Bicara di UIN Makassar, Ketua DPD RI Sebut Presidential Threshold Banyak Mudaratnya

Sabtu, 29 Mei 2021 – 16:41 WIB
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengisi kuliah umum di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (29/5/2021). Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, MAKASSAR - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold memiliki banyak mudarat dibanding manfaatnya. Oleh karena itu butuh amendemen ke-5 konstitusi untuk memperbaikinya.

Hal tersebut disampaikan LaNyalla saat mengisi kuliah umum bertajuk "Amendemen Kelima: Sebagai Momentum Koreksi Perjalanan Bangsa" di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (29/5).

BACA JUGA: LaNyalla Tindaklanjuti Aspirasi Bupati Pangkep dan Guru Honorer

"Oleh karena itu kita perlu koreksi lagi terkait hal itu. DPD RI pun sudah mempersiapkan kajian untuk amendemen kelima konstitusi agar ada keadilan dan ada kesempatan yang sama bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin nasional," kata LaNyalla.

LaNyalla hadir di UIN Alauddin Makassar bersama Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi, Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni, Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin, Anggota Komite I DPD RI Muhammad Idris dan Jialyka Maharani, serta anggota DPD RI Dapil Sulsel Lily Amelia Salurapa.

BACA JUGA: Bang Reza Menganalisis Tanda Penuaan pada Wajah Jokowi yang Sangat Kentara

Hadir juga Asisten Pemerintahan Setda Provinsi Sulsel Andi Aslam Patonangi. Rombongan ketua DPR RI diterima langsung oleh Rektor UIN Alauddin Makassar Prof Hamdan Juhannis.

Kuliah umum itu menghadirkan sejumlah pakar politik dan ketatanegaraan, salah satunya adalah Margarito Kamis. Tampak dalam acara ini adalah  Ketua Forum Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKIN) Prof. Babun Suharto.

BACA JUGA: Ekspor Kendaraan Bodong Terbongkar, Irjen Luthfi Akui Dugaan Keterlibatan Oknum Polisi

LaNyalla menjelaskan, UUD hasil Amendemen 2002 telah memberikan mandat kepada parpol sebagai satu-satunya saluran untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) . Tata caranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Dalam UU ditegaskan untuk mengusung pasangan Capres-Cawapres, Parpol atau gabungan Parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Partai yang tidak menggenapi persentase ini harus berkoalisi," tutur dia.

Argumentasi mengenai presidential threshold disebut-sebut untuk memperkuat partai politik. Selain itu juga agar capres - cawapres terpilih punya kekuatan politik di parlemen.

Dengan begitu, presidential threshold memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab parlemen yang kuat dikhawatirkan akan melemahkan sistem presidensial.

LaNyalla menyebut argumentasi itu sepertinya masuk akal. Tetapi bila dicermati konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, melainkan keseimbangan peran.

"Menguatkan sistem presidensial tidak berbanding lurus dengan penguasaan eksekutif di parlemen. Koalisi penguasa yang gemuk dan minim oposisi mengundang penyalahgunaan kekuasaan karena sulitnya check and balance," ujar LaNyalla.

BACA JUGA: MA Cs Sudah Ditangkap, Lihat, Dikawal Polisi Bersenjata

Artinya, kata senator asal Jawa Timur itu, presidential threshold lebih banyak mudaratnya. Pertama, meski di atas kertas bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon, dalam praktiknya tidak seperti itu.

"Dalam pemilu yang lalu-lalu hanya bisa memunculkan dua pasang calon. Dampaknya, pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. Polarisasi ini tidak juga reda meski elite telah rekonsiliasi," tegas dia.

Presidential threshold dinilai LaNyalla juga mengerdilkan potensi bangsa. Sebab, banyak calon pemimpin kompeten yang tidak bisa dicalonkan karena ada aturan main seperti itu.

BACA JUGA: Bikin Geleng-geleng, Pria Asal Lamongan Tukar Mobil Ratusan Juta dengan Sepasang Love Bird

Selanjutnya, kata LaNyalla, presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Banyak pemilih yang memilih golput karena calon mereka tidak mendapat tiket kontestasi.

Berikutnya, LaNyalla, partai kecil cenderung tidak berdaya di hadapan partai besar. Akibatnya, mereka ikut saja tentang keputusan capres-cawapres yang akan diusung bersama.

"Inilah yang saya katakan, presidential threshold bukan saja menghalangi putra-putri terbaik bangsa untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih, tetapi juga menghalangi kader partai politik, hanya karena partainya tidak memiliki suara yang mencukupi untuk mengusung kader terbaiknya," ujar LaNyalla.

Oleh karena itu, LaNyalla berharap dengan adanya amendemen kelima konstitusi, maka putra-putri terbaik yang non-partisan bisa dipilih untuk dicalonkan sebagai presiden. (*/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler