Biasanya Moreira Suka Usil, Jelang Dieksekusi Teriak-teriak

Gularte Sering Membenturkan Kepala ke Tembok

Senin, 19 Januari 2015 – 14:58 WIB
UPAYA TERAKHIR : Pengacara Utomo Karim (kanan) bersama asisten Dhimaz di depan Lapas Besi Nusakambangan, persinggahan terakhir napi sebelum dieksekusi Minggu (18/1). Foto: Ilham Dwi/Jawa Pos

jpnn.com - PENJAGAAN Pulau Nusakambangan cukup ketat menjelang pelaksanaan eksekusi lima terpidana mati, Minggu dini hari.

Namun, Jawa Pos berhasil masuk di pulau seluas 121 km persegi itu dan menjumpai napi kelas kakap narkoba menjelang hari kematiannya.
-----------
Laporan Ilham Dwi Wancoko, Nusakambangan
----------

BACA JUGA: Di Atas Bukit Itu Aura Keimanan Menyeruak

HARI masih dingin dan Stasiun Purwokerto terlihat sepi. Kereta Api Sancaka yang dinaiki Jawa Pos bersama pengacara Kedutaan Besar Brasil Utomo Karim dan Konselor Kedubes Brasil Rodrigo Andrade Cordoso tiba Rabudini hari (14/1) sekitar pukul 01.30.

Stasiun Purwokerto adalah pemberhentian terdekat Sancaka menuju Cilacap, kabupaten di mana Pulau Nusakambangan berada.

BACA JUGA: Bioskop Bisik, Para Tunanetra Itu Bisa Tertawa Ngakak

Meskipun jarak sudah dekat, rombongan tidak bisa serta-merta menuju ke pulau yang terkesan ’’seram’’ karena digunakan untuk menampung penjahat kelas kakak tersebut. Masuk ke pulau penjara dengan pengamanan superketat itu diperlukan prosedur yang panjang.

Utomo mengatakan sudah mengajukan permohonan ke Dirjen Lapas Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum dan HAM) untuk mengunjungi dua terpidana mati asal Brasil Marco Archer C. Moreira dan Rodrigo Gularte pada Senin (12/1). Namun, jawaban dari Dirjen Lapas tidak jua datang.

BACA JUGA: Gagal Bertemu Komodo, Puas Melihat Monyet

’’Untung saja ada Jeffri Huwae. Jaksa dari Kejati Banten itu menghubungi saya dan mengajak ke Nusakambangan,’’ lanjutnya. Kejati Banten adalah institusi yang mengusut kasus Moreira.

Baru siangnya, sekitar pukul 12.00 WIB, dengan menggunakan mobil sewaan, rombongan Kedubes Brasil bersama Jawa Pos meluncur ke Cilacap. Perjalanan tersebut membutuh waktu satu jam dengan kecepatan sedang.

Di kota itu Jeffri berjanji akan menemui Utomo pada pukul 14.00 di Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilacap. Sayang, pada jam yang telah direncanakan, yang punya janji tidak kunjung datang. Utomo yang menghubungi dia mendapat jawaban bahwa Jeffri masih dalam perjalanan menuju Cilacap dari Purwokerto.

Baru pada pukul 15.30 salah seorang petugas kejari meminta kami masuk ke ruang kerja Kepala Kejari Cilacap Edyward Kaban. Ternyata, Jeffri sudah berada di ruangan tersebut.

Dalam pertemuan itu, Jeffri menginformasikan bahwa akan ada pemberitahuan eksekusi kepada sejumlah terpidana mati. ’’Rencananya, Rabu malam atau Kamis dini hari kami beri tahu para terpidana,’’ ujarnya.

Mendengar itu, Utomo sangat kaget. Dia mempertanyakan kebijakan tersebut. Sebab, sebelumnya dari Kejagung dia menerima informasi bahwa eksekusi dilakukan pada 22 Januari. ’’Kalau begini, kasihan keluarganya tidak bisa bertemu dengan Moreira,’’ ujarnya.

Namun, apa mau dikata, protes itu tidak bisa mengubah keputusan. Utomo dan Cordoso tidak mau berdebat. Saat itu yang paling penting ialah bertemu dengan Moreira dan Gularte.

’’Kalau protes lebih keras, dikhawatirkan malah tidak bisa ketemu dengan Moreira dan Gularte,’’ ujar Karim.

Akhirnya, sekitar pukul 17.00, dengan menggunakan empat unit mobil, rombongan Kedubes Brasil bersama petugas dari Kejaksaan Cilacap dan Banten meluncur ke Nusakambangan. Ketika itu, Utomo baru sadar bahwa Jeffri mengajak menjenguk dua kliennya karena Kejagung telah menginstruksikan eksekusi mati.

Perjalanan dari Kantor Kejari Cilacap hanya membutuhkan 20 menit sampai di Dermaga Wijayapura. Dermaga itu merupakan penyeberangan menuju Pulau Nusakambangan. Empat mobil tersebut langsung masuk ke feri milik kejari.

Di kapal itu sudah ada puluhan pengendara sepeda motor. Pengendara sepeda motor itu bukan warga biasa. Berdasar informasi, mereka merupakan karyawan dan keluarga karyawan lapas di Nusakambangan.

Karena berada di iring-iringan paling buncit, mobil rombongan Kedubes Brasil tidak bisa masuk ke feri. Kapal sudah penuh. Namun, setelah posisi sepeda motor diatur ulang, mobil bisa masuk. Hanya butuh waktu menyeberang sekitar 10 menit, feri sudah bersandar di Dermaga Nusakambangan.

Menjelang gelap, suasana di dermaga yang menjadi pintu masuk menuju pulau dengan tujuh lapas itu cukup ramai. Banyak orang lalu lalang. Menurut salah seorang petugas kejari, mereka adalah intel.

Setelah empat mobil rombongan turun, perjalanan dilanjutkan ke Lapas Besi, lapas penampungan terakhir napi sebelum dieksekusi. Jalanan beraspal cukup mulus. Namun, suasana sangat gelap karena sama sekali tidak ada penerangan jalan. Apalagi, di kanan kiri jalan hanya hutan.

Beberapa kali rombongan melewati lapas. Namun, karena kecepatan mobil cukup tinggi dan suasana gelap, tidak bisa dibaca lapas apa saja yang dilalui. Di sekitar lapas tersebut terlihat beberapa rumah.

’’Rumah-rumah itu bukan punya warga. Kebanyakan milik karyawan dan keluarga karyawan lapas,’’ ujar Utomo yang beberapa kali masuk ke Nusakambangan mengunjungi klien.

Setelah 30 menit menembus gelapnya hutan, rombongan tiba di sebuah bangunan bercat putih. Itulah Lapas Besi. Turun dari mobil, Jeffri langsung menghampiri rombongan Kedubes Brasil.

Dia menjelaskan, Moreira dan Gularte ditahan di Lapas Pasir Putih. Menjelang eksekusi, mereka dipindah ke Lapas Besi.

’’Untuk bicara dengan Moreira nanti bisa di Lapas Besi. Untuk bicara dengan Gularte, silakan ke Lapas Pasir Putih. Kami mengusahakan kepala lapas bisa mengizinkan bertemu dengan Gularte,’’ kata Jeffri kepada Utomo.

Tidak ingin membuang waktu, rombongan Kedubes Brasil meluncur ke Lapas Pasir Putih. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari Lapas Besi. Lapas Pasir Putih merupakan lapas yang posisinya di ujung Pulau Nusakambangan. Dalam perjalan itu, kami kembali melewati hutan belantara.

Lapas Pasir Putih terlihat lebih besar dari Lapas Besi. Di samping bangunan lapas terdapat pagar besi setinggi lebih dari 20 meter. Pagar itu begitu panjang, sampai tidak terlihat ujungnya. Kepala Lapas Pasir Putih Hendra Eka Putranto menyambut kami.

Lelaki bertubuh gempal itu begitu ramah. Dia meminta kami menunggu di ruang kerjanya. ’’Saya mohon maaf. Kita harus menunggu sampai semua napi masuk sel, baru keluarkan Moreira,’’ ujarnya.

Beberapa saat dia menceritakan kondisi Moreira yang belum mengetahui adanya eksekusi tersebut. Beberapa hari lalu Moreira sempat mengobrol dengan Hendra. Moreira yang sudah cukup fasih berbahasa Indonesia mengatakan bahwa orang dari Kedubes Brasil akan datang. ’’Ya, saat itu dia sering mengulang-ulang cerita bahwa orang kedubes akan datang,’’ tuturnya.

Moreira, lanjut dia, merupakan salah seorang terpidana yang membuat suasana Lapas Pasir Putih lebih ceria. Di lapas itu terdapat lapangan tenis. Para penghuni sering bermain tenis, termasuk Moreira.

Saat menunggu giliran bermain, Moreira sering jahil. Kadang dia melemparkan banyak bola tenis ke lapangan. ’’Tentu saja, penghuni yang sedang bermain kebingungan. Saat itu biasanya Moreira ngeloyor pergi,’’ beber Hendra.

Menurut Hendra, Moreira sudah dianggap sebagai kawan. Dia merasa kehilangan ketika mendengar kabar Moreira akan dieksekusi. ’’Saya kasihan, kenapa harus begini. Tapi, apa mau dikata, kami tentu harus melaksanakan tugas,’’ ujarnya, lalu terdiam.

Tidak berselang lama Moreira keluar sel. Dia langsung menemui Cordoso dan Utomo.

Terpidana mati karena membawa 13 kilogram kokain pada 2003 itu terlihat tegang dan memberontak sambil teriak-teriak. Namun, setelah ditenangkan oleh Cardoso dan Utomo, dia mau dipindah ke Lapas Besi.

Di Lapas Pasir Putih juga Utomo dan Cordoso menemui Gularte. Dia juga terpidana mati asal Brasil yang grasinya baru ditolak pada Senin (12/1).

Pertamuan itu, rencananya, dilakukan di salah satu ruang petugas yang berdekatan dengan sel. Jaraknya sekitar 30 meter dari sel para napi.

Menunggu beberapa saat, sipir kembali menghampiri Cordoso. Dia menyatakan bahwa Gularte tidak ingin keluar dari sel. ’’Dia mendengar teriakan Moreira. Dia mengira dirinya akan dieksekusi,’’ kata sipir.

Mau tidak mau, Cordoso harus masuk ke sel Gularte. Dia diantar seorang sipir. Lokasi sel Gularte berada di pojok kiri lapas. Sel tersebut berjeruji besi dengan tambahan pagar kawat. Saking kecilnya pagar kawat itu, jari-jari tidak bisa masuk ke sel.

Sel Gularte terdiri atas dua ruang, luar dan dalam. Saat itu Gularte berada di sel bagian dalam yang disekat jeruji dan tidak bisa dilihat dari luar. ’’Gularte, I’m form embassy,’’ ujar Cordoso.

Akhirnya, Gularte mau keluar dari sel. Dia mengenakan topi yang dihadapkan ke belakang. Di balik topi itu tampak sebuah perban menempel di jidat Gularte. Namun, dia tidak menunjukkan gejala sedang sakit.

Dia mengenakan kaus putih dengan celana pendek warna gelap. Walau di dalam sel, dia mengenakan kaus kaki dan sepatu. Sekitar sepuluh menit keduanya berbicara dalam bahasa Portugis. Perbincangan mereka tampak seperti bersitegang.

Kepada pengacara Utomo, Cordoso menceritakan bahwa Gularte susah diajak bicara secara logis. Dia mengira sedang dalam drama eksekusi yang melibatkan kedutaan besar.

’’Dia berpikir saya ini bagian dari drama pura-pura untuk mengeluarkan dan mengeksekusi dia. Karena itu, Kedubes Brasil akan membawakan psikolog,’’ tuturnya.

Mengenai kondisi Gularte, Kepala Lapas Pasir Putih Hendra menuturkan bahwa kejiwaannya terganggu. Gularte sering secara tiba-tiba membenturkan kepala ke tembok. Beberapa kali dia juga menggunakan seuntai tali untuk mengikat lehernya dan ingin bunuh diri.

’’Beruntung, sipir menjaga dia lebih ketat. Namun, kadang saat diajak bicara dia seperti orang yang tidak sakit. Namun, perangainya bisa berubah setiap saat,’’ ujarnya.

Setelah berbicara dengan Gularte, Cordoso dan rombongan pergi ke Lapas Besi. Di sana Moreira menjalani sidang untuk memberitahukan pelaksanaan eksekusinya. Moreira ditempatkan di sel isolasi. Luasnya 80 meter persegi.

Di dalamnya tampak enam tikar yang siap digunakan. Di sebelah deretan tikar itu terdapat kamar kecil yang hanya disekat tembok setinggi satu meter. Di sel isolasi itu pula Jawa Pos bertemu dan melakukan wawancara dengan raja ekstasi Ang Kim Soei.

Suasana di Lapas Pasir Putih dan Lapas Besi cukup tenang. Cahaya lampu cukup terang di lobi penjara dan ruang kerja pegawai lapas. Namun, ketika mengintip ke sel, suasananya terlihat gelap. Hanya satu lampu neon kecil menerangi sel.

Suasana sel terlihat makin suram karena bangunan tua. Beberapa sel di sana adalah sisa bangunan zaman Belanda. Lapas Besi, misalnya. Selnya dibangun pada 1929.

Soal kebersihan, Lapas Pasir Putih terbilang cukup terjaga. Tidak ada sampah berceceran di ruangan maupun di halaman. Lapas Besi juga bersih, termasuk saat Jawa Pos mengintip ke sel isolasi. Ada tempat sampah berwana biru di sudut ruangan yang kondisinya bagus. (*/c4/kim)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keindahan Tak Berujung Sisi Utara Pulau Seram


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler