistem perpolitikan, keamanan, kebebasan beragama, serta kesetaraan di muka hukum, perdamaian dan pertahanan.

Inilah sebenarnya yang mengilhami para pendiri bangsa untuk membentuk Negara Kesatuan yang dijabarkan dalam Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis.

Memasukkan juga dalam bahasa Al-Qur,an dalam ketatanegaraan yang saat itu diusulkan oleh H Agus Salim. Misalnya, kata Rakyat, Musyawarah, Majelis dan sebagainya.

Pemikiran dari para pendiri bangsa tersebut sangat visioner dan menjangkau jaman hingga ratusan tahun.

Hal inilah yang kadang membuat penulis malu. Sebab dalam kenyataan terkini, generasi modern yang seharusnya lebih punya pola pikir lebih maju yang menjangkau waktu puluhan tahun ke depan, tetapi justru hanya berpikir demi kepentingan sesaat.

Kita bisa berkaca pada munculnya politik identitas dalam pemilihan kepala daerah yang menimbulkan preseden paling buruk dalam sejarah bangsa ini.

Sesuatu yang tidak hanya bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika, dalam kebinekaan yang dibingkai dalam negara kesatuan, tetapi juga lupa akan sejarah yang telah dideklarasikan oleh Rasulullah Nabi Muhammad sendiri dalam Piagam Madinah.

Pancasila sebagai Dasar Negara, Filosofi dan Pandangan Hidup Bangsa digali oleh Ir Soekarno.

Presiden Ke-1 RI itu mencetuskan sila-sila Pancasila dalam sidang pembahasan falsafah negara dihadapan Badan persiapan usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945.

Di samping digali dari sumber primair seperti Kitab Negara Kertagama dan Kitab Sutasoma, Bung Karno menggalinya dari Serat Wredhatama dan Ajaran Wulang Reh.

Utamanya juga adalah dari Alquranul Karim serta Piagam Madinah yang dideklarasikan Rasullullah SAW saat di Kota Madinah hingga tercipta urutan Pancasila.

Demikian pembahasan soal Dasar Negara, dimana Mr Soepomo dari awal keberatan atas dimasukannya hak asasi manusia dalam konteks negara kesatuan.

Dia khawatir masukkan hak asasi manusia ini akan memperlemah negara kesatuan yang mana lebih berorientasi negara liberal.

Keberatan Mr Soepomo menimbulkan perdebatan sengit. Mr Moh Yamin dan Soekarno serta H Agus Salim tidak sependapat atas pendapat Mr Soepomo.

Kemudian dicari jalan tengah yang ditekankan pada kata "keadilan sosial" dalam Pancasila dan Pasal 28 dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Jika melihat kondisi Masa Reformasi saat ini, penulis bisa memahami kekhawatiran Mr Soepomo. Orang hanya menuntut hak sebagaimana diatur dalam Piagam PBB, Declaration of Human Right, akan tetapi tidak memikirkan kewajibannya sebagai warga negara. Memprihatinkannya, kondisi bangsa ke depan lebih berorientasi pada sistem liberal dalam kehidupan ketatanegaraan.

Maka benar pidato Bung Besar Soekarno yang berapi-api. Bahwa kalau jadi Hindu, janganlah jadi orang India. Kalau jadi Islam janganlah jadi Orang Arab.

Kalau jadi Kristen janganlah jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi Orang Nusantara dengan hidup berdasarkan adat-istiadat orang Nusantara.

Intinya, jadilah manusia beragama apapun agamamu. Dan, jadilah orang Indonesia yang menghargai adat-istiadat dan budaya Indonesia.

Sebab ke depan keyakinan atas ke-Indonesia-an ini akan luntur jika kita tidak berpegang teguh bahwa kita orang Indonesia bukan bangsa barat atau bangsa jazirah timur.

Belajar dari Sunan Kudus

Jauh sebelum Indonesia Merdeka pada medio tahun abad ke 15 Masehi, seorang penyebar Agama Islam di Tanah Jawa yaitu Sayyid Jakfar Sodiq mendirikan masjid di Desa Kerjasan Kota Kudus pada tahun 1503 Masehi.

Masjid itu saat ini dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus.

Masjid yang sangat legendaris karena bangunan menara mengambil dari bekas pure peribadatan dalam agama Hindu.

Sayyid Jakfar Sodiq atau dikenal dengan sunan Kudus sendiri diketahui lahir di Kota Al Quds Palestina, 9 September 1400 Masehi/808 Hijriah.

Pada saat Sunan Kudus menyebarkan agama, masyarakat Kudus dan sekitarnya masih memeluk agama Hindu.

Melalui pendekatan budaya dan adat-istiadat, beliau mendapat sambutan hangat di hati masyarakat.

Saat itu, Sunan Kudus memfatwakan bagi masyarakat Kudus tidak boleh memotong menyembelih sapi.

Hal ini merupakan politik hukum yang diambil untuk menghormati umat beragama Hindu yang mengkeramatkan hewan sapi dalam kepercayaan mereka.

Hingga saat ini, masyarakat di Kudus patuh dan hormat tetap memegang teguh tradisi dari fatwa Sunan Kudus tersebut meski jaman telah berubah.

Di balik fatwa Sunan Kudus tersebut, ada pesan dan ajaran yang disampaikan bahwa kita harus menghormati antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pola pikir Sunan Kudus itu bisa menjangkau ratusan tahun ke depan. Bahwa bangsa ini dibentuk dari beberapa perbedaan dan menyatu dengan cita-cita bersama yang bernama Indonesia.

Dari uraian singkat di atas, penulis menggarisbawahi bahwa antara Bhinneka Tunggal Ika dengan Piagam Madinah itu senapas.

Keduanya sama-sama menekankan pentingnya menghargai perbedaan bahwa yang mayoritas menghargai yang minoritas, yang minoritas memahami yang mayoritas.

Bhinneka Tunggal Ika sejalan dengan ajaran Islam mengenai persatuan yaitu Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Wathoniah dan Ukhuwah Bashariah.

Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler