JAKARTA - Bank Indonesia (BI) masih meyakini industri perbankan di Tanah Air aman dan kuat menghadapi imbas krisis yang tengah melanda Amerika dan EropaPasalnya, eskposur langsung terkait krisis di kedua kawasan itu relatif kecil, yakni sekitar 3,13 persen dari total aset yang mencakup 79 persen dari sistem keuangan Indonesia.
Namun demikian, otoritas perbankan itu tetap menyiapkan sejumlah langkah antisipasi menghadapi dampak krisis global yang diperkirakan menyebabkan pelambatan pertumbuhan ekonomi global
BACA JUGA: 14 KKKS Lampaui Target Lifting Gas
"Dari pemantauan BI, hingga saat ini stabilitas sistem keuangan kita masih tetap terjaga dengan baikMenurutnya, krisis global itu bakal berimbas pada prospek perekonomian Indonesia, terutama pada 2012 dan tahun-tahun berikutnya
BACA JUGA: Astra Graphia Kejar Target Pendapatan Rp 1,8 T
Pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi akan lebih rendah dari 4,3 persen (yoy) menjadi 4,2 persen pada 2011, sementara pada 2012 perkiraan awal 4,5 persen turun menjadi 4 persen.Suhaedi memaparkan beberapa langkah kebijakan yang disiapkan BI diantaranya, pembentukan Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang terlegitimasi UU, protokol manajemen krisis, penguatan kerja sama ASEAN +3, perbaikan good corporate governance (GCG), dan kebijakan mendorong peran intermediasi perbankan
BACA JUGA: BI Pede Indonesia Tahan Krisis Global
Rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) perbankan cukup tahan jika terjadi kondisi gagal bayar atau default di Amerika dan EropaPer Juli 2011, data BI memperlihatkan CAR industri perbankan nasional sebesar 17,2 persenKinerja industri perbankan yang masih dalam kondisi bagus juga mendukung optimisme BI"Jika terjadi 100 persen default, total eksposur luar negeri CAR perbankan turun sedikit tapi tetap di atas 16 persen," katanya.
Mayoritas eksposur luar negeri perbankan adalah pada negara-negara di Eropa, AS, Singapura, dan TiongkokPerbankan Indonesia memiliki eksposur langsung yang lebih besar untuk portofolio dalam negeri, yakni sebesar Rp 638,3 triliun.
Sementara itu, Peneliti Senior CSIS Haryo Aswicahyono mewanti-wanti supaya pemerintah cermat terhadap krisis global saat iniCSIS memandang krisis bisa terjadi kapanpunMenurutnya, apa yang terjadi saat ini berbanding terbalik terhadap apa yang terjadi di AsiaBeberapa negara di Asia, salah satunya Indonesia masuk dalam negara yang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi
Namun, hal tersebut merupakan ketidakseimbangan global yang justru membahayakan negara dengan pertumbuhan positif"Ketika ketidakseimbangan ini tidak bisa dikendalikan di mana menjadi gap besarIni memicu krisis," jelasnya.
Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan mengemukakan, Indonesia harus mewaspadai potensi pembalikan arus modal (sudden reverseal) jika terjadi gejolak global
Karena mayoritas saham dikuasai investor asing, sehingga rentan terhadap gejolakSekitar 63 persen pasar saham dimiliki asingBegitupun pasar obligasi jumlahnya 40 persen dikuasai asing, termasuk Sertifikat BIArtinya, bisa dengan mudah masuk ke pasar saham"Ini akan mengubah persepsi investor dari porfolio saham sendiri," tukasnya.
Ia melanjutkan, tapi jika dilihat kondisinya, Indonesia ditolong neraca pembayaran yang baikCadangan devisa juga meningkat menembus rekor, setara 7,1 bulan imporNamun perlu diwaspadai adalah impor yang meningkat(lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... New Honda Jazz Tetap Dominan
Redaktur : Tim Redaksi