jpnn.com, JAKARTA - Korban dan saksi sejarah peristiwa penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996 atau Kudatuli menyampaikan cerita dalam peringatan insiden itu yang dilaksanakan di kantor DPP PDI Perjuangan, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7).
David MC, saksi kejadian mengatakan pada 27 Juli 1996 suasana sangat mencekam, karena kerusuhan sudah terjadi di beberapa titik area luar kantor PDI.
BACA JUGA: PDIP Bikin Teatrikal Kudatuli, Hasto dan Ganjar Hadir di Lokasi
"Situasinya juga mencekam. Kami bisa merasakan bagaimana mereka menyerang. Di situ (kantor DPP PDI) kami bertahan, kami bergelimpangan di sini,” katanya di panggung acara peringatan 28 tahun peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 di kantor PDIP, Jakarta Pusat, Sabtu.
David mengatakan para aktivis sampai mahasiswa pada 27 Juli 1996 awalnya melaksanakan aksi di Gambir. Namun, aparat memukul mundur massa sampai ke kantor PDI.
BACA JUGA: Ronald Tannur Anak Anggota DPR Divonis Bebas di Kasus Pembunuhan Dini Sera, Prof Basuki Bersuara
"Kemudian kami buat mimbar bebas, tepatnya di sini (DPP PDI). Yel-yel yang sangat menggema saat itu adalah Mega pasti Menang," ujarnya.
Ketua DPP PDI Perjuangan yang juga saksi sejarah peristiwa Ribka Tjiptaning mengaku sebelum peristiwa meletus 27 Juli 1996 sudah mendengar kabar kantor PDI bakal diserang.
BACA JUGA: Resmi Diusung PDIP, Petahana Arif-Rista Ikuti Rakor Kesiapan Pilkada di Semarang
"Akhirnya jadi sabtu kelabu. Makanya, 28 tahun ini luar biasa, pas jatuh di hari sabtu," tuturnya.
Mbak Ning sapaan akrab Ribka Tjiptaning kemudian berusaha datang dari Ciledug untuk ke kantor PDI di Menteng, Jakarta Pusat.
Namun, Mbak Ning tidak bisa merapat ke kanto PDI dan hanya sampai ke kantor YLBHI, lalu di sana merawat orang terluka dari insiden 27 Juli 1996.
"Saya menjahit benang jahit baju tanpa bius. Termasuk Munir kelingking sebelah kiri dihantam, dia remuk,” kata wanita yang berprofesi sebagai dokter itu.
Mbak Ning mengaku pada saat itu tidak memiliki bius untuk menjahit para korban, tetapi bersyukur tak ada infeksi dialami mereka.
Dia mengatakan kejadian 27 Juli 1996 menjadi tonggak sejarah, karena menjadi awal gerakan rakyat mewujudkan reformasi dan demokrasi.
Mbak Ning mengatakan anak rakyat biasa kini bisa menjadi pemimpin setelah Indonesia menerapkan reformasi.
"Tanpa reformasi, tidak ada petani bisa jadi bupati atau wali kota, tidak ada anak tukang kayu jadi presiden,” katanya.
Diketahui, putra Wiji Thukul, Fajar Merah turut memperingati Kudatuli di kantor PDI Perjuangan dengan menyanyikan dua lagu yang berdasarkan dari tulisa sendiri, yakni Tersesat dari Gulita dan Nyanyian Kami.
Menurut dia, lagu Tersesat dari Gulita terinspirasi karena banyak tragedi di Indonesia yang pada akhirnya menumbuhkan kebencian.
“Di mana kita menjadi buta, bahwa kita sama-sama manusia tetapi banyak konflik yang menumbuhkan kebencian. Justru yang dihilangkan adalah kebencian tersebut,” kata Fajar sebelum menyanyikan lagu tersebut.
Sementara itu, Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDIP Bonnie Triyana mengatakan Kudatuli menjadi cikal bakal terjadinya reformasi dan demokrasi di Indonesia.
“Kalau tidak ada Kudatuli, tidak ada orang punya mimpi walaupun dia berangkat dari keluarga sederhana, tidak ada orang-orang yang punya kesempatan yang bisa melakukan lentingan yang tinggi sebagai pejabat publik,” kata Bonnie, Sabtu. (ast/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Aristo Setiawan