Bicara Kecurangan dan Kekerasan di Pemilu 2024, Guru Besar Ini Sebut Ada yang Agak Bahaya

Jumat, 05 Januari 2024 – 20:51 WIB
Diskusi hybrid bertajuk "Kecurangan dan Kekerasan dalam Pemilu 2024: Nasibnya Bagaimana?" yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil kawal Pemilu Demokratis, di Sadjoe Cafe, Tebet, jakarta Selatan pada Jumat (5/1). Foto: supplied

jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof Mochamad Ali Syafa'at menilai demokrasi di Indonesia sedang mengalami dekadensi alias kemerosotan secara politik.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi hybrid bertajuk "Kecurangan dan Kekerasan dalam Pemilu 2024: Nasibnya Bagaimana?" yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil kawal Pemilu Demokratis, di Sadjoe Cafe, Tebet, jakarta Selatan pada Jumat (5/1).

BACA JUGA: Bela Gibran soal Pembagian Susu di CFD, Yusril Ingatkan Bawaslu Jakpus

"Secara empiris, kita menghadapi kultur demokrasi atau politik, yang bisa disebut dengan dekadensi politik; sesuatu yang secara hakikat dari Pemilu yang mengakui kebebasan dan tanggung jawab manusia, makin lama hal ini dikesampingkan, diarahkan pada materi dan kekuasaan," ujarnya.

Menurut dia, bila mengacu pada proses pemilu sejak reformasi, dekadensi itu makin terlihat kasat mata, semakin berani, dan kian melepaskan moralitas dari praktik politik.

BACA JUGA: Soal Bansos dari Jokowi, Saleh PAN Beri Penjelasan Begini

Prof Ali menyebut kecurangan terjadi saat dekadensi politik diiringi oleh ambisi untuk memenangi. "Makin besar ambisi dan pengharapannya, takut kalah, potensi melakukan kecurangan juga akan besar," tuturnya.

Dia kemudian menyampa?ikan bahwa akses terhadap kekuasaan juga menjadi penunjang terjadinya kecurangan dalam pemilu.

BACA JUGA: Pengamat Ini Sebut Pilpres 2024 Satu Putaran Sulit Terwujud, Simak Analisisnya

"Makin besar akses, semakin potensi melakukan kecurangan. Kecurangan membutuhkan instrumen, hanya dapat dilakukan dengan instrumen pemerintahan," ucapnya.

Pada Pemilu 2024, potensi kecurangan itu makn besar lantaran ada kand?id?at yang masih menjadi pejabat publik dan berada di lingkara?n kekuasaan.

Berikutnya, dia menilai keberpihakan penyelenggara, kekuatan tidak berimbang, dan lemahnya pengawasan publik terhadap proses pemilu menjadi potensi kecurangan-kecurangan terjadi.

Prof Ali juga menyampaikan bahwa kekerasan dalam Pemilu 2024 terjadi dari dua arah yang berbeda, pertama, kekerasan dalam bentuk kecurangan itu sendiri, ancaman, kekerasan fisik atau psikis.

Kedua, kekerasan sebagai reaksi dari kecurangan yang ada karena tidak adanya penyelesaian kecurangan yang ada dengan adil.

Dia mengatakan kecurangan yang dominan terjadi dalam pemilu berupa ketidaknetralan aparat negara. Lalu, penyaluran bansos yang rawan dipoli?tisasi.

"Misalnya, Pak Prabowo memberikan bantuan sepeda motor kepada Babinsa; yang disebutkan adalah Pak Prabowo, bukan Kemenhannya. Politik uang juga terjadi. Kecurangan ini juga disertai dengan kekerasan, di Boyolali dan daerah lain," tuturnya.

Nah, yang agak bahaya, kata Prof Ali, ketika Bawaslu Jakarta memanggil paslon tertentu terkait dugaan pelanggaran kampanye, mereka malah dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Ada pula pihak Bawaslu di Batam yang mencopot baliho, dilaporkan ke polisi. "Ini potensial merusak kualitas dan menc?ederai pengawasan pemilu, tidak dengan menggunakan perangkat pemilu yang disediakan," ujarnya.

Prof Ali menekankan bahwa ketika ada kecurangan dan kekerasan tidak diselesaikan dengan adil, maka levelnya akan terus meningkat.

"Muruah pemilu akan turun dan tidak beradab, seolah-olah tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan Pemilu sesuai dengan khi?tahnya," kata dia.(fat/jpnn.com)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler