BI Jaga Rupiah 11.600 - 11.800 per USD

Menkeu: Depresiasi Hanya Temporer

Jumat, 06 Juni 2014 – 07:03 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Tekanan terhadap rupiah belum mereda. Kombinasi fundamental ekonomi dan sengitnya persaingan dalam pemilihan presiden (Pilpres) menekan rupiah hingga kian mendekati level 12.000 per USD.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, rilis data neraca perdagangan April 2014 yang mencatat defisit hingga USD 1,96 miliar memang cukup mengagetkan pasar. Defisit itu dipercaya akan berdampak pada melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit), sehingga makin menekan rupiah.

BACA JUGA: Pemerintah Memaksa, MUI Keluar dari Proses Sertifikasi Halal

"Fokus BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk APBN Perubahan 2014, kita proyeksi di kisaran 11.600 - 11.800 (per USD)," ujarnya saat rapat dengan Badan Anggaran DPR kemarin (5/6).
 
Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI menunjukkan, kemarin rupiah ditutup di level 11.874 per USD, melemah 64 poin dibanding posisi Rabu (4/6) yang di level 11.810 per USD.

Sepanjang pekan ini, rupiah sudah melemah hingga 263 poin dibanding posisi penutupan Jumat (30/5) yang masih di level 11.611 per USD. Posisi rupiah saat ini sekaligus menjadi yang terlemah sejak 14 Februari 2014. Ketika itu, rupiah ada di level 11.886 per USD.

BACA JUGA: Polri Sudah Turunkan Tim Tindak Pengguna Repeater Ilegal

Menurut Agus, secara fundamental, setiap Triwulan II memang menjadi periode tahunan yang cukup berat. Selain potensi defisit neraca dagang akibat tren naiknya impor, pasokan valuta asing (valas) di pasar keuangan juga ketat karena banyak perusahaan yang membayar dividen kepada pemegang saham di luar negeri, serta banyaknya utang valas yang jatuh tempo. "Jadi, wajar kalau saat ini rupiah terdepresiasi," katanya.

Agus menyebut, yang mesti dilakukan pemerintah saat ini adalah memperbaiki neraca dagang agar defisitnya mengecil atau bahkan menjadi surplus. Sebab, data tersebut bakal menjadi sentimen positif yang bisa memperkuat nilai tukar rupiah. "Tapi, sebenarnya masih banyak PR (pekerjaan rumah) penting yang harus dikerjakan untuk menjaga rupiah," ucapnya.

BACA JUGA: Wajib Dibentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rusun

Apa saja itu? Menurut mantan menteri keuangan dan direktur utama Bank Mandiri tersebut, saat ini pasar valas di Indonesia masih dangkal. Salah satu sebabnya adalah masih adanya keengganan eksporter untuk menyimpan devisa hasil ekspornya di perbankan Indonesia.

Pada prakteknya, selama ini banyak eksporter terutama dari sektor migas dan pertambangan mineral batu bara yang lebih senang menyimpan uang hasil ekspor di perbankan luar negeri. "Karena itu, kita harus lebih tegas meminta eksporter untuk memasukkan uangnya ke Indonesia," ujarnya.

Selain itu, lanjut Agus , BI selaku otoritas moneter juga meminta dukungan politik dari pemerintah dan DPR untuk segera mengimplementasikan Undang-undang Mata Uang yang mewajibkan seluruh transaksi di Indonesia harus dilakukan dalam mata uang rupiah.

Dia menyebut, saat ini masih banyak transaksi di sektor kimia maupun pertambangan yang menggunakan denominasi USD. "Akibatnya, kebutuhan dolar tinggi dan rupiah tertekan," katanya.

Bagaimana pengaruh Pilpres? Agus mengakui, makin ketatnya persaingan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta juga terus dicermati investor. Hal itu membuat ketidakpastian siapa pemenang Pilpres kian tinggi. 'Bagi pasar, setiap ada ketidakpastian, maka itu menjadi sentimen negatif," ucapnya.

Senada dengan Agus, Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan jika persaingan makin ketat, maka perolehan suara dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diproyeksi tidak akan terpaut jauh.

Akibatnya, jika ada salah satu pihak yang tidak terima dengan hasil Pemilu 9 Juli dan menggugat melalui Mahkamah Konstitusi, maka stabilitas politik dan ekonomi Indonesia pasca Pemilu bisa terganggu. "Orang luar melihat potensi dispute (perselisihan) hasil Pemilu kalau perbedaan perolehah suaranya tipis," jelasnya.

Meski demikian, lanjut Chatib, secara fundamental, ekonomi Indonesia diperkirakan akan membaik pada Triwulan III 2014. Dia menyebut, siklus neraca perdagangan biasanya membaik di Triwulan III, sehingga defisit transaksi berjalan pun diproyeksi membaik. "Jadi, secara fundamental, saya meyakini depresiasi saat ini sifatnya temporer saja sehingga ada potensi rupiah akan kembali menguat," ujarnya. (owi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Haagen-Dazs Hadirkan Ice Cream Sensasional


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler