jpnn.com - TERGANTUNG cara menikmatinya. Angan-angan menyambangi Pulau Komodo, Manggarai Barat, NTT, gagal lantaran ombak laut tak bersahabat.
Tapi, menghabiskan liburan di hotel tepi pantai, di lingkupi rimbunan belantara hijau, cukuplah melenyapkan kepenatan rutinitas di Jakarta.
-----------------
Soetomo Samsu-JPNN
-----------------
SEKITAR separoh seat bodi pesawat dari Denpasar diisi wajah bule. Mendarat di Labuhan Bajo, di bandara yang sedang direnovasi itu, muka-muka wisatawan asing berseliweran.
BACA JUGA: Keindahan Tak Berujung Sisi Utara Pulau Seram
"Sudah dekat Pulau Komodo?" tanya seorang pria bule kepada petugas bandara. "Bukan, ini bandara namanya Bandara Komodo," jawab si petugas.
Rupanya, si bule itu mengira sudah dekat dengan Pulau Komodo lantaran pengeras suara di bandara yang belum terpasang AC itu mengucapkan selamat datang di Bandara Komodo. Ada kata "komodo"-nya.
BACA JUGA: Mendaftar Kepolisian Hanya Bermodal Ijazah SMK dan Pengalaman Ikut Pramuka
Ya, Labuhan Bajo begitu menggeliat. Hewan melata jenis reptil yang berjalannya mirip goyang itik itu memberi berkah bagi warga di sana. Restoran, angkutan, kapal pesiar, money changer, hingga tukang ojek, meraup rejeki dari para pelancong.
Di kota kecil itu, saat ini ada sekitar 40-an hotel, dari yang berbintang hingga yang biasa saja. "Setiap hari memang seperti ini, makin ramai musim liburan," ujar Ivan, supir Avanza, yang di sana disebut taksi, yang mangkal di bandara.
BACA JUGA: Di Kampung Ini Bocah-bocah SD Kredit Motor, Remaja Kredit Mobil
Tarif taksi juga tergolong mahal, setidaknya jika dibanding di Jakarta. Dari bandara ke hotel terdekat, yang ditempuh hanya 10 menit jalan santai, tarifnya dipatok Rp 70 ribu.
Warga di sana begitu memuja sosok Jusuf Kalla. Ya, karena saat menjabat wapres era Presiden SBY, tokoh asal Makassar itu lihai dan gencar mempromosikan Pulau Komodo.
"Masuk atau tidak Pulau Komodo ke daftar Tujuh Keajaiban Dunia, dengan menjadi polemik seperti ini, Pulau Komodo pasti akan menjadi sangat terkenal," begitu kalimat JK suatu saat, yang masih terngiang di benak penulis.
"Kami-kami ini sangat berterima kasih pada Pak JK," imbuh Ivan lagi, sebelum menurunkan kami sekeluarga ke sebuah hotel di tepi pantai di Labuhan Bajo.
Wow...dari lantai lima hotel itu, senja pantai menyambut kami. Semburat jingga begitu betah enggan masuk ke malam. Ombak begitu keras. Sepi bersama angin. Tidak seperti Jakarta yang berisik. Tidak seperti Puncak Bogor yang dingin tapi melelahkan karena macet.
Senja itu, di tepian sana, tampak beberapa orang berenang, mendekat kapal yang ditambatkan. Kapal-kapal itu untuk mengangkut wisatawan yang nginap di hotel, yang penasaran pengen ketemu Komodo.
Untuk menuju sebuah pulau yang dihuni Komodo, butuh perjalanan dua jam. Pulang-pergi empat jam. Bila ingin bertemu Komodo yang lebih rame, harus ke pulau yang lebih jauh, perjalanan empat jam. PP delapan jam.
Rapat keluarga digelar. Si kecil ogah, sudah merinding membayangkan naik kapal menembus ombak yang -berdasar kabar dari saudara yang menelpon- lagi pamer keganasan. "Lain kali aja lah. Sekarang mending di sini saja," kata si kecil berargumen.
Ya, di hotel itu memang sudah cukup membuat liburan terisi hal-hal yang asik. Pantai di belakang hotel, cukup membuat wajah anak-anak berbinar. Mengejar kepiting-kepiting kecil, bercangkang putih bening, berkaki seksi, sudah merangsang gelak tawa kami.
Kepiting-kepiting itu seakan menggoda. Lari lincah, masuk "rumahnya" berupa lubang kecil di pasir pantai, lantas keluar lagi, nyemplung ke deburan ombak yang menyapu. Sungguh asik. Tak ada di Pantai Ancol, atau di Anyer.
Di balik hotel, hutan rimbun akarnya menancap kuat di sela-sela batu besar. Hanya beberapa meter dari teras kamar hotel, lantai 5. Monyet-monyet sibuk mencari buah di pohon yang bukan jenis buah itu. Kami tatap, amati, tapi cuek.
Sepertinya sudah terbiasa dengan lingkungan seperti ini. Mereka hidup di hutan, akrab dengan suasana hotel.
Bangun pagi, monyet-monyet itu sudah mencari "sarapan", bergelantungan, ada yang sambil menggendong anaknya. Ada yang mencoba mendekat ke kolam renang, barangkali kehausan. Langsung kabur tatkala anak kami menjerit ketakutan. Lucu.
Menuju Ruteng, Manggarai, perjalanan darat yang ditempuh 4,5 jam dari Labuhan Bajo, juga cukup menciptakan rasa beda dengan Ibukota. Tebing-tebing tampak ciut dikepung hutan tak terjamah.
Syahdu karena ada gerimis di tengah perjalanan yang sepi. Sesekali terlihat bule mengendarai motor di jalan berliuk naik. Pasti lah, si bule itu juga sedang mencari sepi.
Lupa entah di titik mana, di desa apa, air terjun indah persis di pinggir jalan. Di tengah hutan itu.
Lepas dari hutan, dalam rentang kiloan meter, petani berjejer sibuk merontokkan buliran padi. Sebagian bergegas menutupinya dengan plastik karena gerimis.
Kesibukan itu di pinggir jalan mulus di Lembor, Manggarai Barat. Kecamatan itu memang dikenal sebagai lumbung padi. Pas masa panen rupanya.
Makin naik ke arah Ruteng, Manggarai, hawa mulai terasa mirip Puncak. Dingin. Masuk kota, sudah begitu ramai. Kami sekeluarga lama di sana, menghabiskan liburan sekolah yang bareng Natal dan Tahun Baru.
Separoh hari hujan, selebihnya mendung, hanya sisa sedikit matahari memberikan teriknya ke bumi. Itu yang membuat banyak warga di sana lelah.
Hujan tak peduli banyak warga sedang sabar menunggu petikan kuncup cengkeh mengering, lantas dijual, dengan harga yang lagi melambung, Rp 120 ribu per kilo.
Sayangnya, tak sedikit warga yang "mengubah" cengkeh itu menjadi kembang api. Sejak jelang Natal hingga pergantian tahun, langit malam Ruteng tampak indah.
"Depan rumah saya, semalam habis 600 ribu untuk beli kembang api," cerita Hans, kakak sepupu kami.
Ah, apa pun, di daerah sejuk itu ada "kehangatan". Sungkan sekali untuk meninggalkan.***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perjuangan Muhammad Hartono Mengakhiri Siksaan Penyakit Akalasia
Redaktur : Tim Redaksi