jpnn.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Ombudsman mendesak Polri untuk lebih serius menuntaskan kasus-kasus mafia tanah yang kian sering mengemuka belakangan ini.
Anggota Komite 1 DPD RI Abdul Rachman Thaha berpendapat, hingga hari ini belum ada bukti yang gamblang menunjukkan bahwa masalah mafia tanah telah terselesaikan oleh Polri.
BACA JUGA: Warning dari Kementerian ATR/BPN Soal Oknum PPAT Terlibat Kasus Mafia Tanah
Menurutnya, Polri harus terus membuktikan upaya yang maksimal, termasuk mengejar para pelaku yang masih buron.
Ia mengatakan, pemberantasan mafia tanah, harus jadi prioritas penegak hukum, bukan hanya Polri namun juga Kejaksaan dan KPK.
BACA JUGA: Modus Mafia Tanah yang Harus Diketahui, Hati-hati dengan Orang seperti Ini
“Idealnya memang harus ada sinergi tiga komponen penegak hukum, artinya ada keinginan dan kemauan serius dari pemerintah, sekaligus membuktikan bahwa pemberantasan mafia tanah dilaksanakan,” ujarnya, Minggu (7/11)
Seperti diketahui, Polda Metro Jaya menetapkan Benny Simon Tabalujan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan akta autentik tanah di Cakung, Jakarta Timur.
Namun saat ini keberadaan Benny diduga kuat di Australia.
Kasus itu bermula dari laporan polisi yang diterima pada 2018 lalu. Laporan itu terdaftar dengan nomor laporan LP/5471/X/2018/PMJ/Ditreskrim, tanggal 10 Oktober 2018 lalu.
Abdul Rachman Thaha menyebut konflik tanah ini seperti api dalam sekam yang bisa mengakibatkan ledakan konflik di tanah air.
Menurutnya, konflik bisa jadi terjadi bukan hanya antar individu, antar keluarga, hingga antar kelompok masyarakat.
“Laporan dari berbagai dapil, banyak sekali aduan ke DPD mengenai persoalan konflik tanah, Hal ini menunjukkan mafia tanah masih merajalela,” tutur senator ini saat dihubungi.
Masih banyaknya mafia tanah ini, kata dia, menjadi Indikasi takluknya negara dalam memastikan sistem kepemilikan dan pengusaan tanah secara proper.
“Presiden memang membagikan akte tanah ke warga, itu memang baik, namun jauh dari cukup. Harusnya ada pembenahan karena titik pangkal pemalsuan kerap ditemukan di BPN. Masih ada oknum-oknum yang terlibat dalam pemalsuan dokumen pertanahan itu sendiri,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan Komisioner Ombudsman RI Mokh Najih.
Ia menilai kinerja Polri dan juga satgas mafia tanah di Kementerian ATR/BPN masih angin-anginan.
Ombudsman berharap satgas bisa menuntaskan kasus mafia tanah yang kian banyak laporannya.
“Satgas itu sebenarnya sangat strategis, jika mampu berperan secara konsisten, sebab akan memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik di bidang pertanahan. Dalam arti pelayanan publik bidang pertanahan dapat mnunjukkan kinerja yang semakin mudah, cepat dan murah, namun kenyataan ya keluhan publik ke Ombudsman di bidang ini masih tinggi, masuk tiga besar dari laporan masyarakat,” ujarnya di kesempatan terpisah.
Ia pun menilai pengejaran buron atau DPO kasus mafia tanah cukup rumit, sebab orangnya tidak dapat diketahui kedudukannya, dan juga batas waktu sampai kapan DPOnya.
“Saran saya, perlu ada pembatasan waktu buron atau DPO paling tidak dua kali jumlah ancaman sanksi terhadap tindak pidana yang dilakukan. Kalau sudah habis masa batas waktu, kemudian tertangkap, maka diancam dengan pidana melarikan dirinya atau buronnya tersebut,” ujarnya.
Ia juga meminta Polri meningkatkan kerjasama dengan Interpol.
Sehingga dalam hal pengejaran tersangka, penggunaan satu data bersama menjadi penting.
Termasuk untuk mengetahui apakah tersangka masih hidup atau sudah mati.
Dihubungi terpisah, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi mengatakan Satgas Mafia Tanah Bareskrim Polri sampai saat ini masih berjalan optimal menangani kasus-kasus.
Dia juga mengatakan kasus Benny Tabalujan juga sudah ditangani Bareskrim.
“Proses sedang penyidikan, bahkan sudah ada yang P21 dan sudah dilimpahkan,” ujarnya.
Dalam kasus tanah yang sama, sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menjatuhkan sanksi disiplin kepada pegawai BPN yang terlibat penerbitan sertifikat hak milik (SHM) tanah seluas 7,78 hektare yang disengketakan antara Abdul Halim dan PT. SalveVeritate di Cakung, Jakarta Timur.
Menurut Sofyan, SHM bernomor Nomor 4931/Cakung Barat itu diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta Nomor 13/Pbt/BPN.31/IX/2019 tanggal 30 September 2019.
Bahkan, mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN DKI Jakarta bernama Jaya telah diberhentikan secara tidak hormat.
Namun, PTUN DKI Jakarta membatalkan SK pemecatan yang dikeluarkan Menteri ATR/BPN Soyfyan Djalil. Jaya memenangkan gugatan tersebut, yang dicatat dalam monitor Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN dengan nomor perkara 9/G/2021/PTUN.JKT.
Di sisi lain, PN Jakarta Timur dalam kesempatan terpisah juga menyebutkan Jaya tidak bersalah dalam sangkaan tindak pidana korupsi.
Hal itu tertuang dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP PN Jaktim), Rabu (27/10/2021) dengan nomor 11/Pid.Praper/2021/PN.Jkt.Tim. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil