Biaya Pemilihan di 2024 Membengkak, Perlu Evaluasi Sistem Pemilu

Senin, 16 Desember 2024 – 23:11 WIB
Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya. ANTARA/HO-DPR RI.

jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu segera mengevaluasi pelaksanaan pemilihan yang digelar sepanjang 2024, yakni pemilu dan pilkada.

Menurut anggota Komisi II DPR RI Indrajaya evaluasi sangat diperlukan mengingat biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pemilihan yang membengkak sangat tinggi.

BACA JUGA: MK Dituntut Mengedepankan 3 Hal Tangani 115 Gugatan Hasil Pilkada

Indrajaya berharap dari hasil evaluasi nantinya dapat dirumuskan sehingga menghasilkan sistem politik yang baik dan tidak mahal.

"Mahalnya biaya yang dikeluarkan saat pemilu disebabkan rumitnya regulasi di mana UU Pemilu digunakan untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka," ujar Indrajaya di Jakarta, Senin (16/12).

BACA JUGA: Revisi UU ASN Selamatkan Honorer TMS PPPK 2024? Ada Peluang

Di sisi lain, ada UU Pilkada yang khusus untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, wali kota dan wakilnya oleh rakyat secara langsung.

"Ini kerumitan pertama, sama-sama pemilu, tetapi harus diatur dengan undang-undang yang berbeda, sistem dan anggaran berbeda, padahal penyelenggaranya sama," kata legislator asal daerah pemilihan Papua itu.

BACA JUGA: MenPANRB Rini Bilang Honorer jadi PPPK Fokus Ketiga, Simak Penjelasannya

Dia menilai kerumitan regulasi itu yang membuat biaya penyelenggaraan pilkada hingga pileg membengkak.

Menurut data yang dimiliki Indrajaya, Pilkada 2024 menelan anggaran sebesar Rp 37,4 triliun yang bersumber 40 persen dari APBD dan 60 persen dari APBN.

Sedangkan anggaran pileg dan pilpres sebesar Rp 71,3 triliun.

Dana tersebut belum termasuk tambahan biaya pemungutan suara ulang (PSU) untuk pilkada di 287 TPS yang tersebar di 20 provinsi.

Anggaran itu juga belum termasuk biaya pilkada ulang karena kemenangan kotak kosong di Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang.

Pilkada ulang ini akan digelar pada 27 Agustus 2025, karena menunggu naskah perjanjian hibah daerah (NPHD).

Menurut Indrajaya, kondisi akan makin diperparah jika Pilpres 2024 lalu berlangsung selama dua putaran.

"Beruntung Pilpres 2024 satu putaran, bila dua putaran negara harus menggelontorkan APBN tambahan sebesar Rp 38,2 triliun," ucapnya.

Tren biaya pemilu dari masa ke masa pun dinilai Indrajaya makin meningkat. Pemilu 2004 menyedot anggaran Rp 13,5 triliun.
Pemilu 2009 naik menjadi Rp 47,9 triliun dan pada Pemilu 2014 kembali mengalami kenaikan sebesar Rp 21,7 triliun.

Pemilu 2019 Rp 24,8 triliun dan terakhir Pemilu 2024 mencapai Rp 71,3 triliun.

"Ini juga yang menjadi alasan PKB mendorong BPK melakukan audit menyeluruh dana pemilu agar tidak menimbulkan syakwasangka," ujarnya.

Dengan adanya temuan ini dia berharap pemerintah bisa lebih serius mengevaluasi sistem politik Indonesia demi menciptakan pemilu yang hemat.

"Bila anggaran pemilu dihemat maka pemenuhan kebutuhan anggaran semisal untuk Program Makan Bergizi Gratis senilai Rp 71 triliun untuk tahun 2025 dan tambahan anggaran kesejahteraan guru ASN dan non-ASN yang mencapai Rp 81,6 triliun pada APBN 2025 akan lebih ringan," kata Indrajaya. (Antara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... UU Pemilu Perlu Direvisi, Begini Alasannya


Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler