jpnn.com, JAKARTA - Banyaknya kritik terkait biaya isi ulang uang elektronik (top up e-Money) disoroti Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan. Menurutnya, kebijakan itu kontraproduktif dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang gencar dilakukan Bank Indonesia (BI).
"Pengenaan biaya top up itu mencuatkan kisruh. Selain bertentangan dengan semangat dan visi cashless society yang gencar disosialisasikan BI, juga hal tersebut memberatkan rakyat," ujar Heri dalam pernyataan tertulis, Senin (18/9).
BACA JUGA: Waketum Gerindra Curigai Pengalihan Isu dengan Masalah PKI
Informasi yang dia peroleh menyebutkan bahwa BI akan segera merilis aturan pengenaan biaya top up e-money dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI), terkait rencana seluruh ruas tol di Indonesia wajib menggunakan transaksi nontunai, mulai Oktober tahun ini.
Pembicaran BI dengan perbankan dan usaha jalan tol juga sudah beres. Pengenaan biaya top up e-money disebut-sebut untuk memberikan insentif kepada perbankan sehingga dapat memperbanyak infrastruktur pembayaran uang elektronik.
BACA JUGA: Biaya Isi Ulang e-Money Untungkan Perbankan, ini Buktinya
Bahkan, informasi yang ada menyatakan besaran biaya top-up yang akan diterapkan bank kepada konsumen sebesar Rp 1.500 per transaksi.
Inilah yang dianggap Heri kontraproduktif dengan semangat GNNT yang bertujuan untuk mewujudkan sistem pembayaran yang transparan, efisien, minim risiko, aman dan terhindar dari tipu-tipu.
BACA JUGA: Pengamat Sebut Prabowo Galau Cari Celah Sudutkan Jokowi
Meskipun kebijakan tersebut untuk mengatur agar biaya lebih murah ketimbang mengisinya di merchant, ujar Heri, seharusnya BI sebagai regulator bisa berpihak ke masyarakat dan menghindarkan mereka dari potensi pungutan fee dari setiap isi ulang e-money yang memberatkan.
PBI sendiri menurutnya bisa menjadi pintu masuk bagi BI untuk memfasilitasi animo masyarakat yang makin aktif menggunakan e-money dalam rangka mewujudkan visi besar cashless society. Sebab, tahun 2017 saja tercatat transaksi uang elektronik telah mencapai 58 juta transaksi dengan nilai Rp 1,1 triliun.
"Kalau ada biaya top up justru bisa jadi blunder yang berujung pada distrust. Sebab, masyarakat yang mustinya mendapat insentif dari kelebihan-kelebihan e-money, justru mendapat disinsentif. Jelas, itu tidak elok," tegas politikus Gerindra ini.
Lebih jauh, distrust masyarakat bisa berujung pada sentimen negatif terhadap GNNT. Dia berharap jangan sampai publik sampai berpikir bahwa biaya top up menjadi semacam alat perbankan untuk menarik dana dari masyarakat.
"Perbankan itu adalah institusi dengan aset yang besar. Image itulah yang musti tetap dijaga. Jangan sampai rusak hanya gara-gara uang receh," harapnya.
Sebab, tambah Heri, pengenaan biaya top up itu lebih menguntungkan perbankan ketimbang masyarakat. Pasalnya, bank sudah menerima uang sebelum transaksi terjadi.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sepertinya Prabowo Tak Tahu Beda Bantuan dengan Pencitraan
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam